KATA SAPAAN ETNIK DALAM TUTURAN MELAYU-BENGKULU
Kata Sapaan Etnik Dalam Tuturan Melayu Bengkulu
Ilustrasi. Taman Santoso Kepahiang |
Sekilas Bahasa Melayu Bengkulu
Di Kepahiang dan juga di Curup, walaupun bahasa Rejang merupakan bahasa etnik asli dan mayoritas, tetapi bukan sebagai lingua franca (bahasa penghubung/pengantar). Secara umum bahasa Melayu-Bengkulu (selanjutnya dalam tulisan ini akan disebut bahasa Bengkulu) dipergunakan sebagai bahasa pengantar dalam komunikasi sehari-hari antar etnis di kedua kota ini, khususnya dalam wilayah Pasar Kepahiang dan Pasar Curup.
Bahasa Bengkulu adalah bahasa yang dituturkan oleh masyarakat di Provinsi Bengkulu. Pusat awal bahasa ini adalah di wilayah Pasar Bengkulu di Kota Bengkulu. Diperkirakan sejak Bengkulu di bawah supremasi Inggris, bahasa ini telah menjadi lingua franca antar etnis di Bengkulu, khususnya di wilayah-wilayah pasar.
Ditandai dengan vokal /o/ di akhir banyak kosa katanya, bahasa ini oleh digolongkan sebagai salah satu dialek dari bahasa Melayu Tengah. Penutur bahasa Melayu Jambi, Melayu Palembang dan bahasa Melayu Bengkulu biasanya tidak akan mengalami kesulitan saling berkomunikasi, walaupun berbicara dengan bahasanya masing-masing.
Kata Sapaan Etnik
Ilustrasi peristiwa campur kode kata sapaan etnik dalam bahasa Melayu BengkuluPertemuan tiga sahabat: Orang Rejang, Orang Serawai dan Orang Jawa
- OR: Sehat ajo, Mas?
- OJ: Alhamdulillah. Baik ajo. Mang Togi sering nanyo awak
- OR: Kemas Togi?
- OJ: Iyo. Mano dulur aku tu jarang nampak, katonyo.
- OR: Woi, Sanak, po kabar? Dediam ajo.
- OS: Baik ajo, Bleh. Apo lukak kito kini?
- OR: Biaso ajo. Kini sedang ado bisnis dikit dengan mandan lamo kito tu,
- OS: Siapo?
- OR: Itu. Mas Yatno.
- OS; Ooooh, masih idup bleh sorang tu.
- OR: La kini ajo la bebini lagi.
- OS: Nduak. Kek siapo Ble sorang tu kawin?
- OR: Kek Mbak Dualipa, tetanggo awak, Sanak.
- OJ: Kek Bik Lipa? Wadai....
Di Kepahiang khususnya, terdapat beberapa etnis yang telah menjadi bagian masyarakat Kepahiang, yang bahkan telah terbentuk dalam puak-puak. Selain suku Rejang, yang merupakan etnis asli dan mayoritas, ada populasi atau puak orang-orang berbahasa Bengkulu, Jawa, Sunda, Serawai, Pasemah, Lembak, Minangkabau, Palembang, Bali dan Tapanuli. Tentang keragaman bahasa di Kepahiang lihat tulisan lain di blog ini berjudul 10 Fakta Unik Kepahiang. Semua ini dihubungkan dengan bahasa Bengkulu dalam komunikasi sehari-hari, dengan interupsi dari beberapa orang sedikit penggunaan bahasa Indonesia dan daerah.
Dari kegiatan berkomunikasi dengan sahabat dengan atau dengan orang-orang yang berjarak, di Kepahiang, Curup dan Bengkulu, saya mencatat beberapa sapaan etnik yang pernah saya dengar. Kata sapaan ini ada langsung disapakan kepada saya, dalam pembicaraan sehari-hari yang bersifat non-formal, baik secara lisan mapun melalui media tulis, seperti media sosial di Facebook, Instagram atau di Whatsapp, atau pun juga melalui pembicara pihak lain yang saya catat.
Beberapa kata sapaan etnik yang saya catat adalah:
Beberapa kata sapaan pada tabel di atas, umumnya berasal dari kata sapaan kekerabatan dalam keluarga. Seperti "cik" dan "puncu" merupakan kata sapaan di Bengkulu untuk pihak yang lebih tua usianya yang masih memiliki hubungan kekerabatan/keluarga. Kata sapaan kekerabatan ini kemudian meluas menjadi kata sapaan kemasyarakatan, yang dikarenakan terutama sekali paling sering muncul dalam percakapan sehari-hari.
Kata sapaan yang paling umum dan relatif netral dipergunakan adalah "ndan" dan "sanak". Kedua kata ini cakupannya bisa dipergunakan oleh dan ditujukan antar etnik. Kata sapaan ini tidak memiliki batasan, dipergunakan untuk semua golongan usia dan status sosial seseorang. Kata sapaan ini dipergunakan biasanya juga ketika si penyapa keluar dari ego etnik atau meletakkan posisi yang disapa sebagai orang tidak dikenal. Namun, kata "ndan" dan "sanak" ini bisa segera bergeser ke kata sapaan yang lebih menunjukkan intimasi atau keakraban.
Kata sapaan kuwat, ble, jok, cik, wan dan es memiliki nilai keintiman yang lebih tinggi, dibanding kata sapaan "sanak" dan "ndan". Kata-kata ini biasanya dipergunakan antar penyapa dan yang disapa dalam hubungan yang telah saling kenal dan dekat.
Dalam komunikasi lebih luas lagi kata sapaan "ndan" sering dipergunakan juga secara komplementer dengan kata sapaan "bos". Pada lingkup semantis atau nilai rasa etnik, kenyataannya banyak orang yang tidak begitu berkenan dengan kata sapaan "bos", yang dirasa tidak egaliter, dimana penyapa seperti mendudukkan lawan bicaranya pada derajat yang berbeda dengan dirinya. Kata sapaan "bos" pada situasi yang kurang terseleksi bisa bermakna meremehkan atau penyanggahan. Diduga kata sapaan "bos" dimulai oleh elit-elit politik, yang menjadikannya sebagai kata sapaan umum.
Ketika anda disapa "woi, sanak!" atau "ndan, numpang tanyo dikit" oleh orang yang tidak anda kenal, maka bersiaplah, bahwa diri anda telah berada situasi yang dianggap dekat oleh penyapa itu. Kata sapaan ini menyiratkan bahwa penyapa ingin mengajak bahwa tendensi, tujuan atau masalah pribadinya secara emotif adalah juga milik yang disapanya. Dengan menggunakan kata sapaan itu, si penyapa berharap ada muncul empati dan simpati di pihak tersapa kepada dirinya.
Semua kata sapaan ini akan menandai kalimat-kalimat dalam komunikasi berbahasa Bengkulu. Pengecualian mungkin pada kata "kuwat" (yang berarti kawan), umumnya dipergunakan oleh antar penutur berbahasa Rejang. Ketika beralih menggunakan bahasa Bengkulu, maka "kuwat" pun akan digantikan dengan kata "sanak".
Sementara komunikasi kepada orang-orang Tapanuli (lebih dikenal sebagai Orang Batak) kata sapaan "lae" biasanya mengikuti kalimat-kalimat dalam bahasa Indonesia, namun jika menggunakan bahasa Melayu Bengkulu, maka lazimnya kata "bang" yang akan menyertai. Kata sapaan "bang" atau "abang" dari lingkungan bahasa Betawi tidak ditemui, karena dalam situasi bahasa Bengkulu, secara umum kata sapaan "bang" lebih terpersonalkan kepada orang Batak.
Kata sapaan "bleh" yang sering dipergunakan oleh penutur berbahasa Serawai juga sering bersifat kondisional. Kata ini biasanya hanya dipergunakan dalam situasi yang akrab, jarang ditemui kata ini dipakai untuk menyapa pihak yang tidak begitu dikenal. Saya belum menemukan etimologi atau asal-usul kata "bleh" ini, apakah berasal dari suatu kata sapaan kekerabatan atau sebuah hasil konvensi sosial.
Untuk kata "sam" dan "gus", sementara baru di Kota Bengkulu saya pernah disapa dengan kata sapaan ini. Kata "sam", yang merupakan kebalikan dari kata "mas", tidak begitu dikenal di Bengkulu. Demikian juga kata sapaan "gus", istilah yang cukup populer, namun dalam komunikasi bermasyarakat di Bengkulu masih kalah dibandingkan kata sapaan "mas".
Kata Sapaan Etnik adalah Identitas Intimasi
Kata sapaan etnik merupakan sebuah bentuk keakraban antar anggota masyarakat dan berkomunikasi. Pun, saya melihat kata sapaan etnik menjadi sebuah pendekatan sosial dalam sebuah kegiatan komunikasi baik berjarak atau pun hubungan dekat. Sebagai pendekatan sosial, maka kata-kata sapaan ini tidak akan memperhitungkan kepada siapa ia akan berbicara, dimana kata sapaan ini akan dipergunakan kepada orang yang tidak di kenal sekalipun.
Saya melihat, pada sebuah pertengkaran, dari penggunaan kata sapaan etnik dapat diketahui sebatas mana tingkat konflik itu. Ketika kata sapaan etnik, seperti "sanak" misalnya, telah bergeser ke kata sapaan pronomina persona, seperti "kau", "ko", "kaba" atau ke kata sapaan "bos", maka ada kemungkinan konflik tersebut telah memasuki suasana yang lebih serius.
Kata sapaan etnik adalah identitas kehidupan bermasyarakat. Kata ini tertuturkan bisa secara spontan, saat meletakkan situasi pembicaraan dalam lingkaran kekeluargaan. Ada empati dan simpati yang terpancarkan ketika kata-kata itu disapakan. Keberagamannya pun telah menjadi sebuah kekayaan budaya yang memastikan leburnya ego-ego etnosentis.
Dalam perjalanan waktu, dapat dikatakan jika keberadaan kata sapaan etnik telah berperan menjaga keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. Dikatakan harmonis, karena bagaimana masing-masing orang telah terhabituasi untuk bisa menerima kata sapaan etnik lain memasuki wilayah etniknya.
Tulisan ini merupakan pengamatan pribadi, tidak begitu bersandar dengan teori-teori linguistik. Apa yang saya paparkan di sini merupakan akumulasi sebagai anggota masyarakat yang hidup dalam lingkungan majemuk, yang terutama sekali dalam wilayah pasar. Kata sapaan etnik adalah sesuatu yang menarik, namun, hingga hari ini sepertinya belum saya dapatkan penelitian yang lebih representatif dilakukan terhadapnya.
Nduk aii, ngapo bisa cam itu
ReplyDeleteHihi
camtulaaah.... :D
Delete