SIMBUR CAHAYA: JEJAK HUKUM ADAT DARI KESULTANAN PALEMBANG
![]() |
Istana Sultan Palembang. sumber gambar: sumeks |
Simbur Cahaya merupakan salah satu kitab hukum adat yang berkembang di wilayah Kesultanan Palembang dan sekitarnya. Kitab ini mencerminkan perpaduan antara hukum adat, hukum Islam, dan pengaruh hukum kolonial. Artikel ini membahas sejarah perkembangan Simbur Cahaya, struktur hukum yang terkandung di dalamnya, serta pengaruhnya terhadap sistem pemerintahan dan kehidupan sosial masyarakat Kesultanan Palembang. Dengan pendekatan historis dan yuridis, artikel ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana hukum adat tetap bertahan dan beradaptasi dalam berbagai perubahan sosial dan politik.
Sistem hukum di Kesultanan Palembang telah mengalami berbagai perubahan sejak masa Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Palembang, hingga era kolonial Belanda. Salah satu warisan hukum yang bertahan adalah kitab "Simbur Cahaya" yang diyakini sebagai kodifikasi hukum adat yang mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Sejarah dan Perkembangan Simbur Cahaya
Secara historis, hukum yang berlaku di Palembang tidak lepas dari pengaruh Majapahit dan kemudian Kesultanan Banten. Penguasa Palembang pertama yang membebaskan diri dari pengaruh Banten adalah Sunan 'Abd ar-Rahman atau Cindai Balang (1649-1694). Sejak itu, sistem pemerintahan dan hukum lokal berkembang secara independen.
Simbur Cahaya sendiri diyakini sebagai hukum adat yang berasal dari peraturan yang ditetapkan oleh Ratu Sinuhunn dan Sultan Cindai Balang. Kitab ini dikodifikasi lebih lanjut oleh J. F. R. S. van den Bossche pada tahun 1851 dalam enam bagian utama, yaitu hukum perkawinan, hukum marga, hukum desa dan pertanian, hukum komunitas, hukum pidana, dan hukum pajak tanah.
Simbur Cahaya memiliki struktur hukum yang mencerminkan keseimbangan antara adat istiadat lokal, hukum Islam, dan pengaruh hukum kolonial. Adapun bagian utama dari kitab ini adalah:
Adat Bujang Gadis dan Kawin – Mengatur tentang norma pergaulan dan pernikahan.
Aturan Marga – Menetapkan struktur pemerintahan di tingkat distrik.
Aturan Dusun dan Berlada – Berkaitan dengan pengelolaan desa dan sektor pertanian.
Aturan Qawm – Mengatur kehidupan sosial dan interaksi antar komunitas.
Adat Perhukuman – Memuat ketentuan pidana dan penyelesaian sengketa.
Aturan Pajak – Mengatur sistem perpajakan yang berlaku di wilayah Kesultanan Palembang.
Pengaruh Simbur Cahaya
Simbur Cahaya berperan penting dalam sistem pemerintahan Kesultanan Palembang. Kepala distrik atau marga bertanggung jawab dalam pelaksanaan hukum ini, sementara kepala desa dipilih oleh masyarakat dan diakui oleh Sultan. Namun, setelah kolonialisme Belanda, sebagian besar aturan dalam Simbur Cahaya mengalami modifikasi atau bahkan dihapus, terutama yang berkaitan dengan sistem perpajakan dan perbudakan.
Dalam praktiknya, hukum Islam mulai lebih dominan di wilayah perkotaan seperti Palembang, sedangkan di pedalaman seperti Komering dan Ogan hingga Rejang dan Pasemah, hukum adat tetap memiliki pengaruh yang kuat, bahkan bisa lebih dihormati. Hingga kini, beberapa prinsip dalam Simbur Cahaya masih dapat ditemukan dalam sistem hukum adat yang diterapkan di komunitas lokal Sumatra Selatan.
Kitab Simbur Cahaya merupakan bukti bagaimana hukum adat berkembang dan bertahan di tengah perubahan politik dan sosial. Kodifikasi yang dilakukan oleh van den Bossche menunjukkan upaya untuk merangkum hukum adat dalam sistem pemerintahan kolonial. Meskipun hukum Islam telah menggantikan sebagian besar ketentuan dalam Simbur Cahaya, prinsip-prinsip hukum adat tetap berpengaruh dalam praktik sosial dan budaya masyarakat Palembang hingga saat ini.
Referensi
Post a Comment for "SIMBUR CAHAYA: JEJAK HUKUM ADAT DARI KESULTANAN PALEMBANG"
Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus