PENYAKIT SEBTOAK STRUMA DI TANAH REJANG, 1830-1900
![]() |
Ilustrasi yang ditawarkan oleh AI satu keluarga di pedalaman mengidap penyakit gondok struma |
Realitas Medis dan Pandangan Budaya di Rejang Pedalaman
Gondok, atau sebtoak dalam bahasa Rejang, dalam istilah medis dikenal sebagai struma, adalah pembesaran kelenjar tiroid yang terletak di bagian depan leher, tepat di bawah jakun. Penyakit ini bukanlah infeksi menular seperti mumps (gondongan), melainkan merupakan kondisi kronis yang umumnya disebabkan oleh kekurangan yodium, yaitu mineral penting yang dibutuhkan untuk produksi hormon tiroid. Hormon ini mengatur berbagai fungsi metabolisme dalam tubuh. Tanpa asupan yodium yang cukup, kelenjar tiroid akan bekerja lebih keras dan membesar untuk mengimbangi kekurangan tersebut—terjadilah gondok.
Di banyak wilayah pegunungan dan pedalaman di seluruh dunia, termasuk di Nusantara, gondok pernah menjadi penyakit endemik. Salah satu wilayah yang terdokumentasi mengalami endemik gondok sejak abad ke-19 adalah Tanah Rejang di pedalaman, dalam hal ini mencakup wilayah Kabupaten Kepahiang, Lebong dan Rejang Lebong.
Namun, selain di pedalaman Rejang, keberadaan gondok juga ditemukan di pedalaman wilayah sekitar Bengkulu lainnya, sebagaimana dicatat oleh William Marsden dalam The History of Sumatera berdasarkan jurnal Letnan Hasting Dare, komandan ekspedisi militer Inggris ke Muko-Muko, 22 November 1804 - 22 Januari 1805. Dalam perjalanan melintasi wilayah pedalaman Rannah Ali (Renah Alai, Merangin, Jambi [ES]), pada 9 Januari 1805, pasukan tiba di Serampas. Letnan Hasting Dare menuliskan dalam jurnalnya, jika dia melihat hampir setiap perempuan di sana memiliki gondok di lehernya. Sang Letnan beranggapan, bahwa penyakit itu tampaknya sudah umum diderita di sana. Salah seorang perempuan itu memiliki dua tonjolan yang menggantung di lehernya dengan ukuran sebesar botol liter.
Ekspedisi Belanda dan Penemuan Gondok di Pedalaman Rejang
Pada 12 Mei 1835, pasukan militer kolonial Belanda di bawah pimpinan Kapten L. De Leau memulai ekspedisi militer ke wilayah pedalaman Bengkulu. Misi ini merupakan bagian dari rencana aneksasi wilayah Rejang ke dalam jalur penghubung strategis Bengkulu–Empat Lawang–Palembang. Ekspedisi ini menandai perjumpaan pertama antara militer Belanda dan masyarakat Rejang pedalaman secara langsung.
Tiba di Dusun Temedak, salah satu dusun tua di Rejang Tengah (kini bagian dari Kabupaten Kepahiang), pasukan Belanda dikejutkan oleh pemandangan yang tak biasa. Di sepanjang jalan, berdiri para warga yang menyambut dan menyaksikan kedatangan mereka. Namun yang mencolok, banyak dari warga tersebut—baik laki-laki maupun perempuan—memiliki pembesaran besar di bagian leher. Beberapa bahkan memiliki dua kantung gondok besar yang tampak jelas dari kejauhan. Yang paling mengejutkan, kondisi ini tidak hanya dialami oleh rakyat biasa, tetapi juga oleh beberapa pemuka masyarakat.
Dalam De Annexatie der Redjang, Van Rees mencatat kekagetan Kapten De Leau melihat bagaimana orang-orang yang tampak sehat secara jasmani itu tidak memperlihatkan rasa malu, sakit, atau kesulitan akibat gondok yang menggantung di leher mereka. Mereka berdiri, menyapa, dan tersenyum seperti tak terjadi apa-apa pada tubuh mereka. Keheranan itu membuka babak panjang pengamatan kolonial terhadap kondisi kesehatan masyarakat Rejang.
Struma Bukan Gondongan: Klarifikasi Medis
Dalam konteks ini, penting untuk meluruskan kekeliruan umum yang sering terjadi hingga kini, yakni menyamakan gondok (struma) dengan gondongan (mumps). Keduanya berbeda secara signifikan:
- Gondok (struma): disebabkan oleh defisiensi yodium kronis, menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid.
- Gondongan (mumps): penyakit menular akut disebabkan oleh virus paramyxovirus, menyerang kelenjar ludah parotid, bukan tiroid.
Struma bersifat non-menular, muncul perlahan, dan sering kali tidak menimbulkan rasa sakit, meskipun bisa membesar hingga mengganggu pernapasan atau menelan.
Mengapa Gondok Menjadi Endemik di Tanah Rejang Pedalaman?
