SANG KAKAKTUA PENYAIR: BANG HERMAN SURYADI DALAM KENANGAN
Haes |
Penyair Rapi
"Penyair Walikota", demikian aku sering mencandainya dulu, yang diterimanya dengan senyum kecut. Dibandingkan dengan penampilan umum dan lumrah seniman yang menomorsekiankan penampilan, maka Bang Herman Suryadi (Haes) selalu berpenampilan necis dan rapi. Bercelana kain sedikit lebar bawah, dengan lengan baju yang terkancing erat di pergelangan, dia memang lebih mirip sebagai pegawai kantor walikota dibandingkan seorang seniman pada waktu itu. Jika diperlukan, dia hanya tinggal memakai dasi saja lagi.
Seingatku, hampir tak pernah rasanya aku melihat dia mengenakan t-shirt atau berkaos oblong. Lalu, segera anda pun akan melupakan penampilan "resmi" itu, setelah melihatnya sebagai seorang pembaca puisi yang sangat bagus, yang ekspresif mengangahkan rahangnya di atas panggung.
Hubunganku dengan Bang Haes memang tidak selalu mulus dan datar. Beberapa pertengkaran sering membuat kami bisa saling buang pandang hingga beberapa waktu, apa lagi dia - sering aku terang-terangan bilang- orang yang mudah tersinggung. Bahkan terakhir dia cukup marah besar ke aku, karena sudah aku menolak ajakan dia untuk membangun dan membina komunitas sastra, aku pula yang kemudian mengkritik sebuah sanggar yang kemudian didirikannya. Kami sering konyol sama-sama tidak mau mengalah. Dan, karena hal ini juga persahabatan aku dan dia sering melalui jalan-jalan yang unik, sebagaimana misalnya pernah aku dan dia bertengkar hebat di Taman Budaya sambil menyantap nasi dari bungkusan yang sama, setelah usai menjalan tugas sebagai juri untuk sebuah lomba baca puisi.
Demikian cara kami berteman. Meletakkan diri sebagai seorang kakak, dia pun sering mengalah kepadaku, yang hanya membuat aku jadi jengkel, karena aku sedang mood mau berdebat dengan dia. "Demlah, Mong" (sudahlah, Mong) katanya sambil pergi, sementara aku masih mengejar dia meminta dia membantah kata-kataku.
Perkenalan Awal
Walaupun mulai 1987, puisi-puisiku sering berdampingan dengan karya-karyanya di Mingguan Semarak, sebuah media lokal plat merah milik Pemda Provinsi Bengkulu, namun baru 1990-an, kami bertemu. Aku kala itu masih berstatus mahasiswa, sementara dia telah jadi seorang guru dan mengasuh program sastra di Radio Khusus Pemerintah Daerah (RKPD), yang studionya berada di GOR Sawah Lebar. Beberapa kali aku mengunjungi dia dan menunggu dia selesai siaran, hanya sekedar buat ngobrol-ngobrol saja. Saat itu kadang nekad aku minta dia membelikan aku rokok, maklumlah karena nasib mahasiswa yang selalu kosong dompet. Dia sendiri tidak merokok, bahkan sangat jauh dari rokok. Dia juga sering meminta puisi-puisiku untuk diudarakannya, hingga pernah durasi program itu dihabiskannya untuk membacakan puisiku. Sehabis itu, dia akan mengajakku makan bakso di pinggir jalan di sudut GOR, sambil kami berdiskusi kecil.
Sayang sekali, dengan minimnya dukungan pemasukan dari iklan dan alasan-alasan lain dari Pemda sebagai pemilik, maka pada tahun-tahun berikutnya RKPD ditutup. Dengan RKPD tidak mengudara lagi, habislah sudah riwayat satu-satunya media elektronik di Bengkulu yang memiliki program khusus sastra. Sore setiap Sabtu, tidak terdengar lagi di radio-radio suara khas dan ekspresif Bang Haes membaca puisi.
