Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SINGKONG: LIKU-LIKU PERJALANAN SEBUAH MAKANAN RAKYAT

lukisan dongeng portugis asal-usul ubi kayu
https://arrepiou.com/lenda-da-mandioca/
Sejarah Singkong

Singkong (Manihot esculenta) adalah tanaman yang berasal dari Amerika Selatan, tepatnya daerah tropis seperti Brasil dan Paraguay. Tanaman ini dikenal sejak zaman prasejarah dan telah menjadi salah satu bahan pangan utama bagi suku-suku asli di Amerika Selatan. Setelah penemuan Dunia Baru pada abad ke-15, singkong mulai diperkenalkan ke wilayah lain, termasuk Afrika dan Asia. Tanaman ini mudah tumbuh di daerah tropis dengan tanah yang tidak subur, menjadikannya sumber pangan yang penting bagi banyak negara berkembang.

Pada abad ke-16, Portugis membawa singkong ke Afrika, di mana tanaman ini cepat beradaptasi dan menjadi komoditas penting dalam pertanian lokal. Pada abad ke-18, singkong mulai diperkenalkan ke Asia Tenggara, terutama ke Hindia Belanda (sekarang Indonesia), melalui perdagangan kolonial. Singkong berkembang pesat di Indonesia, Brasil, dan Afrika, menjadi bahan pangan utama yang digunakan untuk membuat tepung, pati, dan berbagai produk olahan lainnya.

Singkong dalam bahasa Portugis disebut sebagai mandioca, yang artinya akar (mani) dan umbi (oca). Di Indonesia dikenal dengan nama singkong, ketela pohon, kaspe, ubi prancis atau ubi kayu.

Singkong di Nusantara
Singkong Menyebar di Nusantara

Singkong, yang awalnya diperkenalkan di Hindia Belanda pada abad ke-18, memiliki sejarah panjang dalam usaha penyesuaian dengan iklim tropis di Indonesia. Walaupun singkong dikenal di Jawa sejak sebelum abad ke-19, tetapi usahanya untuk memperkenalkan tanaman ini menemui banyak kendala. Belanda memperkenalkan singkong dari Mauritius, namun varietas ini tidak dapat beradaptasi dengan baik. Upaya ini terus dilakukan sepanjang abad ke-19, dengan harapan singkong dapat menjadi bahan pangan cadangan saat gagal panen.

Pada masa pemerintahan Daendels, singkong mulai dibudidayakan di Jawa, namun masih kurang populer di kalangan masyarakat. Junghuhn, seorang botanikus, mencatat penanaman singkong di Buitenzorg dan Cianjur pada tahun 1838, di daerah yang tidak cocok untuk padi. Sebagian besar singkong yang tumbuh memiliki rasa pahit, sehingga tidak cocok dengan selera masyarakat yang lebih menyukai makanan manis.

Pemerintah kolonial akhirnya berhasil mengimpor bibit singkong yang lebih baik dari Karibia pada tahun 1852, yang dapat menghasilkan singkong manis. Budidaya singkong meningkat pesat pada akhir abad ke-19, berkat permintaan internasional, terutama untuk bahan baku pakan ternak dan produk olahan lainnya. Pabrik-pabrik pengolahan singkong, yang banyak dimiliki oleh orang Tionghoa, berkembang pesat di Jawa.

Pada awal abad ke-20, permintaan ekspor singkong semakin meningkat, menjadikan Hindia Belanda, khususnya Jawa, sebagai salah satu eksportir utama singkong dunia. Hal ini mendorong pertumbuhan pesat budidaya singkong di wilayah seperti Priangan, Kediri, dan Batavia, menjadikannya komoditas penting bagi ekonomi kolonial.

Larangan Ekspor Singkong

Pada tahun 1918, pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan sebuah keputusan yang menempatkan larangan sementara terhadap ekspor produk yang berasal dari singkong (cassave, bahasa Belanda) dari Hindia Belanda. Keputusan ini tercatat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda 1918 No. 165. Meskipun keputusan ini hanya bersifat sementara, larangan ekspor tersebut memunculkan berbagai pertanyaan tentang alasan di balik kebijakan tersebut, dampaknya terhadap ekonomi lokal, serta hubungan antara kebijakan kolonial dan keberlanjutan kebutuhan pangan bagi penduduk di Hindia Belanda.

