SURAT ULU REJANG: PERKEMBANGAN DAN VERSI-VERSINYA
![]() |
Satu naskah Rejang di Museum Negeri Bengkulu (Foto: pribadi) |
Aksara Ulu, yang secara populer dikenal sebagai aksara Kaganga atau aksara Rencong, memiliki peran penting dalam sejarah literasi masyarakat Rejang. Meskipun sering kali disamakan dengan aksara lain yang berkembang di Sumatera, seperti Aksara Batak dan Aksara Kerinci, masyarakat Rejang lebih mengenalnya sebagai Surat Ulu. Aksara ini diduga merupakan turunan dari aksara Pallawa, salah satu sistem tulisan tertua yang digunakan di Nusantara.
Aksara Ulu terdiri dari 23 grafem dasar dan sejumlah sandangan yang berfungsi untuk mengubah bunyi dasar menjadi variasi fonetis tertentu. Keunikan sistem penulisan ini tidak hanya terletak pada bentuknya yang khas, tetapi juga pada fungsinya dalam mencatat berbagai aspek kehidupan masyarakat Rejang, mulai dari catatan hukum adat, silsilah keluarga, hingga mantra-mantra yang dianggap sakral.
Meskipun belum dapat dipastikan kapan awal mula tradisi Surat Ulu berkembang, berbagai temuan manuskrip kuno menunjukkan bahwa aksara ini sudah digunakan secara luas oleh masyarakat Rejang sejak awal abad ke-15 Masehi. Seiring waktu, penggunaannya semakin meluas, terutama dalam mencatat peristiwa penting dan menyampaikan pesan tertulis antarwilayah. Bukti keberadaan aksara ini tidak hanya ditemukan pada naskah yang ditulis di atas kulit kayu atau bambu, tetapi juga pada batu-batu prasasti yang tersebar di beberapa daerah.
Penemuan manuskrip tertua yang menggunakan Surat Ulu menunjukkan bahwa sistem penulisan ini telah berkembang pesat pada akhir abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-19. Periode ini dianggap sebagai masa keemasan bagi tradisi literasi masyarakat Rejang, di mana aksara Ulu digunakan secara luas oleh berbagai lapisan masyarakat.
![]() |
Bersama Prof. Sarwit Sarwono, seorang peneliti garda depan aksara ulu di Bengkulu Membaca sebuah manuskrip koleksi Museum Negeri Bengkulu |
Penyebaran dan Pengaruh terhadap Budaya Lain
Penyebaran aksara Ulu tidak terbatas pada komunitas Rejang saja. Diperkirakan, sistem tulisan ini juga mempengaruhi perkembangan aksara lain yang digunakan oleh etnik-etnik di sekitar wilayah Bengkulu dan Sumatera Selatan. Aksara Ulu Lembak, Serawai, Pekal, dan Pasemah diduga merupakan variasi dari aksara Ulu Rejang, yang mengalami adaptasi sesuai dengan kebutuhan dan dialek masing-masing kelompok etnik. Keberadaan berbagai versi aksara ini menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah Sumatera bagian selatan memiliki tradisi literasi yang kaya dan beragam. Hal ini juga memperlihatkan bagaimana interaksi budaya dan pertukaran informasi antar kelompok masyarakat berlangsung melalui sistem tulisan yang mereka kembangkan.
Faktor-Faktor yang Membatasi Perkembangan Aksara Ulu
Aksara Ulu bukanlah aksara yang berkembang secara populis di kalangan masyarakat Rejang. Belum ditemukan adanya scriptorium (pusat penulisan naskah) di Bengkulu. Berbeda dengan aksara Jawa yang diajarkan dalam sangga, padepokan, atau pesantrian—pusat-pusat penulisan naskah yang melibatkan komunitas besar— kemunginan Aksara Ulu lebih bersifat eksklusif dan hanya diajarkan dalam lingkup pribadi. Penyebaran aksara ini tidak melalui institusi resmi atau lembaga pendidikan, melainkan secara turun-temurun dari orang-orang tertentu kepada murid atau anggota keluarga yang dianggap layak. Oleh karena itu, hanya sedikit orang Rejang yang menguasai aksara ini, meskipun mereka hidup dalam lingkungan budaya yang menggunakan sistem tulisan tersebut. Faktor ini menyebabkan Aksara Ulu tidak berkembang luas dan cenderung terbatas penggunaannya, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pencatatan sejarah dan tradisi lokal.
