 |
British in Sumatra, ca. 1800 |
Pengantar: Ekspedisi Sejarah Bengkulu dan Sumatera Selatan
Tulisan ini akan membawa kita menelusuri perjalanan Kapten Salmond, seorang militer Inggris di Bengkulu, yang bersejarah yang penuh petualangan di wilayah Bengkulu, Tanah Rejang yang belum pernah dilalui ekspedisi orang-orang Eropa dan wilayah Sumatera Selatan. Catatan Kapten itu mengisahkan perjalanan eksploratif dari Fort Marlborough, Bengkulu, menuju berbagai tempat bersejarah yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Bengkulu Tengah, Rejang Lebong, hingga Musi Rawas. Dengan menelusuri catatan perjalanan ini, kita dapat memahami bagaimana kondisi geografis, budaya, serta interaksi sosial masyarakat setempat pada masa lalu.
Dalam ekspedisi ini, para penjelajah melintasi Bukit Kabut, Sungai Lemau, Kelindang, hingga Lubuk Talang, melewati jalur-jalur menantang yang mengharuskan mereka menyeberangi sungai, mendaki bukit, dan berhadapan dengan kondisi alam yang ekstrem. Perjalanan ini juga mengungkap berbagai aspek menarik seperti pertanian, penggunaan alat tradisional seperti kincir air bambu, serta keberadaan jejak hewan liar seperti gajah yang berkeliaran di ladang-ladang terlantar.
Bagi para pecinta sejarah, geografi, dan budaya, artikel ini menjadi referensi berharga dalam menggali lebih dalam jejak-jejak masa lampau yang masih dapat ditemukan hingga kini. Selain itu, artikel ini juga bermanfaat bagi peneliti, pelajar, serta wisatawan yang ingin menelusuri jejak peninggalan eksplorasi kolonial dan kehidupan masyarakat adat di Sumatera bagian barat.
22 Juni
Berangkat dari Fort Marlborough pukul 11 siang dan melanjutkan perjalanan bersama restu Yang Terhormat Letnan Gubernur menuju Bukit Kabut, tempat kami bermalam.
23 Juni
Berangkat dari Bukit Kabut pada pukul 09.40 pagi dan tiba di rumah Pangeran Sungey Lamau di Kalindong, di tepi Sungai Bencoolen, pada pukul 4 sore. Kami bermalam di sana. Jalan dari Bukit Kabut ke Kalindong cukup sulit karena banyak tanjakan dan turunan curam, serta harus menyeberangi cabang-cabang Sungai Bencoolen beberapa kali dengan berjalan kaki, karena tidak ada rakit atau sampan yang tersedia. Di satu titik, kami harus berjalan di sepanjang sungai sekitar setengah mil untuk menemukan tepi sungai yang mudah didaki. Sepanjang perjalanan, kami melewati beberapa ladang di lereng bukit dengan tanah yang subur. Di salah satu anjah (menara pengawas), kami melihat sepotong kayu yang membatu, tekstur dan beratnya menyerupai batu. Tak jauh dari situ, terdapat balok besar yang tampaknya bagian dari batang pohon yang membatu.
Keterangan Tempat hari ini (ES):
Sungey Lamau = Sungai Lemau, Bengkulu Tengah (Benteng)
Kalindong = Kelindang, Benteng
24 Juni
Berangkat dari Kalindong pada pukul 08.45 pagi dan tiba di Penumbong, di kaki pegunungan, pada pukul 1.20 siang. Perjalanan kali ini melewati area yang lebih sedikit ditanami dibandingkan hari sebelumnya, tetapi terasa lebih ringan. Karena aliran Sungai Bencoolen yang berkelok-kelok, kami menyeberangi sungai itu sebanyak tujuh kali dan berjalan di sepanjang tepinya dalam beberapa bagian.