Ada beberapa faktor penting yang menjelaskan kemungkinan mengapa gondok pernah menjadi endemik di pedalaman Rejang sebelum abad ke-19:
-
Kondisi Geografis dan Geokimia Tanah: Tanah Rejang terletak di wilayah pegunungan dan berlereng curam, dengan tingkat erosi tinggi dan hujan yang melimpah. Kondisi ini menyebabkan pencucian unsur hara tanah, termasuk yodium, ke lapisan yang lebih dalam. Hasilnya, tanaman yang tumbuh di wilayah ini memiliki kandungan yodium sangat rendah, menyebabkan asupan masyarakat terhadap mineral ini juga minim.
Kondisi Geologis: tidak ada kandungan garam ditemukan di Rejang pedalaman. Tanah Rejang pedalaman merupakan bagian dari jalur pegunungan Bukit Barisan yang terbentuk dari aktivitas tektonik dan vulkanik, bukan dari bekas laut purba. Dengan kondisi ini, maka tanah dan batuannya pun tidak mengandung endapan evaporit (seperti halit) yang menjadi sumber utama garam batu.
-
Jarak dari Laut: pada kenyataannya penyakit gondok sangat jarang ditemukan pada masyarakat Rejang yang berdomisili di dataran rendah atau di pesisir pantai. Hal ini sangat berbeda dengan wilayah Rejang pedalaman, sebagaimana juga di Serampas pada kisah di atas, sangat jauh dari laut. Sumber makanan dari laut seperti ikan, rumput laut, dan kerang—yang secara alami kaya yodium—hampir tidak dikonsumsi. Hal ini memperburuk defisiensi yodium. Faktor jarak ini juga membuat orang Rejang sulit mendapatkan garam laut yang bisa menjadi salah satu bahan alami untuk mencegah penyakit gondok. Tidak selalu juga pedagang keliling dari pesisir (Bengkulu) membawa garam untuk dijual/dibarter ke wilayah pedalaman, mengingat garam tidak diproduksi secara luas di Bengkulu, baik pada masa Inggris di Bengkulu atau pada masa Hindia Belanda. Dalam The History of Sumatra (1811), Marsden menyebut garam di Bengkulu diimpor dari wilayah lain. (Catatan: pemanfaatan garam sebagai pencegah gondok belum diketahui sebelum abad ke-20. Masyarakat dunia menggunakan garam secara umum masih terbatas sebagai penyedap rasa makanan)
-
Dominasi Makanan Nabati Lokal: sebelum abad ke-20, orang Rejang belum mengenal tanaman seperti singkong, kentang dan kubis yang bersifat goitrogenik. Namun, mereka mengkonsumsi sayur-sayuran liar dan tanaman pekarangan seperti pucuk lumai (leunca, Solanum nigrum L.), bunga unji (kecombrang, Etlingera elatior), bayam liar (Amaranthus spinosus) atau jantung pisang, umbut palem, biji rimbang (takokak) dan berbagai jenis tomat serta cabai hutan. Sebagian sayuran ini bersifat goitrogenik, yaitu mengandung zat yang dapat mengganggu penyerapan yodium oleh tubuh.
-
Minim Konsumsi Produk Hewani Laut: walau orang Rejang juga mengonsumsi protein hewani seperti daging ayam, rusa, beruk, ular dan ikan air tawar, hampir tidak ada konsumsi makanan laut, yang merupakan sumber yodium utama.
-
Kebiasaan Minum Air Mentah: laporan kolonial menyebut bahwa sebagian warga Rejang mengonsumsi air mentah dari sumber seperti rawa dan pancuran, yang mungkin mengandung mikroba dan zat-zat lain yang memperburuk kondisi metabolisme.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyakit gondok menjadi endemik di Tanah Rejang terutama disebabkan oleh faktor geografis, faktor geologis, pola konsumsi, dan gaya hidup masyarakatnya. Kondisi tanah yang miskin yodium akibat pencucian unsur hara oleh hujan deras di wilayah pegunungan menyebabkan tanaman lokal pun memiliki kadar yodium rendah. Jarak yang jauh dari laut serta minimnya konsumsi makanan laut memperparah kekurangan yodium dalam pola makan masyarakat.
Selain itu, dominasi makanan nabati lokal—yang sebagian bersifat goitrogenik—serta minimnya konsumsi produk hewani laut juga turut berperan dalam defisiensi yodium. Kebiasaan minum air mentah dari alam turut mencerminkan keterbatasan akses terhadap sanitasi dan edukasi kesehatan. Semua faktor ini berpadu menciptakan kondisi yang membuat penyakit gondok menjadi masalah kesehatan yang meluas dan bertahan lama di masyarakat Rejang pedalaman sebelum abad ke-20.

Seorang laki-laki Rejang pedalaman dengan gondok kecil di lehernya
sumber gambar: M. Jaspan (1964)
Gondok dalam Pandangan Budaya Rejang Pedalaman

sumber gambar: M. Jaspan (1964)
Dalam bahasa Rejang, gondok dikenal dengan sebutan sebtoak, yakni pembengkakan di bagian leher. Menariknya, penyakit ini tidak dianggap sebagai sesuatu yang serius atau perlu diobati. Bagi masyarakat Rejang masa lalu, sebtoak adalah hal biasa, bagian dari kehidupan sehari-hari yang tidak perlu diresahkan nian. Mereka tetap bekerja di ladang, naik bukit, mengolah rotan, dan melakukan aktivitas sosial seperti biasa, tanpa merasa terhambat oleh gondok.