Hubunganku dengan dia semakin akrab setelah kami bergabung di Forum Sastra Bengkulu (FSB) (1991). Ada Kang Kijoen, Pak Azrul Thaib, Bang Berlian, Bang MH Nis, Bang Ilhamdi Sulaiman, Pak Amrizal, Bang Mulyadi, Bang Harlisman Fasha, Bang Eman Bizzy (alm.) dan Bang Andi Burhanudin. Saat-saat awal itu, aku merupakan orang termuda yang ada di forum itu. Pada tahun ini juga, FSB menerbitkan antologi pertama karya-karya penyair Bengkulu. Dari antologi pertama, yakni Riak I itu, dilanjutkan kemudian dengan Riak II (1992), Riak III (1992) dan Monolog (1993). Eksistensi forum ini selanjutnya semakin baik dengan hadirnya Mas Wijang Warek dan Ibu Ivone de Fretes.
Menggunakan nama FSB ini juga, kisaran 1992-1993, aku dan Bang Haes sempat bersama mengisi beberapa pelatihan menulis secara mandiri untuk beberapa SMA di Kotamadya Bengkulu. Dikatakan mandiri, karena memang tidak ada pembiayaan sama sekali. Pun tidak ada semacam uang keringat dari pihak sekolah yang kami kunjungi. Bagi kami, yang penting ada siswanya, ada tempat untuk kita bersama melaksanakan kegiatan. Beberapa kali hanya dari dia semua tanggungan transportasi dan rokokku. Jangan lupa, kegiatan ini dilaksanakan saat sekolah-sekolah di Bengkulu - SMA-SMA favorit sekalipun - belum memberikan perhatian untuk sastra dan teater. Kedua bidang ini masih merupakan kegiatan ekstrakurikuler "termiskin" di sekolah-sekolah.
Hal yang paling ia kesal terhadapku adalah aku yang sering tidak mendokumentasikan karya-karyaku yang telah dipublikasikan di media cetak. Setiap karya-karyaku, terutama cerpen atau puisi terbit di media cetak, selalu dia ingatkan untuk segera mendokumentasikannya, jika di surat kabar maka aku harus mengklipingnya. Bahkan dia sendiri pernah mengumpulkan cerpen-cerpenku yang terbit di Anita Cemerlang dan Warta Pramuka. Buletin Warta Pramuka, buletin yang dibidani oleh Arswendo Atmowilopo itu kebetulan untuk Bengkulu dia yang menjadi distributornya.
Sementara di lain sisi, dia sendiri sangat telaten terhadap urusan arsip mengarsip karya. Karena ketelatenan ini juga, maka karya-karya lamanya pun masih mudah untuk dilacak, termasuk karyanya saat masih duduk di bangku SD yang diterbitkan di majalah anak-anak "Kuncung". Majalah yang menjadi pionir majalah anak-anak ini, aku yakin tidak akan pernah didengar namanya oleh generasi milenial hari ini.
Tetapi, bukan tanpa alasan pula aku sering tidak mengasipkan karya-karyaku dulu. Sering yang aku terima hanya wesel honor atas terbitnya karyaku. Namun, hanya wesel, sementara medianya, baik koran atau majalah tidak dikirimkan, yang artinya aku harus membeli sendiri. Tentu saja membeli majalah tidak pernah masuk dalam daftar belanja buku-bukuku. Jadi, cukup aku tahu saja bahwa karyaku dimuat di sebuah media karena selembar wesel yang aku terima, tanpa perlu aku tahu bagaimana rupa karya itu dalam media.
Haes yang Berprestasi
Dengan dorongan "hati" seorang seniman juga, maka dia pun memiliki obsesi-obsesi yang sehat terhadap bidang-bidang lain, yang aku kira tetap memiliki semacam relevansi dengan kehidupannya di sastra. Dia seorang anggota Pramuka yang aktif, yang aku ketahui dia termasuk salah seorang Andalan di Kwartir Cabang Kota Bengkulu. Dia juga seorang filatelis serius, di mana pada masanya masih merupakan hobi mahal di Bengkulu. Lalu, tentu saja, dia adalah seorang guru yang penuh dedikasi dengan tugasnya, yang dibuktikannya dengan beberapa kali berpredikat guru berprestasi, dari tingkat kecamatan hingga ke tingkat nasional.