Selain metode penyebarannya yang eksklusif, sifat kepemilikan naskah yang bersifat pribadi juga menjadi salah satu faktor yang membatasi perkembangan Aksara Ulu. Naskah-naskah yang ditulis dalam aksara ini sering kali merupakan catatan pribadi, seperti silsilah keluarga, hukum adat, mantra, atau catatan spiritual yang diwariskan dalam lingkungan terbatas. Akibatnya, tidak ada upaya sistematis untuk mengarsipkan atau memperbanyak naskah-naskah tersebut dalam skala luas. Hal ini berbeda dengan budaya literasi di daerah lain, seperti Jawa atau Sumatra bagian utara, di mana aksara lokal berkembang dalam institusi kerajaan atau keagamaan yang memiliki peran dalam mendokumentasikan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Tidak adanya lembaga resmi yang mendukung perkembangan Aksara Ulu juga membuatnya lebih rentan terhadap kepunahan dibandingkan aksara-aksara lain di Nusantara.
![]() |
Satu manuskrip pengobatan dan penujuman koleksi Museum Negeri Bengkulu (Foto: pribadi) |
Faktor Penyebab Penurunan Penggunaan Aksara Ulu
Memasuki abad ke-20, perubahan besar dalam sistem penulisan masyarakat Rejang mulai terjadi seiring dengan berkembangnya pengaruh Islam. Aksara Arab, yang diperkenalkan melalui ajaran agama Islam, secara perlahan mengambil alih peran Aksara Ulu dalam tradisi tulis-menulis masyarakat Rejang. Al-Qur’an dan kitab-kitab keislaman yang menggunakan aksara Arab mulai diajarkan di surau-surau dan masjid-masjid, menjadikannya lebih familiar bagi masyarakat dibandingkan Aksara Ulu yang hanya dikuasai oleh segelintir orang.
Selain pengaruh Islam, modernisasi dan kolonialisme juga mempercepat penurunan penggunaan Aksara Ulu. Pemerintah kolonial Belanda yang memperkenalkan sistem pendidikan berbasis alfabet Latin menjadikan aksara ini semakin tersisih. Sistem sekolah formal yang diperkenalkan kepada masyarakat Rejang tidak mengajarkan Aksara Ulu, melainkan lebih menekankan pembelajaran bahasa Belanda dan Latin sebagai alat komunikasi utama dalam pemerintahan dan administrasi. Seiring berjalannya waktu, generasi muda Rejang menjadi lebih akrab dengan aksara Latin dibandingkan Aksara Ulu. Hal ini menyebabkan aksara warisan leluhur ini semakin terpinggirkan dan hanya bertahan dalam segelintir komunitas yang masih berusaha melestarikannya.
Versi Manuskrip vs Versi Populer
Banyak versi Aksara Ulu yang dikenal saat ini tidak sepenuhnya berdasarkan pada manuskrip asli, tetapi lebih mengacu pada catatan yang dibuat oleh M. Jaspan. M. Jaspan, seorang antropolog dari Australia National University (ANU) yang meneliti kehidupan masyarakat Rejang dalam kurun 1962-1964, menyusun sistem Aksara Ulu dengan tujuan untuk mempermudah pembelajarannya sendiri terhadap aksara tersebut. Dalam penelitiannya, Jaspan yang pada dasarnya bukan seorang filolog, mencoba merekonstruksi bentuk dan sistem penulisan Aksara Ulu berdasarkan observasi terhadap berbagai manuskrip kuno serta wawancara dengan masyarakat lokal, dengan tujuan memberikan kemudahan baginya untuk membaca manuskrip-manuskrip atau menulis menggunakan Surat Ulu. Namun, pendekatan yang ia gunakan dalam penyusunan sistem ini lebih bersifat praktis daripada historis, sehingga beberapa aspek yang ia tambahkan tidak memiliki dasar yang kuat dalam tradisi literasi asli masyarakat Rejang.