Penulis sendiri belum menemukan catatan dalam folklor Rejang yang berkaitan dengan gondok. Tidak ada mitos, takhayul, kisah lisan, mantera, atau ritual adat untuk mengusir sebtoak. Ini menunjukkan bahwa dalam kerangka budaya Rejang, gondok tidak dianggap sebagai penyakit spiritual, kutukan leluhur, atau gangguan magis (wawancara dengan seorang tokoh adat/masyarakat Rejang Desa Embong Ijuk-Kepahiang).
Meski begitu, ada sebagian kecil warga yang mengaitkan gondok dengan kutukan, meskipun keyakinan ini tidak mengakar kuat dan tidak dibingkai dalam struktur adat atau kepercayaan resmi.
![]() |
Rumah Sakit Umum di Kepahiang, ca. 1919 (KITLV, dengan pewarnaan) |
Dalam buku Annexatie der Redjang (1860), Van Rees mencatat pendirian klinik kecil untuk keperluan militer di Embong Ijuk pada 1835. Namun, walaupun beroperasi untuk militer, klinik ini juga mencoba menanggapi fenomena gondok di Tanah Rejang. Klinik ini dipimpin oleh dokter militer H.J.E. Reelen, melakukan observasi dan riset lapangan terkait kondisi kesehatan masyarakat.
Reelen menyimpulkan bahwa gondok disebabkan oleh kekurangan gizi dan pola konsumsi nabati yang tidak seimbang. Ia juga mengkritik cara pengolahan makanan yang dianggap tidak higienis dan kebiasaan meminum air mentah sebagai faktor yang memperburuk kondisi.
Catatan: ilmu medis kolonial pada abad ke-19 belum memahami sepenuhnya pentingnya yodium dalam metabolisme tiroid. Penemuan yodium sendiri baru terjadi pada awal abad ke-19, dan penerapannya dalam pencegahan gondok (melalui garam beryodium) baru benar-benar berkembang setelah pertengahan abad ke-20!
Data Resmi pada Awal Abad ke-20
Menurut laporan tahunan yang dibuat pada 1912, Wagermaker, yang menjabat sebagai Kontrolir Onderafdeling Rejang, mencatat terdapat 596 penderita gondok di wilayah tersebut. Dari jumlah itu, 305 laki-laki, 285 perempuan, dan 6 anak-anak. Ini menunjukkan bahwa gondok tidak hanya menyerang wanita, sebagaimana umumnya di wilayah lain, tetapi juga cukup merata di kalangan laki-laki.
Wagermaker juga mencatat, bahwa gondok juga diderita oleh beberapa orang Jawa eks-kuli kontrak yang menetap di Kepahiang. Hal ini menandakan, bahwa kondisi geografis dan pola konsumsi lokal dapat menulari kelompok pendatang dengan pola hidup baru yang serupa.
Fenomena gondok di Tanah Rejang adalah refleksi dari kesehatan masyarakat, keterbatasan geografis, dan nilai-nilai budaya lokal yang saling berkelindan. Di satu sisi, gondok adalah simbol ketertinggalan pengetahuan medis, namun di sisi lain juga merupakan bukti kemampuan adaptif masyarakat dalam menghadapi keterbatasan sumber daya alam.
Baru pada pertengahan abad ke-20, pemerintah mulai mengenalkan program distribusi garam beryodium, yang berhasil menurunkan prevalensi gondok secara signifikan di seluruh Hindia Belanda, termasuk di wilayah pedalaman Bengkulu.
Dengan majunya infrastruktur transportasi, seperti pembangunan jalan, memudahkan pedagang-pedagang dari pesisir berniaga hasil-hasil laut ke wilayah pedalaman, juga dengan perkembangan dunia medis dan perhatian pemerintah terhadap kesehatan masyarakat, pada pertengahan abad ke-20, penyakit gondok mulai berkurang di Rejang pedalaman. Hari ini, dapat dikatakan tidak ditemui lagi orang Rejang pedalaman yang mengidap gondok.
Namun, gondok akan tetap menjadi jejak sejarah penting dalam narasi kesehatan masyarakat Rejang. Ia bukan hanya soal leher yang membengkak, tapi juga tentang bagaimana sebuah masyarakat memahami tubuh, penyakit, dan kehidupannya sendiri—jauh sebelum kedatangan ilmu kedokteran modern.
Penafian:Sebagian isi artikel ini diolah dengan bantuan AI (ChatGPT), terutama untuk merapikan struktur dan menjelaskan konsep medis secara ringkas. Namun, redaksi umum, data sejarah, wawasan lokal dan interpretasi budaya disusun berdasarkan riset dan pengetahuan penulis
Post a Comment for "PENYAKIT SEBTOAK STRUMA DI TANAH REJANG, 1830-1900"
Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus