Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LEGALISASI PERBURUAN HARIMAU DI BENGKULU

Perburuan harimau di Kepahiang, ca. 1919
Legalisasi Perburuan Harimau

Pada 1855, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblads Nomor 50, 18 Juli 1855, tentang hadiah untuk menangkap dan membunuh harimau di Bengkulu. Keputusan ini ditandatangani oleh Sekretaris Gubernur Jenderal A. Prins, menjawab surat dari Asisten Residen Bengkulu yang memberikan hadiah sebesar 22 gulden bagi siapa pun untuk memburu atau menangkap harimau di Bengkulu. Aturan ini berlaku untuk seluruh wilayah Bengkulu.

...om voortaan, als belooning voor het vangen of dooden van tijger, van welken leeftijd ook, in de bewoonde streken van Benkoelen. Uit te betalen de som van f 22 (twee-en-twintig gulden)

...untuk membayar mulai sekarang, sebagai hadiah untuk menangkap atau membunuh harimau, berapa pun usianya di daerah yang berpenduduk di Bengkulu, sejumlah 22 gulden (dua puluh dua gulden)

Dari staatsblad ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa populasi harimau di Bengkulu masih banyak. Sementara, pada waktu yang bersamaan populasi harimau di Jawa mengalami penurunan, bahkan mulai mendekati kepunahan. Di awal-awal pendudukannya di Bengkulu pasca Traktat London, 1824, militer Belanda menceritakan masih sering terlihat harimau di sekitar benteng Marlborough. Kopral P. Wilbert dalam suratnya untuk ayahnya yang ditulis di Bengkulu, tertanggal 31 Agustus 1855, menceritakan harimau dan babi hutan di sekitar benteng Marlborough.

Our barracks are a large fortress, situated close to the sea and belonged in older times to the English, it is big and strong and with 105 cannons placed on the bastions, we can stand here long before they come to our clothes, and from prudence people here are always at war, and going unarmed far outside the fort, is highly dangerous, first of all one cannot trust the natives and above there are here in the perimeter many tigers and wild pigs and snails; so going out one is well armed and, typically with 10 or 12 men together.

(Barak kami adalah benteng terletak dekat dengan laut dan milik Inggris di masa lalu, besar dan kuat dengan 105 meriam ditempatkan di sekeliling benteng. Kami berhati-hati dengan orang-orang di sini yang telah pernah berperang dengan kita. Kami tak pernah keluar dari benteng tanpa senjata, sangat berbahaya, pertama-tama kita tidak dapat mempercayai penduduk asli, selain itu di sekeliling banyak harimau dan babi hutan serta siput (kemungkinan siput yang dimaksud penulis ini adalah lintah [ES]). Jadi, pergi keluar harus bersenjata dengan baik dan biasanya dalam kelompok dengan 10 atau 12 orang)

Kondisi alam yang liar, kerapatan vegetasi dan faktor religiositas masyarakat lokal telah banyak melindungi keberadaan harimau di banyak wilayah di Sumatera, khususnya di Bengkulu. Dengan kondisi ini, maka populasi harimau di Sumatera masih tinggi dan bahkan sering dijumpai di pinggir-pinggir wilayah pemukiman.

Dari awal pendudukannya di Bengkulu, militer Belanda mulai gencar melakukan penetrasian dan pembukaan jalan ke seluruh wilayah Bengkulu, terutama sekali ke wilayah pedalaman. Harimau dan beberapa binatang buas lainnya merupakan ancaman serius bagi ekspedisi ke pedalaman dan kegiatan kolonialisasi lainnya. Baik serdadu maupun kuli telah sering mendapat serangan harimau, bahkan tak jauh dari benteng atau garnisun. Pekerja-pekerja perkebunan juga beberapa kali menjadi korban karena serangan harimau.

Aturan yang "Munafik"

Dengan Staatsblads Nomor 50 Tahun 1855 itu, Belanda sebagai penguasa baru di Bengkulu hendak menunjukkan fungsinya sebagai pelindung masyarakat dari ancaman harimau. Namun, pada kenyataannya, perburuan harimau itu lebih banyak dilakukan oleh militer atau orang-orang Eropa lainnya yang ada di Bengkulu, sehingga memperlihatkan, jika aturan itu sebenarnya adalah untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Hingga pada akhirnya, lahirnya aturan ini telah secara tegas menunjukkan adanya ketidaksesuaian nilai antara logika kolonial yang eksploitatif dan logika lokal yang kosmologis. Ini juga memperlihatkan bahwa kebijakan kolonial itu telah gagal memahami atau sengaja mengabaikan nilai-nilai kultural masyarakat lokal.

Pada sisi orang-orang lokal sendiri, iming-iming hadiah uang itu tidak berhasil untuk menggerakkan mereka berburu harimau. Tidak pernah ada orang Bengkulu, terutama Rejang di pedalaman yang memiliki tradisi berburu harimau. 

Harimau tidak memiliki manfaat langsung bagi penduduk lokal. Tak ada orang di Bengkulu yang menyantap daging harimau. Dari segi ekonomi, tidak ada penduduk yang berani menjadikan bagian-bagian dari tubuh harimau sebagai komoditas dagang. Dengan semua kondisi ini, masyarakat lokal pun tidak pernah memiliki alasan untuk membunuh harimau. Dari sisi budaya, mereka menghormati keberadaan harimau. Adanya beberapa orang yang diserang atau dibunuh harimau pun selalu dilihat sebagai sebuah violasi karena kesalahan yang dilakukan korban, baik karena kesalahan manusiawi (masuk atau membuka ladang di wilayah harimau) atau kesalahan dari sisi ketakhayulan atau mitis.
Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "LEGALISASI PERBURUAN HARIMAU DI BENGKULU"