Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HUTAN KONAK KEPAHIANG: SURGA KECIL WESTENENK DAN KELUARGA

Westenenk dan keluarga, 1920
Taman Penuh Keajaiban 

Konak-Kepahiang adalah nama yang lekat dengan kenangan dan kebahagiaan bagi keluarga Westenenk. Nama ini bukan sekadar sebutan sebuah tempat, tetapi juga menggambarkan semangat seorang pria yang ingin menghadirkan kenyamanan dan keteduhan bagi keluarganya di tengah panasnya Bengkulu.

Kisah ini bermula dari kehidupan keluarga Westenenk di Bengkulu, tepatnya ketika Nyonya Westenenk merasa tidak tahan dengan suhu panas ibu kota. Maka, sang suami yang saat itu memegang jabatan sebagai Residen Bengkulu (1915-1920), mencari sebuah tempat yang lebih sejuk dan menenangkan. Di Kepahiang, dia menemukan sebidang tanah yang berada pada ketinggian 500 meter. Tanah itu kemudian disewa dengan hak erfpacht, dan di situlah ia membangun sebuah rumah kayu sederhana yang berasal dari sisa gempa besar tahun 1914. Sebagai kenangan akan masa-masa mereka di Turki, tempat peristirahatan ini dinamainya "Konak". Tentang asal-usul nama Hutan Konak, lihat tulisan lain penulis di blog ini Asal-Usul Nama Hutan Konak Kepahiang: Jejak Turki di Kepahiang.

Rumah kayu yang menjadi "konak" atau mansion bagi Westenenk dan keluarga


Namun, Konak tidak sekadar menjadi tempat berlindung dari panas. Ia menjelma menjadi taman hidup penuh keajaiban. Bersama istri dan putrinya, Westenenk membuka jalur-jalur kecil melalui hutan yang mengarah ke berbagai titik dengan panorama indah. Di sekeliling rumah, mereka membuka hutan karet dan menciptakan padang rumput untuk memelihara dua puluh sapi Belanda dan Bengal. Di tengah alam liar yang tetap dijaga keasriannya, mereka menanam anggrek dan mencatat dengan rinci setiap pertumbuhan dan pembungaannya, sebagaimana taman botani sungguhan.

Tak hanya flora, Konak juga dipenuhi berbagai fauna. Sebuah volière—ruang atau kandang besar dengan kawat—dibangun untuk menampung burung-burung dari berbagai jenis. Di tempat lain, terdapat rusa kerdil, kelinci, marmot, tupai, katak raksasa, ayam, angsa, bebek, kambing, dan kuda yang berkeliaran bebas. Bahkan hewan-hewan yang lebih eksotis juga hadir: tapir, trenggiling, musang, siamang, monyet, burung rangkong, burung beo dan merpati. Dengan sebuah sungai mengalir di dekatnya, Konak menjelma menjadi kebun binatang pribadi sekaligus tempat belajar dan bermain yang luar biasa.

Padang kecil tempat Westenenk memelihara sapi dan domba
terlihat di latar belakang Gunung Kaba

Perburuan Di Sekitar Konak

Dalam suasana yang damai itu, Westenenk juga berburu. Salah satu pengalamannya yang paling dikenang terjadi pada sore hari tanggal 13 November 1916. Di sebuah "pohon perburuan" di dalam hutan, dia memutuskan menunggu kedatangan babi liar. Sayangnya, bukan babi yang datang, melainkan serangan mendadak dari keluarga tawon yang menghuni pohon ficus tempat dia bersembunyi. Tersengat panik, ia melindungi diri dengan cape (masker) putrinya yang berbau naftalin menyengat. Dalam suratnya kepada sang putra, Willem, dia menceritakan pengalaman itu dengan gaya yang hidup dan penuh humor getir:

"Saya mencium bau kemenyan, cat, dan debu. Saya merasa seperti tentara memakai masker gas. Saya teringat cerita tentang seseorang yang merasa tercekik dalam masker dan akhirnya mencabutnya. Saya pun demikian. Ketika dua tawon masih mengitari saya, saya sudah tak tahan dan mencabut cape itu. Untungnya, serangan telah berlalu."