Penyeberangan terakhir tepat di seberang Kalindong, tempat Pangeran Sungey Lamau memiliki perkebunan pohon rempah yang sudah berbuah. Dusun Penumbong terletak di sebuah lembah, sehingga kami tidak dapat melihat posisi bukit-bukit yang dikenal dari Fort Marlborough. Namun, selama perjalanan, kami memasuki celah di antara bukit-bukit yang biasanya disebut Sugar Loaf (Bukit Gula) di sebelah kiri dan Lion's Rump (Pantat Singa) di sebelah kanan.
Keterangan tempat hari ini (ES):
Kalindong = Kelindang, Benteng Tengah
Penumbong = Penembang, Bengkulu Tengah
Sugar Loaf = Gunung Bungkuk, Bengkulu Tengah
Lion's Rump = Bukit Kandis, Bengkulu Tengah
25 Juni
Kami meninggalkan Penumbong pukul 07.45 pagi dan mulai mendaki bukit. Setelah berjalan sebentar, kami tiba di sebuah air terjun setinggi sekitar 30–40 kaki. Pada pukul 10.00 pagi, kami sampai di puncak bukit yang disebut Bukit Rassam. Dari sana, kami dapat mengamati: Pulo Point di arah selatan-barat daya (SSW setengah W), Buffaloe Point di arah barat daya oleh selatan (SW by S), Lion’s Rump di arah selatan oleh barat (S by W) sekitar enam mil jauhnya, Sugar Loaf tepat di arah barat sejauh tiga mil, dan Bukit Kabut di arah selatan setengah barat (S setengah W). Jalur pendakian ke bukit ini umumnya tidak sulit, dan kondisinya cukup baik. Bukit ini tidak memiliki dataran puncak yang luas, tetapi langsung menurun sedikit sebelum naik kembali ke puncak lain yang disebut Bukit Chamano, yang kami capai pada pukul 11.35 pagi. Penduduk setempat mengatakan Bukit Chamano lebih rendah dari Bukit Rassam, tetapi menurut kami, ketinggiannya hampir sama, dengan perbedaan yang tidak signifikan.
Saat menuruni bukit di sisi Musi, kami melewati beberapa talang (ladang) yang tampaknya telah ditinggalkan karena banyaknya gajah dan hewan liar lainnya. Jejak kaki mereka terlihat jelas di tanah. Tanahnya berupa lempung hitam yang sangat subur. Dalam setengah jam terakhir perjalanan, kami berjalan melalui jalan yang baik melewati hutan bambu yang lebat, yang akhirnya membawa kami ke dusun pertama di wilayah Musi, yaitu Lubu Kuauw. Kami tiba pukul 13.40 siang. Kami segera menyeberangi cabang Kulinghi dari Sungai Musi atau Palembang menggunakan jembatan bambu selebar sekitar 25 depa. Jembatan ini terdiri atas empat rakit bambu yang dipasang pada jarak yang sama di sepanjang lebar sungai, dengan bambu panjang yang melintang membentuk jalan. Karena arus sungai yang deras, ujung rakit yang terkena arus diikat menggunakan rotan yang dipilin dan ditambatkan ke kabel di setiap sisi sungai. Untuk mengurangi tekanan arus yang kuat, tali rotan tambahan dipasang pada benda berat di tengah sungai, yang juga dihubungkan ke kabel utama.
Setelah menyeberangi Sungai Musi, sebagian besar perjalanan kami melalui hutan bambu yang luas dengan banyak jejak gajah berukuran besar. Di dekat Lubu Kuauw, kami melewati sebuah danau kecil dengan air yang sangat bau. Seorang kepala suku Melayu kecil yang tinggal di dekat danau ini datang menemui kami bersama putranya, yang memiliki kulit dan rambut putih seluruhnya. Kami melanjutkan perjalanan ke Suro dan tiba pukul 15.40 sore. Dusun ini cukup indah, meskipun kecil, dan terletak di tepi sebuah sungai kecil yang bermuara ke Sungai Musi atau Kulinghi. Sebelum tiba di Suro, kami melewati rawa yang dalam selebar sekitar 50 kaki, dengan bambu yang dipasang untuk menyeberanginya.
