Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ASAL-USUL NAMA HUTAN KONAK KEPAHIANG: JEJAK TURKI DI KEPAHIANG

Rumah Peristirahatan keluarga Westenenk di Kepahiang, ca. 1920
Sumber: KITLV (dengan pewarnaan)

Teka-Teki Panjang

Hutan Konak di Kepahiang, Bengkulu, memiliki sejarah unik yang belum banyak diketahui, bahkan oleh orang Kepahiang sendiri. Penamaan hutan ini telah menimbulkan teka-teki panjang yang tidak pernah disepakati setiap jawaban yang ditawarkan. Dan, semua pertanyaan itu tidak pernah terjawab, karena ternyata nama "Konak" sama sekali bukan berasal dari bahasa Rejang atau bahasa Melayu, melainkan dari bahasa Turki.

Lalu, bagaimana bisa sebuah nama dari Turki nun jauh di sana dapat melekat di Bengkulu? Jawabannya ada pada seorang pejabat kolonial Belanda bernama Louis Constant Westenenk, yang memiliki hubungan erat dengan dua wilayah ini, di mana pada waktu itu dia bertugas sebagai Residen Benkoelen (Bengkulu).

Siapa Louis Constant Westenenk?

L.C. Westenenk, 1924

Louis Constant Westenenk lahir di Semarang, 3 Februari 1872 - meninggal di Wassenaar, Belanda, 2 Mei 1930. Dia adalah seorang diplomat, ahli bahasa, dan pejabat administrasi Belanda. Ia dianugerahi gelar Ksatria dalam Orde Militer Willems, Ksatria dalam Orde Singa Belanda, dan perwira dalam Orde Oranje-Nassau. Dia menikah dengan Ada Joanna Adriana Nering Bögel pada tahun 1897 dan memiliki empat anak. Setelah istrinya meninggal pada tahun 1928, ia menikah lagi dengan Digna Nering Bögel pada tahun 1929, tetapi tidak memiliki anak dari pernikahan kedua.

Westenenk berasal dari keluarga yang diakui dalam Nederland's Patriciaat pada tahun 1942. Ia adalah putra dari Jan Constantijn Westenenk, seorang pemilik perkebunan, dan Françoise Josephine Emilie Louise Wardenaar. Ia dibesarkan oleh bibinya di Deventer.

Westenenk mengawali kariernya sebagai ahli dalam kebudayaan Minangkabau. Dia menguasai bahasa Minang dan memahami adat istiadatnya. Dia juga belajar Indologi di Delft dan berangkat ke Hindia Belanda pada tahun 1892 untuk bertugas dalam pemerintahan kolonial. Ia ditempatkan di Bandung sebelum dipindahkan ke Surabaya dan kemudian ke Lampung. Pada tahun 1895, ia ditugaskan di Borneo, mengelola wilayah Semitau dan Boven-Kapuas.

Pada tahun 1896, Westenenk dianugerahi gelar Ksatria dalam Orde Militer Willems, karena berhasil memimpin pasukan untuk memadamkan pemberontakan di Sintang yang dipimpin oleh Raden Pakoe. Setelah itu, Westenenk bertugas di berbagai daerah, termasuk Sumatra Barat. Ia terlibat dalam berbagai aktivitas administratif, menulis artikel tentang budaya Borneo, dan menjadi anggota Bataviaasch Genootschap.

Pada tahun 1900, ia dipindahkan ke Aceh, tetapi mengalami konflik dengan Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz akibat pemberontakan di Idi. Ia kemudian mendapat cuti ke Belanda sebelum kembali bertugas di Sumatra Barat pada tahun 1906. Westenenk berperan dalam menekan pemberontakan di Agam tahun 1907, di mana ia menghadapi lebih dari 1.000 pemberontak dalam pertempuran yang dikenal sebagai Malam Kempang.

Atas keberaniannya, ia dianugerahi gelar Perwira dalam Orde Oranje-Nassau pada tahun 1909. Ia juga menggagas ide untuk mengadakan Olimpiade di Hindia Belanda.

Pada tahun 1914, Westenenk ditunjuk sebagai Inspektur Jenderal di Kesultanan Utsmaniyah untuk mengawasi wilayah Armenia. Namun, misinya gagal karena perlawanan dari otoritas Utsmaniyah dan pecahnya Perang Dunia I. Ia kembali ke Belanda pada September 1914.

Setelah itu, ia diangkat sebagai residen di Bengkulu (1915-1920). Saat tiba di Bengkulu, istrinya mengalami kecelakaan dan seorang pelayan mereka tenggelam dalam insiden di pelabuhan.

Westenenk menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) pada tahun 1919 tetapi mengundurkan diri pada tahun 1920. Ia kemudian diangkat sebagai residen Palembang dan pada tahun 1921 menjadi Gubernur Sumatra's Oostkust (Sumatra Timur). Ia dikenal sebagai pejabat yang mendukung kemajuan masyarakat pribumi dan menentang pembatasan terhadap perkembangan mereka.

Pendirian "Konak" di Kepahiang

Ketika Westenenk bertugas di Bengkulu, ia membawa serta istri dan anaknya. Namun, iklim panas Bengkulu ternyata tidak disukai oleh istrinya, yang lebih menyukai suhu sejuk, sebagaimana mereka masih di Eropa. Westenenk pun selanjutnya mencari tempat tinggal alternatif di wilayah yang lebih bersahabat iklimnya.

Dalam perjalanannya dari Bengkulu ke Muara Enim, saat di Kepahiang, dia memperhatikan dengan ketinggian sekitar 500-700 meter di atas permukaan laut, maka Kepahiang terasa sejuk dan tampaknya nyaman untuk ditinggali. Pada 1914, ia pun membangun sebuah rumah peristirahatan di tepi sebuah hutan di pinggiran kota Kepahiang. Sebagian bahan bangunan berupa papan dan kayu diperolehnya dari sebuah rumah yang roboh akibat gempa yang sebelumnya melanda Kepahiang. Dibelinya bahan-bahan itu yang masih kuat itu, karena memang berasal dari kayu yang bagus. Propertinya itu kemudian diberinya nama "KONAK", yang diambilnya dari bahasa Turki. Dalam Bahasa Turki, "konak" adalah istilah untuk menyebut sebuah rumah besar atau mansion.

".......Istri Westenenk tidak menyukai panasnya Bengkulu sebagai tempat tinggal utama. Maka suaminya mencari tempat di mana ia dapat menghindari panas tersebut, dan di jalan dari Kapahiang ke Muara Enim, ia menemukan sebidang tanah yang cocok di ketinggian 500 meter. Di sana, ia membangun sebuah rumah kecil pada 1914, dan dalam kenangan akan hari-harinya di Turki, ia memberi nama propertinya "Konak". (hal. 91)

Seiring waktu, kawasan sekitar rumah ini dikenal sebagai Hutan Konak dan nama ini terus digunakan hingga sekarang.

Pemandangan depan rumah Westenenk, ca. 1920
Perkiraan lokasi Kantor Camat Kepahiang hari ini, di seberang jalan adalah Mapolsek Kepahiang hari ini. Tampak di kejauhan adalah Gunung Kaba

Warisan Westenenk di Bengkulu dan di Belanda

Sebagai Residen Bengkulu, Westenenk tidak hanya mengawasi tata kelola kolonial tetapi juga berkontribusi dalam berbagai proyek pembangunan. Meskipun Bengkulu bukan pusat utama pemerintahan Hindia Belanda, daerah ini mengalami perubahan dalam infrastruktur dan administrasi kolonial selama masa kepemimpinannya. Selain itu, Westenenk juga dikenal sebagai pejabat yang tertarik pada etnografi dan sejarah. Ia mendokumentasikan kehidupan masyarakat setempat, termasuk budaya dan adat istiadat mereka. Sebagian catatannya masih bisa ditemukan dalam arsip sejarah kolonial Belanda.

Setelah masa tugasnya di Bengkulu berakhir, Westenenk kembali ke Belanda dan menetap di desa Gorssel. Namun, kenangan akan Turki dan Hindia Belanda tetap melekat dalam dirinya. Saat membangun perkebunan besar di Gorssel, ia memberi nama propertinya "Gorssel Konak", yang berarti "rumah di tepi sungai Gorssel".

Keputusannya untuk tetap menggunakan nama "Konak" menunjukkan betapa mendalamnya pengaruh pengalaman hidupnya di Turki dan Indonesia terhadap identitasnya. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa nama "Konak" bukan hanya bagian dari sejarah Kepahiang, tetapi juga bagian dari perjalanan hidup seorang pejabat kolonial yang melintasi berbagai belahan dunia.

Jejak Hutan Konak dalam Sejarah Kepahiang

Saat ini, rumah asli Westenenk sudah tidak ada lagi, tempat berdirinya diperkirakan yang menjadi Kantor Camat Kepahiang pada hari ini. Namun, nama Hutan Konak tetap lestari dalam ingatan masyarakat. Toponimi ini menjadi bukti bagaimana sejarah kolonial mempengaruhi budaya lokal dan meninggalkan jejak yang bertahan hingga sekarang.

Nama Konak telah menjadi pernik unik di sejarah Kepahiang. Nama ini berasal dari bahasa Turki, diperkenalkan oleh seorang pejabat Belanda, dan digunakan oleh masyarakat hingga hari ini di Kepahiang, mencerminkan bagaimana sejarah global terjalin dengan sejarah lokal.

Hutan Konak bukan hanya sekadar nama, tetapi juga simbol dari percampuran budaya dan sejarah. Dari Anatolia hingga Kepahiang, dari seorang pejabat kolonial hingga masyarakat lokal, setiap nama tempat selalu menyimpan cerita panjang di baliknya.

Diolah berdasarkan sumber:
Damste, H.T., Louis Constan Westenenk. tp: 1932.)


Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "ASAL-USUL NAMA HUTAN KONAK KEPAHIANG: JEJAK TURKI DI KEPAHIANG"