Pada 4 Januari 1921, larangan ini akhirnya dicabut dengan dikeluarkannya keputusan baru yang tercantum dalam Lembaran Negara Hindia Belanda 1921 No. 1. Pencabutan larangan ekspor singkong ini memberi gambaran tentang dinamika kebijakan ekonomi kolonial serta dampaknya terhadap masyarakat di Hindia Belanda, yang harus dijelaskan dalam konteks sejarah dan realitas sosial-ekonomi pada masa itu.

Singkong dipandang sebagai komoditas strategis. Tanaman ini memiliki peran penting dalam perekonomian kolonial Hindia Belanda, baik sebagai bahan pangan utama bagi penduduk pribumi maupun sebagai bahan baku untuk industri. Singkong tumbuh dengan mudah di berbagai daerah tropis, termasuk di wilayah Hindia Belanda, dan merupakan sumber karbohidrat penting bagi masyarakat setempat.

Larangan ekspor singkong yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1918 kemungkinan besar dipengaruhi oleh beberapa faktor ekonomi dan politik yang saling terkait. Salah satu alasan utama adalah untuk memastikan bahwa kebutuhan pangan lokal, terutama di kalangan penduduk pribumi, dapat terpenuhi. Pada masa tersebut, banyak wilayah di Hindia Belanda yang tergantung pada hasil pertanian lokal seperti singkong untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Jika singkong diekspor secara massal, hal ini dapat mengurangi pasokan pangan bagi penduduk pribumi yang sebagian besar bergantung pada produk tersebut.

Larangan ekspor ini pada 1918 dapat dilihat sebagai kebijakan yang bertujuan untuk mengatur pasokan pangan bagi penduduk lokal, tetapi kebijakan ini juga membawa dampak yang cukup signifikan terhadap ekonomi kolonial. Dalam jangka pendek, larangan ini memastikan bahwa produk singkong tetap tersedia untuk konsumsi domestik. Namun, dalam jangka panjang, kebijakan ini bisa berdampak negatif terhadap para petani dan pedagang yang bergantung pada ekspor komoditas tersebut untuk memperoleh pendapatan.

Selain itu, industri yang mengolah singkong menjadi tepung tapioka juga dapat terhambat, karena pasokan bahan baku untuk pabrik-pabrik tersebut berkurang. Oleh karena itu, meskipun larangan ini dapat dipandang sebagai upaya untuk menjaga kestabilan pasokan pangan, dampak terhadap ekonomi lokal dan sektor industri tidak bisa diabaikan.

Stadslad pencabutan larangan ekspor singkong 1921
Pencabutan Larangan Ekspor Singkong 1921

Setelah tiga tahun berlaku, larangan ekspor singkong akhirnya dicabut pada 4 Januari 1921, sebagaimana tercatat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda 1921 No. 1. Pencabutan larangan ini menunjukkan bahwa kondisi ekonomi pada saat itu sudah mengalami perubahan, dan pemerintah kolonial mungkin merasa bahwa pasokan pangan lokal sudah lebih aman, sementara kebutuhan ekspor dapat diprioritaskan kembali.

Keputusan untuk melarang dan kemudian mencabut larangan ekspor singkong ini dapat dilihat sebagai bagian dari upaya pemerintah kolonial untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kontrol sosial. Pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak hanya fokus pada pencapaian keuntungan ekonomi melalui ekspor, tetapi juga pada stabilitas sosial dan politik yang harus dijaga agar pemerintahan mereka tetap kuat. Dalam hal ini, kebijakan tentang singkong adalah contoh dari kebijakan yang bertujuan untuk mengatur sumber daya yang vital, baik untuk kebutuhan internal maupun eksternal.

Larangan ekspor singkong yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada  1918 dan kemudian dicabut pada 1921 merupakan contoh dari kebijakan yang didorong oleh kebutuhan ekonomi dan kontrol sosial yang lebih besar. Kebijakan ini mencerminkan peran penting singkong sebagai komoditas ekonomi dan pangan bagi masyarakat pribumi, namun juga menggambarkan bagaimana pemerintah kolonial berusaha menyeimbangkan antara kepentingan pasar internasional dan kestabilan sosial dalam koloni.

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "SINGKONG: LIKU-LIKU PERJALANAN SEBUAH MAKANAN RAKYAT"