Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ORANG BUNIAN: ANTARA DUNIA TERSEMBUNYI DAN DUNIA MANUSIA

Ilustrasi: Negeri Orang Bunian

Di berbagai pelosok Sumatra, terutama di wilayah-wilayah pedalaman, kisah tentang makhluk halus yang disebut “Orang Bunian” telah hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya. Orang Bunian dikisahkan sebagai makhluk menyerupai manusia: mereka hidup dan mati, menikah, membangun rumah, beternak ayam dan kerbau, dan menjalani kehidupan sehari-hari layaknya manusia biasa. Namun ada satu hal yang membedakan mereka—mereka hidup tersembunyi, tidak kasatmata bagi manusia kecuali orang yang telah menjadi bagian dari dunia mereka. Selain itu, di kalangan mereka tidak ada kebohongan; mereka dianggap lebih mulia dibanding manusia.

Keberadaan mereka biasanya terletak di tempat-tempat sunyi yang dianggap keramat: gua-gua batu kapur, hutan lebat, rumpun bambu yang tak terjamah, atau di puncak gunung yang diselimuti lumut tebal. Dalam malam yang liar dan berselimut hujan, kadang terdengar suara-suara aneh dari rimba: bunyi tumbukan padi di penggilingan, denting gamelan samar yang berasal dari kedalaman gua, atau dentuman gong besar dari balik badai. Semua itu diyakini sebagai aktivitas Orang Bunian yang tengah berpesta atau bekerja di dunia mereka sendiri.

Di kaki Gunung Bukit Bunian, dekat Fort de Kock, masyarakat Tilatang mengenal tempat itu sebagai Gunung Orang-Orang Tersembunyi. Mereka bercerita tentang jejak-jejak kerbau yang keluar dari gua, namun tak seorang pun pernah melihat hewan itu secara nyata. Kisah ini mengakar kuat, terutama dalam kehidupan orang-orang tua, seperti sang Datuak—kepala suku di sebuah kampung kecil yang tinggal bersama istrinya, Matu.

KABUT YANG MEMBAWA PESAN

Hari itu, sejak fajar menyingsing, langit ditutupi awan kelabu. Gerimis turun pelan dari langit kelam, menyusup dari balik hutan. Sang Datuak dan Matu duduk di beranda rumah, berbincang tentang ladang dan tunas-tunas padi muda yang mulai tumbuh. Beberapa hari terakhir, sekelompok monyet dari hutan mengganggu ladang mereka. Dua di antaranya sempat ditangkap ketika tengah mencabut padi muda dengan kesungguhan yang menyerupai manusia. Hal itu membuat mereka geli dan heran sekaligus.

Ketika mata mereka tertuju ke arah hutan, tampak seorang pria kecil berkulit hitam muncul dari kabut. Pria itu menggantungkan buntalan hitam di sebuah balok dekat lumbung padi, lalu meminta izin untuk bertemu dengan Datuak. Setelah dipersilakan naik, ia duduk diam sambil meminum kopi yang disajikan oleh Matu.

Tak sepatah kata pun diucapkannya, tetapi kehadirannya menimbulkan getaran aneh di hati Datuak. Pria itu terlihat sangat asing, namun... entah mengapa terasa akrab. Perlahan-lahan, bayangan masa lalu menyusup ke ingatan Datuak—sebuah mimpi aneh yang dulu pernah ia alami.

Dalam mimpi itu, seorang wanita datang padanya, memintanya menikahi anak gadisnya. Ia menolak dengan bingung, lalu wanita itu berkata bahwa jika ia berubah pikiran, cukup sampaikan keputusannya kepada “tuan hitam itu”. Waktu itu, ia menganggap mimpi itu sekadar bunga tidur dan melupakannya. Tapi kini, semuanya kembali jelas: mimpi itu nyata!

“Aku datang untuk mengambil jawabannya,” kata pria berkulit hitam itu tiba-tiba.

Dengan gugup dan hampir tanpa sadar, Datuak menjawab, “Aku bersedia menikahi putrimu.”

Pria itu segera pergi, dan saat Datuak dan Matu melihat ke luar rumah, sosok itu telah menghilang. Mereka saling pandang, dan Datuak bergidik, “Dia pasti Orang Bunian!”

Matu menangis. Ia tahu, suaminya baru saja masuk ke dunia yang tak terlihat manusia.

Ilustrasi
PERNIKAHAN DUA DUNIA

Tengah malam, Datuak terbangun oleh panggilan tak kasatmata. Ia bangkit dan keluar dari rumah. Tiba-tiba ia telah berada di sebuah rumah luar biasa indah, terdiri dari tiga belas ruang, bersih tanpa noda, berkilau dalam cahaya yang tak biasa. Di sana, ia melihat banyak orang, termasuk pria tua yang menemuinya, serta seorang gadis cantik bernama Bungo—putri dari pria itu—yang kini menjadi istrinya.

Pagi hari, Datuak keluar untuk mandi dan menunaikan salat subuh. Tapi begitu menyiramkan air ke tubuhnya... ia tersentak. Ia sedang berada di sumur sendiri, di samping lumbung padinya! Rumah megah itu lenyap, dan dunia yang ia kenal kembali hadir. Ketika ia masuk ke rumah, Matu dan semua orang masih tidur. Pintu kamar pun masih terkunci.

Malam berikutnya, Datuak mencoba menenangkan hati dengan pergi ke surau. Tapi di tengah perjalanan, pria tua itu muncul kembali. Sekali lagi, Datuak tak mampu menolak dan mendapati dirinya sudah berada di sisi Bungo. Ia ingin tahu jalan kembali, namun hanya bisa mengandalkan pria tua itu.

Suatu hari, pria tua itu berkata, “Aku tak bisa terus-menerus datang menjemputmu. Sekarang kamu harus bertanya pada Bungo.”

Dengan lembut, Bungo menjelaskan cara menemukan jalan menuju rumah mereka.

“Jika engkau rindu padaku,” katanya, “pergilah ke Batu Gadang, batu besar di dekat jembatan Lundang. Jika ada daun jeruk nipis segar di atas batu itu, ambillah dan gosokkan ke matamu yang tertutup. Maka engkau akan melihat jalan ke rumah kami. Tapi jangan pernah datang bersama orang lain. Dan jika tak ada daun di sana, jangan paksa masuk ke semak bambu duri, karena itu akan melukaimu dan membuatmu sakit parah.”

Setiap kali Datuak melaksanakan ritual itu, ia berhasil melihat jalan putih kecil di tengah semak berduri yang membawa dirinya ke dunia Orang Bunian, tempat Bungo menanti.

Ilustrasi

diolah dari sumber:

L.C. Westenenk. 1927

Lihat cerita selanjutnya: ASAL-USUL ORANG BUNIAN  

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "ORANG BUNIAN: ANTARA DUNIA TERSEMBUNYI DAN DUNIA MANUSIA"