Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

ASAL USUL NAMA DESA LUBUK KEMBANG

Ilustrasi. Gambar: Meta AI

Suatu masa, tersebutlah sebuah dusun di punggung pegunungan yang indah. Dusun ini memiliki tanah yang begitu subur dan makmur. Angin sepoi-sepoi berhembus perlahan menyibak kabut. Pohon-pohon beraneka ragam mengisi rimba raya. Flora dan faunaliar menari-nari ditiup bayu keabadian, terperangkap di ujung senja.

Konon asal pemukiman ini berasal dari leluhur mereka bernama Muning Alus. Dia memiliki 4 anak yang dibaginya dalam beberapa wilayah kekuasaan :

1. Raja Depatei diberi wilayah Batu Panco
2. Kakak Tuo diberi wilayah Dusun Sawah
3. Buruk Cinde diberi wilayah Perbo
4. Mat Alei diberi wilayah paling atas di perbukitan.

Di dusun yang berada di tepian Air Musi di pegunungan Bukit Barisan, Mat Alei tinggal bersama tiga anaknya. Anak pertama bernama Setenang yang bergelar Pelimo Tukak, anak kedua bernama Menang dengan gelar Pelimo Kuep dan anak ketiga bernama Tawakkin yang bergelar Pelimo Tuweak. Bersama ketiga anaknya ini, Mat Alei sebagai sosok bapak yang berwibawa dan bijaksana menjalani kehidupan bersahaja.

Gubuk yang mereka tempati dibangun bersama. Kayu-kayu penyanggah diambil dari hutan, atapnya dari dedaunan pohon aren yang disusun rapi. Sebagai pengikat dan menyatukan daun-daun aren itu digunakan jerami serta akar-akar tanaman. Sementara, di sekeliling gubuk ditanami tebu dan batang ubi yang tersusun rapat sebagai pagar di depan. Kira-kira 4 depa dari pondok, sebidang tanah mereka tanami padi yang cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari.

Begitulah cara Mat Alei mendidik anak-anaknya untuk gigih berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan ilmu bercocok tanam, menyadap aren, memancing dan berburu. Semua keterampilan itu sudah diturunkan kepada Pelimo Tukak, Pelimo Kuep dan Pelimo Tuweak.

Di belakang pondok terdapat sebuah lubuk yang dikelilingi oleh serumpun pohon bambu, tempat mereka menangkap ikan untuk dijadikan lauk. Sementara, di sisi kiri gubuk, kopi ditanam dan kini mulai pula berbunga. Dari bunga-bunga kopi yang mekar menyeruak aroma harum pun menyelimuti gubuk. Di pinggir kebun kopi itu, tumbuh serai, lengkuas dan kunyit – bahan masakan yang dibutuhkan, yang dirawat oleh Setenang yang memang gemar bertanam.

Ya, Setenang memang pandai menyerap petunjuk dan petuah-petuah Mat Alei tentang bercocok tanam. Dengan kedua tangan yang kuat, semua yang ditanamnya berkembang subur. Bahkan, ranting yang jatuh ke tanah pun kalau sudah terpegang tangannya akan tumbuh dan berkembang dengan baik.

Berbeda dengan Setenang, maka Menang lebih suka menyadap aren dan pencari ikan. Dia juga senang bertualang di rimba, sembari memikat burung. Pulang dari berpetualangan, dia sering membawa biji-bijian yang ditemukannya dalam perjalanannya, yang kemudian diberikannya kepada Setenang untuk ditanami. Jarang sekali dia pulang dengan tangan hampa, karena ada saja biji-bijian yang ia bawa pulang. Demikian pula ia selalu berhasil berburu memikat berpuluh-puluh ekor ayam hutan dan burung, yang ia bawa pulang untuk dipelihara atau dibakar untuk disantap bersama

Sementara itu, Tawakkin sering sendirian berburu, dengan membawa pedang dan tombak untuk menjaga dirinya. Dia selalu mengingat pesan dari Bapaknya, bahwa pedang dan tombak adalah untuk menjaga dirimu. Dia juga dipesan oleh bapaknya agar tidak mencari musuh, namun jika musuh datang, maka janganlah lari.

Nasehat bapaknya itu selalu terpatri dalam hati Tawakkin.

Ketika matahari turun perlahan, sinar merahnya mewarnai pucuk-pucuk pohon di hutan, menandai kedatangan malam. Burung-burung berterbangan pulang ke sarang, sembari angin rimba membawa aroma kayu cendana, pertanda petang menjelang malam. Daun kemiri kuning jatuh tanpa terasa dalam renungan. Dalam penatnya, langkahnya merangkak menelusuri medan. Di atas bukit, pelepah pisang hutan menahan hembusan angin, sementara suhu udara semakin dingin. Matahari meredup, tetapi harapannya masih tersemat, menantikan esok yang membawa langit lazuardi.

Saat malam mulai merayap, terlihat Mang Alei dengan wajah tenangnya berjalan menuju biliknya. Di situlah ia meletakkan kepalanya, sebelum dia tenggelam dalam dengkuran yang melebur dengan serunai jangkrik dan suara katak dari belakang pondok, dia merenung memikirkan agar semua ilmu dan keterampilan yang telah diberikannya kepada ketiga putranya dapat terserap mengalir dalam kehidupan mereka.

Ajaran-ajaran Mat Alei telah menjadi pijakan kuat bagi masyarakat sekitarnya. Kehandalan dalam kesabaran, keuletan dalam keteguhan, rasa kekeluargaan, semangat gotong-royong, kepedulian terhadap lingkungan, dan penghargaan pada leluhur turut membentuk karakter keturunannya. Mereka mewarisi dengan setia kecakapan dari nenek moyang mereka: bercocok tanam, beternak, berburu, menyadap getah aren, hingga keterampilan memancing.

Lubuk Kembang yang memperoleh namanya, dengan merujuk pada genangan air atau lubuk luas di wilayah perbukitan, yang dalam bahasa Rejang dikenal sebagai 'Kembang', pun berkembang menjadi dusun yang makmur.

Dari saat itu, keturunan Mat Alei menetap di sebelah Barat Laut dari kampung leluhur mereka, membangun sejarah baru di punggung Bukit Barisan. Mereka menjadi tonggak perkembangan masyarakat Lubuk Kembang, bahkan membentuk sebuah desa yang tetap menyandang nama yang sama hingga kini. Bekal ilmu, keterampilan, dan moral yang diwariskan Mat Alei telah menjadi landasan kuat untuk membentuk kehidupan dan keberlangsungan budaya keturunannya.

Diceritakan oleh Ati Rosdiati, Editor: Emong Soewandi
dalam Bunga Rampai Cerita Rakyat Toponimi Rejang Lebong, Penerbit Komunitas Enigma dan Andhra Grafika. 2023


Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "ASAL USUL NAMA DESA LUBUK KEMBANG"