Keterangan tempat hari ini (ES):
Bukit Rassam = Bukit Resam, Benteng)
Pulo Point = Ujung Pulau, Benteng)
Buffalo Point = Ujung Kerbau?, Benteng)
Lubuk Kuau = Lubuk Sungai Musi dekat Desa Dusun Sawah, Rejang Lebong)
Bukit Chamano = Bukit Basah?, Rejang Lebong)
Air Kulinghi = Air Kelingi, Rejang Lebong)
26 Juni
Kami meninggalkan Suro pada pukul 03.20 pagi dan tiba di Churup, sebuah dusun di tepi Sungai Ayer Duko (anak sungai Kulinghi), pada pukul 11.45 siang. Kami berhenti di sini untuk menunggu rombongan yang tertinggal hingga pukul 12.38 siang, lalu melanjutkan perjalanan ke Kasumbay, sebuah dusun di tepi Sungai Ayer Puti (juga anak sungai Kulinghi), dan tiba pada pukul 13.12 siang. Perjalanan hari ini sebagian besar melalui tanah datar, tetapi kecuali di sekitar tepi sungai, kami tidak banyak melewati lahan yang ditanami. Kami menyeberangi sebuah sungai dengan air terjun setinggi sekitar 25 kaki.
Dusun-dusun yang kami lalui hari ini cukup layak, dengan beberapa rumah yang dibangun dengan sangat baik. Kasumbay adalah dusun terakhir di wilayah Musi. Meskipun berada di bawah kekuasaan Sultan Palembang, dusun ini tidak dikunjungi oleh jejenang (petugas pemungut upeti) untuk mengumpulkan tubin (upeti). Hal ini mungkin disebabkan oleh jaraknya yang jauh dan kondisi jalan yang buruk.
Keterangan tempat hari ini (ES):
Suro = Suro, Kepahiang
Churup = Curup, Rejang Lebong
Kasumbay = Kesambe, Rejang Lebong
Ayer Puti = Air Putih, Rejang Lebong
Ayer Duko = Air Duku, Rejang Lebong
27 Juni
Kami meninggalkan Kasumbay pukul 07.23 pagi dan tiba di Ayer Lam pada pukul 16.30 sore. Karena tempat itu terlalu kecil dan tidak dapat memberikan kami akomodasi, kami melanjutkan perjalanan ke Lubu Tallang. Kami tiba di sana pukul 18.30 dengan kondisi sangat lelah setelah berjalan selama 11 jam 12 menit di jalur yang umumnya sangat buruk. Setelah meninggalkan Kasumbay, kami melewati area lahan pertanian yang tidak begitu luas, kemudian masuk ke dalam hutan.
Jalur di hutan ini sangat sulit dilalui karena berlumpur, dipenuhi pohon-pohon besar yang tumbang melintang di sepanjang jalan setapak, serta jalur yang sempit dengan banyak tanjakan dan turunan curam yang memakan waktu lama untuk dilewati. Kami melewati tiga air terjun, dan di air terjun terakhir yang cukup bagus, kami berhenti sejenak untuk beristirahat. Perjalanan kami hari itu tampaknya mengarah ke timur atau tenggara, melintasi dataran tinggi yang dekat dengan barisan bukit kedua.
Keterangan tempat hari ini (ES):
Ayer Lam = Air Lang, Rejang Lebong
Lubu Tallang = Lubuk Talang, Rejang lebong
28 Juni
Kami berangkat dari Lubu Tallang pukul 11.25 pagi dan tiba di Ujung Panas pada pukul 13.15 siang. Kami memutuskan untuk beristirahat di sana sepanjang hari karena masih kelelahan akibat perjalanan berat sebelumnya. Seorang jejenang tiba di Ujung Panas dari Radin Meardin di Moarra Baliti untuk memberi tahu kami bahwa ia telah menyiapkan panchallong (rakit) untuk membawa kami menyusuri sungai dan membantu kami selama perjalanan.
