Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SINGKONG DAN ORANG REJANG


Singkong: Tanaman Asing yang Dianggap Asli

Banyak orang mengira bahwa singkong adalah tanaman asli Nusantara, padahal sebenarnya tanaman ini berasal dari Amerika Selatan. Singkong pertama kali dibawa ke Asia Tenggara oleh orang-orang Eropa, khususnya bangsa Portugis dan Spanyol, pada abad ke-16. Melalui jalur perdagangan kolonial, tanaman ini menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia, terutama di daerah yang dikuasai oleh Belanda. Tentang masuknya singkong ke Nusantara lihat tulisan di blog ini berjudul Singkong: Liku-Liku Perjalanan Sebuah Makanan Rakyat

Di Sumatra, termasuk di Bengkulu, singkong baru mulai dikenal secara luas pada abad ke-19, ketika Belanda memperluas jaringan perkebunan dan infrastruktur di wilayah pedalaman. Sebelum itu, masyarakat setempat lebih mengandalkan umbi-umbian lokal, seperti talas dan gadung, serta rebung sebagai sumber karbohidrat pendamping beras.

Masyarakat Rejang yang mendiami wilayah pedalaman Bengkulu, seperti daerah Lebong, Kepahiang dan Rejang Lebong, memiliki hubungan yang kompleks dengan tanaman singkong. Sebagai tanaman yang datang belakangan, singkong, sebagaimana juga kopi, tidak memiliki akar tradisi adat bagi orang Rejang. Singkong adalah tanaman "asing" yang tidak memiliki nilai kultural. Berbeda dengan padi, rebung, tebu, pinang, atau tanaman hutan lain yang telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Rejang dan memiliki peran dalam ritual adat atau upacara tradisional, singkong hanya dipandang sebagai tanaman biasa tanpa makna simbolis dalam budaya lokal.

Ilustrasi

Masuknya Singkong di Tanah Rejang

Sebelum abad ke-19, masyarakat Rejang tidak mengenal tanaman singkong. Umbi ini mungkin baru diperkenalkan pada masa kolonial Belanda, sekitar tahun 1890-an, seiring dengan ekspansi perkebunan dan pertambangan kolonial dan pembangunan infrastruktur jalan di wilayah Bengkulu bagian pedalaman. Dalam proses itu, Belanda mendatangkan pekerja dari berbagai daerah, terutama dari Pulau Jawa, untuk membuka jalan, mengelola perkebunan, dan bekerja sebagai tenaga kasar. Singkong masuk ke Tanah Rejang, juga Bengkulu secara luas, kemungkinan beririsan dengan waktu kedatangan para pekerja orang-orang Jawa ini.

William Marsden dalam bukunya History of Sumatra (1784), pada bab tentang komoditas pertanian dan perkebunan, tidak pernah menyebut-nyebut singkong. Dalam buku yang ditulis pada masa-masa Bengkulu di bawah supremasi Inggris ini, umbi-umbian yang dicatatnya hanya sebatas sejenis gadung (dioscorea) dan ubi gadang (convolvulus), di Bengkulu umum disebut ubi cina (kemungkinan yang dimaksud ini adalah ubi jalar). Inggris sendiri mungkin juga tidak mengenal tanaman ini. Fakta ini, secara historis, memperkuat kemungkinan bahwa singkong adalah tanaman yang belum dikenal di Sumatera, termasuk Bengkulu dan Rejang, hingga akhir abad ke-19.

Demikian juga dalam Beschrijving Der Onderafdeeling Redjang yang ditulis oleh J.L.M. Swaab, Residen Lais yang melakukan penelitian di wilayah Rejang pedalaman pada 1913, juga tidak menyebut-nyebut singkong. Dalam laporan yang disusunnya itu, dia secara luas menyebut budidaya padi dan varietas-varietasnya di kalangan orang Rejang pedalaman. Termasuk juga dilaporkannya peluasan perkebunan kopi di Curup dan tembakau di wilayah Merigi-Kepahiang. Dalam laporannya itu disebutkan komoditas lain yang diusahakan oleh orang Rejang adalah getah karet hutan, rotan, katun dan sedikit kelapa.

Singkong masuk di Rejang pada masa Bengkulu dan Rejang telah dianeksasi Belanda (pasca Traktat London, 1824). Orang-orang Jawa yang didatangkan oleh Belanda untuk proyek pembukaan jalan, sebagai pekerja perkebunan/pertambangan dan kolonisasi di paruh akhir abad ke-19 hingga di paruh awal abad ke-20 ke Tanah Rejang, telah memperkenalkan singkong kepada orang Rejang. 

Orang-orang Jawa ini, yang telah lebih dulu mengenal dan membudidayakan singkong, sangat mungkin membawa serta pengetahuan dan kebiasaan konsumsi singkong ke tanah Rejang. Melalui interaksi sosial dan pertukaran budaya di lingkungan kerja dan pemukiman, masyarakat Rejang mulai mengenal tanaman ini.

Namun, hingga menjelang kedatangan Jepang pada awal 1940-an, masyarakat Rejang pun belum membudidayakan singkong secara luas. Tanaman ini lebih sering ditanam sebagai batas ladang atau pagar alami yang memisahkan kebun dan area permukiman, bukan sebagai tanaman pangan utama. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Rejang masih belum melihat singkong sebagai bahan pangan penting dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Bahkan, pada periode tersebut, masyarakat Rejang masih memandang singkong sebagai makanan rendahan, yang lebih identik sebagai makanan para pekerja kasar. Di mata orang Rejang, dengan tanpa identitas budaya, maka singkong dianggap kurang bernilai dibandingkan makanan tradisional mereka, terutama padi, rebung dan berbagai jenis umbi lokal lainnya. Kerap terjadi orang Rejang yang ketahuan mengkonsumsi singkong akan menjadi bahan tertawaan orang-orang Rejang lainnya.

Singkong Pada Masa Pendudukan Jepang

Pendudukan Jepang (1942–1945) membawa perubahan besar dalam pola konsumsi pangan masyarakat Rejang. Jepang yang menerapkan sistem eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam dan pertanian di Indonesia menyebabkan krisis pangan yang meluas, termasuk di Bengkulu. Beras, yang merupakan makanan pokok utama, menjadi semakin sulit didapat karena sebagian besar hasil panen disita oleh pemerintah Jepang untuk kepentingan perang.

Akibat kondisi ini, masyarakat Rejang terpaksa mengonsumsi singkong sebagai alternatif pengganti beras. Meskipun sebelumnya singkong dianggap sebagai makanan kelas bawah, dalam situasi darurat seperti ini, tidak ada pilihan lain selain menerima singkong sebagai bagian dari makanan sehari-hari. Dalam situasi ini, banyak orang Rejang harus membeli singkong ke wilayah populasi orang Jawa atau Sunda.  

Selain mulai dikonsumsi secara luas, atas perintah Jepang, singkong juga mulai ditanam secara besar-besaran di lahan-lahan bekas perkebunan kopi, teh, dan tembakau peninggalan Belanda yang terbengkalai. Pemerintah militer Jepang mendorong penduduk lokal wilayah perkebunan yang didominasi orang-orang Jawa untuk menanam tanaman pangan cepat panen dan tahan krisis, dan singkong menjadi salah satu pilihan utama karena adaptif terhadap kondisi tanah dan iklim pedalaman Rejang, selain sayur-sayuran atau palawija lainnya.

Meskipun demikian, bagi masyarakat Rejang, singkong tetap tidak bisa menggantikan kedudukan beras sebagai makanan utama. Setelah Jepang kalah dan kondisi ekonomi mulai membaik, masyarakat Rejang kembali beralih ke makanan tradisional mereka dan meninggalkan singkong sebagai makanan darurat.

Singkong Bukan Tanaman Ekonomi bagi Orang Rejang

Meskipun singkong telah lama diperkenalkan, masyarakat Rejang tidak melihat singkong sebagai tanaman bernilai ekonomis. Di pasar-pasar lokal, singkong kurang laku dibandingkan beras, rebung, dan hasil pertanian lainnya. Hal ini disebabkan faktor orang Rejang tidak mengenal olahan makanan berbasis singkong. 

Berbeda dengan masyarakat Jawa yang telah mengolah singkong menjadi tepung tapioka, keripik, tapai, atau getuk, masyarakat Rejang tidak memiliki kebiasaan mengolah singkong dalam bentuk lain selain direbus atau dikukus. Akibatnya, potensi ekonomi singkong tidak pernah benar-benar dimanfaatkan di wilayah ini. (Orang Rejang mengenal tapai yang diolah dari beras ketan).

Pada masa Hindia Belanda, orang Rejang memandang singkong hanya bernilai ekonomi di kalangan migran Jawa. Di beberapa wilayah kolonisasi orang-orang Jawa, orang-orang migrasi dari Jawa itu lebih banyak memanfaatkan singkong untuk konsumsi langsung dan diolah menjadi bahan makanan lain seperti keripik, tiwul, gatot atau tapai singkong. Namun, bagi masyarakat Rejang sendiri, singkong tetap sekadar tanaman pinggiran yang tidak menarik untuk dibudidayakan dalam skala besar.

Orang Rejang Tetap Memilih Padi Dibandingkan Singkong

Meskipun singkong sempat dikonsumsi dalam kondisi terpaksa selama pendudukan Jepang, masyarakat Rejang tetap lebih memilih rebung atau jagung sebagai pendamping makanan utama mereka. Bahkan untuk tanaman pangan yang ditanam secara massal, mereka masih lebih memilih menanam padi di ladang dibandingkan singkong.

Salah satu alasan utama adalah bahwa menanam padi lebih sesuai dengan sistem pertanian tradisional mereka, yang berbasis ladang berpindah. Selain itu, musuh alami singkong, yaitu babi hutan, menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat Rejang. Hewan ini dikenal sering merusak tanaman singkong sejak masih muda, sehingga menanam singkong dalam skala luas dianggap tidak menguntungkan dan sulit untuk dipertahankan tanpa pengawasan ketat.

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "SINGKONG DAN ORANG REJANG"