Namun, dari semua itu, hal terpenting adalah dia pun telah menjadi guru bagi banyak orang yang ingin menapak di dunia sastra. Bagaimana dalam keriuhan dunia sastra, dia telah membuat sebuah jalan yang sederhana yang mampu membuat banyak orang melupakan kerumitan-kerumitan untuk melahirkan sebuah karya. Tentu saja, dengan kemudahan-kemudahan itu sebentar masalah kualitas akan jadi pertimbangan akhir, karena kehendak awal orang mau "bersastra" lebih penting ditumbuhkan dahulu, untuk kelak terus dijaga dan dikawal agar selanjutnya bisa melahirkan karya-karya yang bisa diperhitungan secara kesastraan.
Untuk Bengkulu, harus jujur kukatakan, tidak banyak orang yang mampu melakukan itu. Tetapi dia, baik secara pribadi hingga melalui sanggar yang didirikannya, telah bisa mengajak orang, terutama guru-guru, untuk menulis. Melalui sanggar yang didirikannya itu, telah banyak guru-guru berani melahirkan antologi bersama, bahkan ada yang lalu sanggup menerbitkan antologi pribadi.
Telah banyak dia membuat guru-guru jadi tercengang dengan diri sendiri, karena tidak menyangka ternyata bisa menulis puisi, bisa menerbitkan sebuah antologi. Jika anda termasuk salah seorang dari guru-guru itu, saya tidak yakin anda tidak akan tersenyum membaca kalimat itu.
Ah, haruskah kukatakan saja, hanya dia yang telah mampu melakukan itu di Bengkulu ini?
Mengapa orang-orang mempercayainya untuk menjadi "guru sastra"-nya? Apakah karena orang melihat kualitas keseluruhan karya-karyanya?
Harus diakui, dari sisi teks dan pilihan diksi, banyak karya puisi Bang HS tidak begitu bagus. Daun nyaris adalah daun yang berirama karena bergesekan dengan permukaan sungai yang dilihat dari balik kebeningan sebuah kaca jendela. Struktur puisinya banyak tidak memiliki tingkat kerumitan. Pun diksi yang dipakainya sering tidak begtu memiliki kedalaman imajinasi dan keluasan makna. Diksi-diksi demikian, ditambahkan dengan penggunaan rima akhir yang selalu dipergunakannya, menjadikan puisi-puisinya secara umum akan terlihat kuat untuk suasana panggung atau deklamatif, namun kurang begitu berhasil menjadi puisi kamar atau untuk situasi kontemplatif.
Namun, di balik semua itu, adalah konsistensinya dalam berkarya yang harus menjadi pertimbangan. Bang HS tak pernah berhenti menulis puisi. Ketika kawan-kawan lain masih berkutat merenung-renungkan imajinasinya apa yang mau ditulis, maka Bang HS telah selesai menulis beberapa karya. Dalam hal produksi, belum ada kawan-kawan di Bengkulu yang bisa menyainginya.
Perpaduan antara kesederhanaan dan konsistensi inilah, yang membuatnya "tidak ditakuti" oleh kawan-kawan yang "buta" sastra. Dia telah membuat sastra itu begitu ramah bagi orang yang sebelumnya tidak memiliki keberanian untuk menulis. Siapa pun yang bersamanya atau dibimbingnya, akan benar-benar merasa bahwa sastra itu tidak perlu dirumit-rumitkan dengan segala macam tetek bengek teori.
Dalam sebuah percakapan, dia pernah berkata kepadaku, bahwa dia tidak ambil pusing dengan karya-karyanya yang sering dianggap ketinggalan zaman, dia tidak akan menghabiskan waktu untuk mengubah gaya. Apa yang penting bagi dia adalah orang akan banyak menulis, dan kepada orang-orang itulah dia akan memberikan arah dan menjaga untuk terus menulis hingga mencapai karya yang terbaik.
Dia telah membuat banyak orang jadi berani untuk bersastra! Dalam bingkai literasi Bang Haes, sebuah karya tidak lagi harus selalu dilihat sebagai pencapaian baik atau buruk, tetapi bagaimana karya-karya itu akan menjadi sebuah dokumentasi dari konstelasi orang-orang yang mau setia untuk terus menulis.
Lalu, dia pergi. Pasti banyak orang yang merasa kehilangan. Pantai Panjang pun seperti menyepi deru ombaknya. Entah sampai kapan.
Aku kira, Bengkulu telah kehilangan seorang sosok sastrawan yang paling gigih!
------------------------------------------------------------
KAKAKTUA
Dalam satu kegiatan Kompetensi Guru Bahasa Indonesia di SMA yang diadakan di Hotel Pasir Putih, Bengkulu. Waktu itu mereka yang menghadiri masih muda-muda dan agak sedikit tidak mendengar sang penyaji. Ketika ia berbicara dengan suasana siang hari dimana konsentrasi sudah mulai tidak terarah, akhirnya dengan nada menyinggung iapun bicara “Teman-teman, adik-adik sekalian, yang berbicara ini kakak tuamu, yang paling tua, jadi kalau tidak didengar nanti berdosa,”Setelah keluar dari acara, para peserta pun spontan memanggilnya dengan sebutan "Kakaktua", akhirnya sebutan itu sampai saat ini beliau pakai sebagai ‘merek dagang’ pada setiap karyanya.
----------------------------------
OBITUARI HERMAN SURYADI
Lahir di Bengkulu, 16 Juni 1960.
Putra ke-6 dari Bapak Ahmad Gafur dan Ibu Sawiyah.
Menikah dengan Sri Mulyaningsih pada 28 Juli 1991.
Anak-anak:
Pandu Jatra Suryaningrat (1992)
Herdian Dwinusa (1994)
Muhammad Tahta Fajrianto (1995)
Kun Fadila Wiranaba (1998)
Pendidikan
SD Negeri 10 Kotamadya Bengkulu (1974),
SMP Negeri 1 Kotamadya Bengkulu (1977)
SPG Negeri Kotamadya Bengkulu (1981)
D2 PGSD FKIP Universitas Bengkulu (1996)
S1 PGSD FKIP Universitas Terbuka (2004)
Pasca Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Bengkulu (2009).
Pekerjaan
Guru sekolah dasar sejak 1981.
Guru di SD Negeri 88 Kota Bengkulu (sejak 2010)
Kepala Sekolah SD Negeri 71 Kota Bengkulu (2005-2007)
Kepala Sekolah SD Negeri 11 Kota Bengkulu (2007-2010)
Prestasi dan Perhargaan
Predikat Guru Teladan I Kotamadya Bengkulu (1996)
Predikat Guru Teladan I Provinsi Bengkulu (1996)
Finalis Guru Teladan Nasional (1996)
Guru Berprestasi I Kota Bengkulu (2011)
Guru Berprestasi I Provinsi Bengkulu (2011)
Guru Berprestasi III Nasional (2011), sebagai tambahan hadiah dari Kemendiknas dia mendapat kesempatan melakukan perjalanan studi banding ke Jepang.
Mulai menulis puisi, prosa dan dan artikel sejak 1976. Karya-karyanya pernah dimuat di berbagai media cetak dan nasional, antara lain: Majalah Kawanku, Hai, Teruna, Kucica, Klub Kapten Klim, Warta Pramuka, Majalah Pramuka, Sarinah, Mingguan Merdeka, Tabloid Asah, Tabloid Jelita, Media Sekolah (Jakarta), Sahabat Pena (Bandung), Minggu Pagi (Yogyakarta), Mingguan Semarak, Harian Semarak, Harian Rakyat Bengkulu, Media Bengkulu, Benteng, Tobo Kito, Harian Bengkulen Pos (Bengkulu)
Prestasi Kepenulisan
Juara II Mengarang Puisi Se-Provinsi Bengkulu (1980)
Juara II Mengarang Prosa Tingkat Provinsi Bengkulu (1981)
Juara III Mengarang Naskah Drama Daerah Bengkulu, dengan judul naskah "Putri Mayang Terurai" (1983)
Juara I Mengarang Puisi HUT ABRI Tingkat Kotamadya Bengkulu (1983)
Juara II Mengarang Naskah Drama Radio RRI Bengkulu, dengan judul naskah "Selamat Tinggal Si Jambul Merah" (1986)
Juara II Mengarang Buku Bacaan Tingkat Nasional dengan judul naskah "Bahana Camar dan Cemara" (1993)
Juara I Lomba Bertutur Se-Sumatera di Padang (2002)
Karya-Karya Fiksi
Bahana Camar dan Cemara, Balai Pustaka, Jakarta, 1995
Ketika Rafflesia Berbunga, Adicita, Yogyakarta, 2001
Mastodon Versus Monster, Menara Mega Perkasa, Banten, 2001
Gerhana Bulan di Danau Dendam, Oksana Publisher, Sidoarjo, 2014
Antologi Puisi
Riak I, Forum Sastra Bengkulu, Bengkulu, 1991*
Riak II, Forum Sastra Bengkulu, Bengkulu, 1992*
Riak III, Forum Sastra Bengkulu, Bengkulu, 1993*
Monolog, Forum Sastra Bengkulu, Bengkulu, 1994*
Besurek, Forum Sastra Bengkulu, Bengkulu, 1996*
Forum Enam, Forum Sastra Bengkulu, Bengkulu, 1998*
Simfoni Tanah Lahirku, Wanda Putra Persada, Semarang, 2002
Galanggang, Dewan Kesenian Padang, Padang, 2003*
Pelatuk, Teater Andung, Bengkulu, 2004
Sumatera Disastra, Taman Budaya Bengkulu, Bengkulu, 2006*
Maharaja Disastra, Taman Budaya Bengkulu, Bengkulu, 2008*
Kepada Tuan Presiden, Camar, Makasar, 2014
Cinta Itu Bernama Indonesia, Smart WR, Yogyakarta, 2014
Goresan-Goresan Indah Makna Kasih Ayah Bunda, Oksana, Sidoarjo, 2014
Ibu dalam Balutan Rindu, FAM Publishing, Kediri, 2015
Potret Diri (1976-1981) (naskah)
Di Bawah Tenda dan Bunda (1982-1992) (naskah)
Tukang-Tukang (1993-1998) (naskah)
Dendam Danau Dendam (1999-2002) (naskah)
*antologi bersama
Al Fatihah buat Kakak Tua Raja 😭
ReplyDeleteAamiin....
DeleteKita semua merasa kehilangan.jika tidak Ada pelangi sastra asuhan Kak Herman.mungkin tak pernah ada karyaku.dia ada guru,kakak.tdman yg amat baik.tak pelit akan ilmu,monolog ,Besurek,Forum Enam Dan Antologi sekebek Rindu Kita .ati tak mungkin bagian dari sana jika dia tidak merangkul.aku yg minder ditariknya i bergabung.krnangan yg tak akan terlupakan.Langit terasa runtuh.Tintapun tak cukup untuk menulis kebaiksnnys.Selamat Jalan kakak.Ati berduka,pencinta sastrapun menahan tak mampu membendung kesedihan
ReplyDeleteLanjutkan semangat dia dengn terus menulis dan berkayra
DeleteAamiin....
DeleteAl Fatihah buat Kakak Herman
ReplyDeleteMentor di Nara Karya II ku sekaligus hampir disegala bidang
Aamiin...
DeletePropinsi Bengkulu kehilangan sastrawan hebat! Alfatihah untuk Kakaktua Raja
ReplyDeleteAamiin....
Delete