Keterangan tempat hari ini (ES):
Ujung Panas = Ujan Panas, Rejang Lebong
Moara Baliti = Muara Beliti, Rejang Lebong
29 Juni
Kami meninggalkan Ujung Panas pukul 08.18 pagi, melewati Ulu Landing pukul 09.55 pagi, dan tiba di Ulu Tangung pada pukul 11.22 siang. Di Ulu Tangung, tiga rakit telah disiapkan untuk membawa kami melewati jeram-jeram di Sungai Kulinghi. Para porter diarahkan untuk melanjutkan perjalanan melalui jalur darat, sementara kami melanjutkan dengan rakit. Rakit ini terbuat dari bambu, dengan tempat duduk yang ditinggikan di bagian tengah dan dayung atau bambu panjang di kedua ujungnya untuk mengarahkan rakit.
Di Ulu Lebar, tempat kami tiba pukul 13.15, kami berganti awak rakit, begitu juga di Ulu Sonun, tempat kami tiba pukul 14.23, dan di Tabbar Jenukey pada pukul 15.20, di mana kami bermalam. Selama perjalanan menyusuri sungai, kami melewati banyak jeram, beberapa di antaranya telah dimodifikasi secara manual untuk menjaga kelancaran navigasi sungai. Hal ini dilakukan dengan mempersempit aliran sungai menggunakan tumpukan batu besar yang diletakkan dalam keranjang bambu terbelah sepanjang 10 hingga 12 depa, dipasang sejajar dengan aliran air.
Di salah satu jeram, karena kelalaian seorang awak rakit, rakit saya melaju dengan kecepatan tinggi dan menabrak tebing sungai, hampir terbalik, sehingga saya dan barang bawaan hampir tercebur ke air. Di Ulu Lebar, kami mengamati sebuah kincir air tipe undershot yang sebagian besar terbuat dari bambu. Kincir ini digunakan untuk mengangkat air guna mengairi sawah. Sepanjang sungai, tebing bergantian curam di sisi kanan dan kiri selama beberapa jarak tertentu.
Keterangan tempat hari ini (ES):
Ulu Tanding = Ulak Tanding, Rejang Lebong
Ulu Tangung =Ulu Tanjung, Rejang Lebong (?)
Ulu Lebar = Ulak Lebar, Rejang Lebong (?)
Ulu Sonun = ?
Tabbar Jenukey = ?
30 Juni
Kami berangkat dari Tabbar Jenukey pukul 08.25 pagi dengan rakit. Melewati Tabbar Bingan pukul 09.17 pagi dan tiba di Tannah Priuk pukul 10.00. Di tempat ini, dasar dan tepi sungai terdiri dari batuan keras yang sangat besar, sehingga lebarnya sangat menyempit. Air sungai mengalir deras dengan ketinggian sekitar 15 kaki. Rakit kami harus diangkat keluar dari sungai oleh penduduk Tannah Priuk, dibawa sejauh sekitar 30 depa, dan kemudian diletakkan kembali ke dalam air.
Dari sini hingga menjelang Moarra Baliti, tepi sungai curam dan di banyak tempat mengalami erosi. Tanahnya bercampur dengan batuan kasar keras, yang dikeluhkan oleh para porter karena melukai kaki mereka. Kami tiba di Padang pukul 12.15 siang, dan di Moarra Baliti pukul 15.15, di mana kami menemukan panchallong milik Sultan di bawah komando Radin Mahedien telah menunggu. Kami bermalam di rumah bambu terapung milik Radin Mahedien yang memberikan akomodasi sangat baik.
Keterangan tempat hari ini (ES):
Tabbar Bingan = Taba Pingin, Musi Rawas (?)