Salah satu permasalahan utama dalam sistem yang dikembangkan oleh Jaspan adalah pengenalan tanda baca baru dalam Aksara Ulu. Berdasarkan berbagai studi filologi terhadap manuskrip asli, tidak ditemukan adanya kerumitan tanda baca dalam sistem penulisan tradisional Aksara Ulu. Orang Rejang telah menggunakan tanca baca sesuai dengan kebutuhan fonologi mereka. Namun, dalam versinya, Jaspan menambahkan elemen-elemen baca baru yang berfungsi sebagai pemisah kalimat dan penanda intonasi. Tanda baca berbentuk titik misalnya, tidak dipergunakan dalam banyak manuskrip. Secara luas, dalam manuskrip, tanda baca dibentuk dengan pola dasar garis kecil. Demikian juga Jaspan menggunakan tanda baca untuk pemisah atau spasi, yang tidak pernah ditemukan dalam manuskrip manapun.
Penambahan ini tidak memiliki preseden dalam naskah-naskah kuno dan lebih mencerminkan kebutuhan akademis untuk memberikan struktur yang lebih jelas bagi para peneliti modern yang mempelajari aksara ini. Hal ini menyebabkan kesalahpahaman di kalangan akademisi dan masyarakat umum, yang menganggap sistem Jaspan sebagai bentuk asli Aksara Ulu yang digunakan oleh masyarakat Rejang pada masa lampau.
Akibat dari popularitas sistem yang dikembangkan Jaspan, banyak pihak yang kemudian menggunakan versimya sebagai rujukan utama dalam kajian Aksara Ulu, tanpa melakukan verifikasi terhadap manuskrip-manuskrip asli yang masih ada. Hal ini berkontribusi pada penyebaran kesalahan konseptual dalam pemahaman terhadap aksara tersebut. Beberapa upaya revisi telah dilakukan oleh peneliti-peneliti modern dengan membandingkan sistem Jaspan dengan manuskrip-manuskrip asli yang tersimpan di museum-museum dan koleksi pribadi. Studi terbaru menunjukkan bahwa untuk mengembalikan bentuk asli Aksara Ulu, diperlukan pendekatan yang lebih berbasis pada sumber-sumber primer daripada sekadar mengandalkan sistem yang disusun oleh Jaspan. Oleh karena itu, kajian kritis terhadap rekonstruksi aksara ini sangat penting untuk memastikan pelestarian yang lebih akurat terhadap warisan budaya literasi masyarakat Rejang.
Referensi:
Jaspan, M. A. (1964). Folk Literature of South Sumatra: Redjang Ka-Ga-Nga Texts. Canberra: Australian National University. 1964.
Mahdi, W. "Reevaluating the Structure of Surat Ulu: A Critical Analysis of Manuscripts and Modern Reconstructions." Journal of Southeast Asian Philology, 24(2), 89-110. 2017.
Putra, D. (2021). "The Authenticity of Ulu Script: A Comparative Study Between Original Manuscripts and Modern Interpretations." Indonesian Historical Review, 15(1), 45-67.
Sarwono, Sarwit. Collecting Honey from Sialang Trees: Ulu Manuscripts of the Nyialang Ritual in Bengkulu, Indonesia” dalam Journal Indonesia and the Malay World, Vol. 48, No. 142(281-303). 2020a.
-------------------- Khazanah Manuskrip Ulu Bengkulu. Bengkulu: UPP FKIP Universitas Bengkulu. 2020b.
Sarwono & Firmansyah. Standardisasi Aksara Ulu Rejang Musi Kepahiang. Kepahiang: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Kepahiang. 2022.
Tim Penyusun Modul. Modul Aksara Ulu Bengkulu, Modul Revitalisasi Bahasa Daerah. Bengkulu: Kantor Bahasa Bengkulu. 2022.
Post a Comment for "SURAT ULU REJANG: PERKEMBANGAN DAN VERSI-VERSINYA"
Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus