KEHIDUPAN KULI TAMBANG EMAS LEBONG, 1900
Pada 19 September dan 12 Oktober 1900, Surat kabar Bataviasche Nieuwsblad menerbitkan artikel tentang perlakuan terhadap kuli Cina dari perusahaan pertambangan Redjang Lebong di Keresidenan Palembang. Sebagai tanggapan atas hal ini, pada 17 Oktober 1900, Direktur Pendidikan, Agama dan Industri memerintahkan Inspektur Pelayanan Medis Sipil untuk Jawa dan Madura, Mr. Vorderman, untuk menyelidiki kebenaran berita itu.
Pada awal November 1900, Vorderman mengunjungi tambang di Lebong Donok selama beberapa hari. Dia mencatat, perusahaan pada 1 November 1900 dipimpin oleh seorang manajer bernama Mr. Wright, dengan karyawan-karyawan terdiri dari 7 orang Belanda, 6 orang Indo-Belanda, 1 orang Hindia Barat, 5 orang Jerman, 1 orang Austria, 1 orang Amerika, dan 16 orang Inggris. Sementara kuli-kuli perusahaan terdiri 610 orang kuli kontrak pribumi Jawa, 163 orang kuli kontrak Cina dan 19 orang Cina sebagai mandor.
Adolphe Guillaume Vorderman, lahir di Den Haag, 12 Desember 1844. Di Utrecht, sebagai mahasiswa militer, ia dilatih sebagai petugas kesehatan di angkatan laut. Pada 1866 ia berangkat ke Hindia Belanda sebagai petugas kesehatan kelas tiga. Setelah lima tahun, ia mengundurkan diri dari dinas angkatan laut. Ia menikah dengan Anna Constantia Elisabeth van Dijck pada 26 Juni 1870 di Tilburg. Setelah menikah, dia bersama istrinya kembali ke Hindia Belanda. Ia menjalankan profesi sebagai dokter sipil di Sumenep lalu diangkat sebagai dokter pemerintah dan pindah ke Batavia, 1871.
Adolphe Guillaume Vorderman (1844-1902) |
Selain pekerjaannya sebagai dokter, Vorderman melakukan berbagai penelitian tentang obat-obatan, makanan, racun dan burung di Hindia Belanda. Dia adalah orang pertama yang melakukan penelitian terhadap penyakit beri-beri. Untuk itu, ia melakukan studi ekstensif di antara para narapidana di berbagai penjara di Jawa dan Madura. Hasil penelitiannya itu memainkan peran utama dalam penemuan thiamin atau yang dikenal sebagai vitamin B. Setelah dia meninggal, penemuannya tentang penyakit beri-beri diteruskan oleh Christiaan Eijkman, yang bahkan kemudian membawa Eijkman berhasil mendapatkan Hadiah Nobel bidang kesehatan pada 1929.Saat melakukan inspeksi di pertambangan Lebong Sulit, pada 1900, ia mengalami kecelakaan yang mengakibatkan cedera pada kaki kanannya. Ia menjalani perawatan hingga dianggap sembuh di rumah sakit pertambangan Lebong Sulit. Pada 1902, cedera di kakinya kembali parah hingga membuat kakinya harus diamputasi. Menjelang operasi di rumah sakit di Batavia, saat di meja operasi Vorderman meninggal dunia, pada 15 Juli 1902.
Gaji dan Kuli yang Dipecat
Seorang kuli memperoleh 40 sen sehari dan 10,80 sen sebulan. Ketidakhadiran seorang kuli menyebabkan gajinya akan dipotong. Dengan alasan apa pun kuli tidak masuk kerja, termasuk sakit berat, tidak akan menghalangi perusahaan memotong gajinya. Termasuk hari-hari libur juga, di mana para kuli tidak bekerja secara resmi, seperti hari Sabtu-Minggu dan hari raya, tetap akan diberlakukan pemotongan gaji itu.
Kekuasaan perusahaan terhadap kuli sangat besar. Perusahaan dapat saja menolak memperpanjang kontrak kuli tanpa ada alasan yang diketahui oleh kuli. Demikian juga pemecatan dapat dilakukan tanpa kuli mengetahui alasan atau kesalahannya sehingga dia dipecat. Mereka yang tidak diperpanjang kontran dan dipecat ini harus meninggalkan perusahaan.
Penduduk pribumi setempat (orang-orang Rejang), telah menyampaikan beberapa informasi kepada Vorderman tentang kondisi kuli-kuli yang keluar dari perusahaan. Bekas-bekas kuli itu telah meninggalkan perusahaan untuk pulang ke Kepahiang atau Bengkulu tanpa bekal bahan makanan yang memadai, padahal untuk mencapai Kepahiang melalui jalan raya saja, dari tambang Lebong Donok harus ditempuh selama 4 hari. Ketidaktahuan arah atau mencoba jalan lain yang diduga akan lebih cepat mencapai Kepahiang, telah membuat mereka tersesat sampai berhari-hari dalam hutan di wilayah pegunungan.
Karena diketahui membawa uang, dalam perjalanannya, ada bekas-bekas kuli mengalami perampokan. Mereka yang terlunta-lunta setelah mengalami perampokan itu mengalami penderitaan dan kelaparan. Pada 1898, ditemukan kuli-kuli yang meninggal dalam perjalanannya. Pada tahun ini juga, penduduk pribumi Rejang pernah menolong sekelompok bekas kuli itu tiba di dusun yang telah jauh dari perusahaan. Mereka ditemukan penduduk dalam kondisi kelaparan dan kurus kering, hampir tanpa pakaian. Dengan bantuan penduduk juga mereka kemudian diantar ke jalan raya menuju Curup.
Vorderman menggambarkan dua pondok kuli yang dikunjungi: gelap, kotor, pengap dan sudah lama ditolak oleh dokter. Salah satu bangunan telah harus disangga karena kondisinya yang bobrok dan miring. Pondok itu dibangun di atas tiang kayu dan berlantai pelupu, dinding pelupu dan atap seng. Atap rendah terbuat dari seng itu sendiri telah menjadi siksaan, karena membuat penghuninya kepanasan.
Ada satu lubang terbuka di dinding pendek sebagai satu-satunya lubang ventilasi. Terdapat satu atau dua balai-balai tidur dari bambu. Kuli-kuli Jawa telah membangun gubuk-gubuk kecil di samping dinding luar, atau membuat batasan untuk ruang-ruang kecil di dalam pondok bagi pasangan yang sudah menikah. Secara umum, pondok terlalu kecil untuk para penghuninya.
Lingkungan di sekitar pondok dapat dikatakan kotor dan jorok. Vorderman mencatat, bahwa orang Jawa dan Cina selalu buang kotoran di sebelah atau belakang gudang di pagi hari, meskipun ada sungai yang mengalir dekat pondok-pondok. Satu atau dua kakus yang dibuat darurat, sangat tidak layak dengan lobang kotoran yang dangkal.
Salah satu penyebab pondokan kuli semakin buruk karena kedatangan kuli-kuli baru tidak diimbangi dengan pendirian pondok-pondok baru. Sementara perusahaan juga banyak mendatangkan kuli-kuli baru, yang kemudian berimbas juga dengan bertambahnya beban bagi pelayanan kesehatan dan konsumsi.
Rumah Sakit
Sebuah rumah sakit belum begitu lama didirikan oleh pihak perusahaan. Menurut dokter perusahaan, dokter Swart Abrahams, lokasi itu tidak layak, karena dulu ada kubangan di sana. Selain dokter, staf yang bertugas terdiri dari dua perawat Indo-Eropa, 6 kuli kontrak yang bertugas sebagai juru masak di dapur umum, menyiapkan makanan untuk orang sakit, dan empat kuli pembantu.
Rumah sakit kuli berdiri di bagian sebuah dataran dekat hutan dan semak belukar. Terdiri dari dua bangunan bambu panjang, dibagi dua, untuk kuli dan untuk pasien disentri. Rumah sakit juga berdiri di atas tiang setinggi setengah meter di atas tanah. Atapnya terbuat dari jalinan daun kelapa kering dan baik dinding maupun lantainya adalah pelupu. Jamban rumah sakit sangat primitif, terletak di atas sungai, sekitar 25-30 meter dari rumah sakit.
Ventilasi dan pencahayaan kamar sakit tidak mencukupi. Keadaan di bangunan khusus untuk penderita disentri terlihat tidak begitu bersih. Para pasien berbaring di lantai pelupu. Di salah satu ujung ruangan ada beberapa lubang di lantai, di bawahnya ada kaleng minyak tanah untuk menampung kotoran pasien.
Makanan orang sakit sama dengan makanan orang sehat. Namun, pasien disentri diberi nasi sebagai bubur. Pendistribusian makanan dilakukan menggunakan kaleng bekas minyak bumi. Pasien disentri juga mendapat susu dan telur selain bubur. Air minum untuk orang sakit dan sehat terdiri dari air pancuran yang tidak disaring. Air minum disimpan di bak besi di udara terbuka dekat dapur.
Tingkat kematian cukup tinggi, mencapai 15-22 orang per bulan. Angka kematian sebenarnya bisa lebih rendah jika pihak perusahaan tidak terus-menerus mendatangkan jumlah kuli lebih banyak untuk menutupi kekurangan tersebut. Pasien yang meninggal dikubur di pemakaman khusus dekat hutan, yang terletak jauh dari pondok. Pemakaman dilakukan oleh pasien rawat jalan atau oleh kuli di bawah pengawasan mandor.
Perawatan dan Evakuasi Orang Sakit
Karyawan perusahaan, umumnya untuk bangsa Eropa, yang sakit dan harus mendapatkan perawatan lebih akan dievakuasi ke Bengkulu atau Batavia. Si sakit, jika tidak bisa berjalan atau mengalami kesulitan berjalan, maka beberapa kuli akan membawa mereka menggunakan tandu, atau kursi yang ditandu. Setelah 2-3 hari perjalanan, mereka akan tiba di Curup untuk beristirahat. Dari Curup, alat transportasi menuju Bengkulu menggunakan pedati sapi. Perjalanan akan berlangsung selama 3 sampai 4 hari dan dalam perjalanan mereka bermalam di pasanggrahan (gedung yang diperuntukkan untuk tempat tinggal sementara pejabat pemerintah yang sedang transit) di Kepahiang dan Taba Penanjung. Semua biaya perjalanan dan transportasi ditanggung oleh pihak perusahaan. Untuk perjalanan ke Batavia, pasien akan dibawa menggunakan kapal uap.
tidak bisa membayangkan begitu jauhnya jarak perjalanan dari curup ke bengkulu menggunakan pedati sapi.
ReplyDeleteHari perjalanan Curup-Bengkulu hanya 1 jam :)
Delete