Tannah Priuk = Tanah Periuk, Musi Rawas
1 Juli
Kami meninggalkan Moarra Baliti pukul 09.50 pagi dengan panchallong besar berkapasitas 20 bahar, disertai beberapa panchallong lainnya yang membawa Radin Mahedien, rombongan kami, barang bawaan, dan satu rakit khusus untuk memasak makanan. Kami melewati Sono pukul 10.05 pagi, Romiyore pukul 10.35 pagi, dan Lubu di Sungai Palembang atau Musi pukul 15.10 sore, di mana kami berhenti menunggu panchallong lain tiba. Perjalanan dilanjutkan pukul 16.26 dan tiba di Bingan pukul 18.00, kemudian melanjutkan ke Tandingan, tempat kami tiba pukul 19.00. Karena cuaca gelap dan kurang mendukung, kami bermalam di sini.
2 Juli
Pagi-pagi sekali, kami meninggalkan Tandingan dan melewati banyak dusun tanpa mencatat namanya. Banyak dusun ini terletak di lekukan sungai, memberikan pemandangan strategis baik dari arah hulu maupun hilir. Beberapa di antaranya cukup besar, padat penduduk, dan memiliki panchallong berukuran baik.
Pada sore hari, kami melewati daerah kuala Sungai Rawas, tempat eks-Sultan pernah membangun benteng setelah melarikan diri usai membunuh pabrik dagang Belanda. Namun, tidak ada jejak benteng yang tersisa. Karena malamnya cerah, kami melanjutkan perjalanan menyusuri sungai tanpa berhenti di tempat mana pun.
3 Juli
Kami terus menyusuri sungai. Dusun yang kami lewati hari ini jaraknya lebih berjauhan dibandingkan dengan yang ada di hulu. Sekitar pukul 16.00 sore, kami tiba di Bion, dusun terdekat dengan Palembang, meskipun masih membutuhkan waktu enam jam mendayung perahu cepat untuk mencapainya. Kami berhenti di sini untuk makan dan mengumpulkan kembali panchallong kami sebelum melanjutkan perjalanan malam.
4 Juli
Pukul 06.00 pagi, kami berhenti di tepi sungai untuk sarapan dan bersiap-siap, kemudian melanjutkan perjalanan. Kami tiba di Palembang sekitar pukul 08.00 pagi, mendarat di dekat Benteng Besar, dan kemudian dibawa menghadap Sultan.
Kami berhasil mencapai Palembang dalam waktu dua belas hari sejak meninggalkan Bengkulu, menjadi orang Eropa pertama yang menyeberangi pulau Sumatra dalam arah mana pun. Kendala yang kami temui ternyata jauh lebih sedikit dari perkiraan, dan meskipun sesekali mengalami kelelahan, kami merasa terbayar oleh beragam pemandangan baru dan menarik yang kami lalui. Barisan bukit penghalang di wilayah ini tampaknya lebih mudah dilalui dibandingkan tempat lain, sehingga distrik Musi yang kaya dan subur lebih mudah diakses dari Bengkulu daripada yang selama ini diperkirakan.
Penduduk di daerah ini sebagian besar adalah orang Rejang dan merasa lebih bergantung pada Bengkulu daripada Palembang. Dari Moarra Baliti, tempat kami naik panchallong, Sungai Palembang cukup dalam dan dapat dilalui oleh kapal asli yang berukuran besar. Yang dibutuhkan hanyalah pemerintahan yang baik dan kebebasan perdagangan untuk meningkatkan pentingnya dan kemakmuran wilayah Sumatra bagian ini.
Diterjemahkan dari:
Salmond, Capt. F. Diary of
A Journey Across The Island of Sumatra from Fort Marlborougg to Palembang In
1818. Bencoolen: Mission Press Fort Marlborough. 1822.
Post a Comment for "EKSPEDISI KAPTEN SALMOND DARI BENGKULU KE PALEMBANG, 1818 "
Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus