Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ASAL-USUL NAMA DESA DURIAN DEPUN

ilustrasi. AI
Pada zaman dahulu, di sebuah dusun di wilayah Migai atau Merigi, hidup penduduk yang sangat makmur. Sawah mereka subur, kebun berbuah lebat, dan hasil panen selalu melimpah. Setiap musim panen, mereka menggelar pesta syukuran besar. Bahkan, saat ada pernikahan, mereka melaksanakan upacara kejei selama tujuh hari tujuh malam.

Kemakmuran ini terkenal hingga ke desa-desa lain. Banyak bujang berharap bisa menikahi semulen dari Migai, agar bisa ikut menikmati kehidupan yang makmur. Namun, sayang, kekayaan membuat mereka sombong dan kikir. Jika ada penduduk dari desa lain meminta bantuan, mereka akan menolaknya dengan kasar.

Suatu hari, seorang lelaki tua dari desa sebelah datang ke rumah Kepala Dusun untuk meminta sedikit beras.

"Ampun, Tuan, beras di desa kami habis. Kami hanya meminta sekadar untuk bertahan hidup," pintanya dengan sopan.

Namun, Kepala Dusun hanya tertawa sinis. "Apakah kalian tak malu? Selalu meminta-minta. Pergilah! Kerja lebih keras!"

Di lain waktu, sekelompok anak-anak dari dusun lain bermain di dekat lumbung desa. Kepala Dusun segera mengusir mereka dengan bentakan. "Kalian mencuri, ya? Dasar pencuri kecil! Pergi dari sini!"

Anak-anak itu pun lari ketakutan sambil menangis.

Cinta dan Pernikahan

Suatu hari, Alam Bayang, putra Kepala Dusun, berjalan-jalan di pekan bersama sahabatnya, Ridat. Ia melihat seorang gadis cantik berjualan kain.

"Cantik sekali, Ridat. Siapa dia?" bisik Alam Bayang.

Ridat menggeleng. "Aku tidak tahu. Sepertinya bukan dari dusun kita."

Alam Bayang pun memberanikan diri mendekati gadis itu. "Adinda, siapa namamu? Aku belum pernah melihatmu di sini."

Gadis itu tersenyum malu. "Hamba Sarindang dari Renah Sekalawi. Hanya singgah menemani Ayahanda berdagang."

Alam Bayang merasa jatuh cinta pada pandangan pertama. Ia segera pulang dan mendesak ibunya untuk melamar Sarindang.

Setelah bertemu dengan Ayah Sarindang, yang ternyata masih memiliki hubungan keluarga dengan Kepala Dusun, lamaran itu diterima. Pernikahan pun disiapkan dengan meriah. Selama tujuh hari tujuh malam, pesta besar digelar. Hewan-hewan dipotong dalam jumlah banyak, darah dan kotoran mengalir ke sungai.

Penduduk dusun tetangga mengeluhkan air sungai yang menjadi kotor dan berbau anyir. Mereka datang mengadu kepada Kepala Dusun.

"Tuan, air sungai satu-satunya sumber hidup kami. Tolong buatkan kolam khusus untuk mencuci daging."

Kepala Dusun tersinggung. "Apa kalian ingin mengaturku? Pergilah! Jika air kotor, itu bukan salahku!"

Dengan hati kecewa, penduduk dusun tetangga pulang. Di perjalanan, mereka bertemu seorang pengemis tua berbadan bungkuk dan berbau busuk.

"Sanok, apa yang terjadi?" tanya pengemis itu.

Penduduk pun menceritakan perlakuan Kepala Dusun.

Pengemis itu mengangguk. "Pulanglah. Aku akan berbicara dengan Kepala Dusun."

Kutukan Sang Pengemis

Pengemis itu berjalan menuju pesta. Saat sampai di sana, orang-orang menyingkir karena jijik dengan baunya. Ia masuk ke dapur dan meminta makanan.

"Nak, beri aku air dan sedikit makanan," pintanya.

Namun, para pelayan malah mengusirnya. Kepala Dusun yang mendengar keributan pun datang.

"Pergi dari sini, pengemis menjijikkan!" bentaknya.

"Tuan, aku hanya meminta seteguk air dan sesuap nasi," pinta pengemis itu lagi.

"Tidak ada makanan untuk orang sepertimu!" Kepala Dusun mengambil lidi dari hiasan tarup dan memukuli pengemis itu.

Pengemis tua itu tetap diam. Lalu ia mengambil lidi dan menancapkannya ke tanah.

"Jika ada yang bisa mencabut lidi ini, aku akan pergi tanpa meminta apa pun lagi," katanya.

Orang-orang mencoba, tetapi tidak ada yang berhasil. Bahkan Alam Bayang pun gagal. Marah, Alam Bayang memukul pengemis itu.

Pengemis itu tertawa kecil. "Baiklah. Aku sendiri yang akan mencabutnya. Tapi ingat, kalian akan menyesali kesombongan kalian."

Ia mencabut lidi itu dengan mudah. Seketika, dari lubang itu menyembur air deras. Dan, dalam waktu singkat, air mulai menggenangi tanah.

Orang-orang pun berteriak panik. Mereka berlarian sambil berteriak-teriak. 

Hanya dalam waktu yang singkat, air telah cepat membesar dan menenggelamkan rumah-rumah penduduk.

Selama enam hari enam malam, air terus naik. Pada hari ketujuh, air mulai surut. Dusun Migai lenyap. Hanya tersisa sebuah danau yang luas. Semua warga pun panik, tarup pesta hancur, semua bahan makanan hanyut ke arah sungai, Dusun Migai benar-benar tenggelam. Banjir terjadi selama 6 hari tak henti-henti, hingga hari ketujuh, airpun mulai surut. Tepat di lubang air tersebut, muncul batang durian yang cepat tumbuhnya, ranting dan dahannya menjulur dengan rimbun menutupi dusun migai. Dusun Migai benar-benar hilang tidak menyisakan bekas. Hingga akhirnya ada orang yang membuka talang di sekitar batang durian yang besar dan rimbun tersebut, dan menyebut talang baru dengan nama Durian Depun.

Diolah berdasarkan Bunga Rampai Cerita Rakyat Toponimi Rejang Lebong, Penerbit Komunitas Enigma dan Andhra Grafika. 2023


Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "ASAL-USUL NAMA DESA DURIAN DEPUN"