Suasana sekitar menjadi sangat tenang setelah kejadian itu. Di atas kepalanya, terdengar kicauan riang burung tektereu (kedasih), yang disebut juga “pengawal kambing”. Jam tangannya menunjukkan pukul enam. Dari kejauhan, gamelan dari perkebunan kopi Sempiang menggema, menandakan para pekerja sudah bersantai. Sementara itu, dari arah Konak, terdengar nyanyian lembut sang istri, memanggil Adrietje dengan lagu dari pelajaran menyanyi mereka. Semua begitu tenang, lembut, dan penuh nostalgia.

Voliere, kandang tempat Westenenk memelihara berbagai burung dan ayam

Malam pun tiba, dan alam mengambil alih panggung. Burung-burung terakhir berhenti bernyanyi. Belalang memulai nyanyiannya, kunang-kunang beterbangan, dan kelelawar buah mendesis ringan di telinga. Namun, tak ada tanda-tanda babi liar. Dia curiga, mungkin terlalu banyak pohon yang ditebang atau terlalu bising, sebab kemarin saat ia melintasi belakang Konak, seekor babi besar sempat melompat dari semak alang-alang hanya satu meter darinya.

Dalam suratnya kepada Willem, sang ayah menulis dengan lirih:

"Ibu kuat, tapi kami merasa tidak puas, gelisah. Terlalu banyak yang mengingatkan kami pada kalian, dan itulah sebabnya distraksi itu bermanfaat bagi kami, dan lingkungan yang sepenuhnya baru akan memberikan hal itu kepada kami. Tapi betapa menyedihkan harus mengucapkan selamat tinggal kepada Konak."

Konak menjadi pusat kehidupan keluarga yang sarat cinta dan kegembiraan. Ketika perang dunia pertama usai dan kapal-kapal Belanda kembali melewati Terusan Suez menuju Hindia, awal tahun 1919 menjadi momen kedatangan anak-anak mereka di Konak. Saat itulah Konak kembali hidup, bahkan mungkin mengalami masa-masa paling bahagia dalam sejarah keluarga itu.

Namun, seperti roda kehidupan yang terus berputar, kebahagiaan besar pun diikuti dengan kekosongan yang menyakitkan. Setelah beberapa bulan berkumpul, anak-anak kembali ke Belanda. Tinggallah sang ayah dan ibu dalam sunyi, yang hanya ditemani oleh kenangan indah yang kini terasa semakin menyakitkan dan membuncah.

Sungai di dekat rumah, pada hari ini dikenal dengan nama Air Konak
Hutan Konak Tak Terlupakan

Pernyataan ini menunjukkan pergulatan batin seorang ayah yang ingin melarikan diri dari sepi, namun juga enggan meninggalkan tempat yang menyimpan banyak cinta dan memori. Mereka mempertimbangkan untuk pindah ke Palembang, di mana pemerintahan Sumatra Selatan tengah direncanakan untuk dibentuk dan akan dipimpin oleh Westenenk sendiri.

Kenangan tentang Konak tidak akan mudah terlupakan. Padang rumputnya yang luas, suara nyanyian malam dari belalang, burung, dan gamelan di kejauhan, serta segala flora-fauna yang menjadi bagian dari keseharian mereka, menjadikan Konak sebagai oasis kecil di bumi Bengkulu. Konak bukan hanya tempat tinggal, tapi juga simbol kasih sayang, dedikasi, dan kerinduan keluarga Westenenk terhadap satu sama lain dan terhadap rumah yang memberi mereka hidup—dalam arti sebenarnya maupun secara batiniah.

Hari-hari itu boleh berlalu, rumput boleh berganti semak, kebun bisa menjadi liar, tapi ingatan tentang Konak akan terus tinggal. Seperti yang ditulis Westenenk dengan haru:

"Tetapi sayangnya, ini bukanlah Konak, terutama karena kamu belum berada di sini, - belum ada di sini setidaknya."

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "HUTAN KONAK KEPAHIANG: SURGA KECIL WESTENENK DAN KELUARGA"