ESTETIKA, KITA
The Calumny of Apelles karya Sandro Botticelli
Estetika berasal dari bahasa Yunani aesthesis, yang berarti persepsi oleh panca indera, perasaaan atau kepekaan, telah menjalani perjalanan panjang, yang pengertiannya pun berkembang dan berubah mengikuti arus waktu pemikiran manusia tentangnya. Panjangnya “sejarah” estetika ini membuat estetika itu pun sebagai sebuah paradoks besar dalam pemikiran manusia. Estetika pada mulanya merupakan cabang filsafat tersendiri, yang mempelajari konsep-konsep “apa” itu keindahan, bagaimana manusia merespon keindahan atau melakukan persepsi tentang keindahan. Namun, pada sisi normatif, antara estetika dan keindahan adalah pengertian yang integratif dan identik. Ketika estetika diucapkan, maka orang lain akan segera menghubungkannya dengan keindahan, ketika ‘melihat, menemukan atau mencipta’ sesuatu yang indah, maka orang akan meletakkan sesuatu atau benda itu dalam kesimpulan estetika.
Membicarakan estetika tidak dapat dilepaskan dari persoalan sejarah manusia. Ketika persoalan primer manusia tuntas, maka manusia pun mengarahkan pandangannya pada kebutuhan yang bersifat estetik.
Estetika dipandang pertama kali adalah sikap dan cara manusia memiliki dan memandang dunia. Telah lama ada keinginan dan usaha manusia untuk bersatu, melihat dan bahkan menguasai dunia. Penemuan-penemuan peralatan kehidupan adalah usaha manusia untuk dapat mengatasi alam. Manusia memperpanjang dan memperkuat tangannya agar dapat mengolah tanah. Hingga selanjutnya manusia berkeinginan untuk membentuk dan mencipta dunia. Tetapi, karena keterbatasan kemampuan indera manusia untuk dapat memandangnya secara makro, maka manusia pun mengimitasi dunia itu dalam bentuk mikro yang merupakan cerminan atas dunia makro. Hal ini hanya dapat dicapai oleh manusia melalui kegiatan yang bersifat estetis, yang diaplikasikan dalam karya seni.
Estetika merupakan imitasi dari alam. Dalam pandangan Aristoteles, imitasi ini adalah sumber kenikmatan yang tiada habisnya, karena representasi dari seni itu sendiri tak pernah habis, yakni manusia dan alam-alam lahiriah. Kesenian harus benar-benar mencitrakan detail hidup, fisik dan gerak subyek. Patung melempar lembing, orang berpikir mempresentasikan hasil kesenian itu. Sementara pada karya sastra, Iliad (Homer) menampilkan alam pikiran mitologi yunani kuno. Dengan Iliad, Homer (Homerus) mengabadikan mitologi itu yang sebelumnya berangkat dari tradisi oral.
Pandangan mimetik Aritoteles, yang juga kemudian merupakan pendekatan estetika termasuk sastra tertua di dunia ini, dapat dikatakan sebagai pandangan umum masyarakat Yunani dan Romawi kuno. Pandangan ini, terutama pandangan neoplatonik, berkat telah berkenalannya orang Eropa dengan kertas, disusul dikembangkannya mesin cetak oleh Johann Guttenberg, dengan cepat meluas di Eropa di abad ke-15, juga yang kemudian melatarbelakangi lahirnya masa Renaisans.
Kesenian pada masa ini sama seperti pada masa Yunani dan Romawi kuno yang melukiskan subyek dari kenyataan sehari-hari, mitologi dan kisah-kisah dari Alkitab. Pada lukisan-lukisan Sandro Botticelli (1444-1510) misalnya, seperti “Kelahiran Venus”, “Mars dan Venus” atau “Primavera” menunjukkan ciri khas estetika Yunani dan Romawi, garis yang jelas serta dengan komposisi yang seimbang dengan tekanan pada kegiatan manusia.
Perkembangan Estetika
Pada masa berikutnya, pemikiran tentang peniruan alam, komposisi dan keseimbangan mengalami perubahan atau pergeseran. Alam ternyata tidak hanya dapat dilihat berisikan keseimbangan dan keteraturan. Kondisi ketidakseimbangan dan ketidakteraturan, chaos, yang ada dalam dunia juga harus dilihat sebagai bagian kesimbangan dan keteraturan dunia itu sendiri. Manusia harus menemukan dan merumuskan ketidakseimbangan dan ketidakteratruan itu menjadi sebuah konstelasi yang makna. Ruang yang memungkin manusia melakukan usaha ini adalah estetika. Selanjutnya, alam pikiran manusia juga harus dipandang sebagai dunia tersendiri, yang dipenuhi paradoksal, keseimbangan dan ketidakseimbangan, berkomposisi dan tidak-berkomposisi, garis-lurus dan garis-tidak-beraturan. Manusia dengan naluri dan kecerdasannya secara bebas bahkan dapat menciptakan dunia.
Kegiatan estetika atau proses mencipta seni selanjutnya adalah proses perubahan, proses pertumbuhan dan proses evolusi dalam organisasi dari kehidupan subyektif, yang mungkin dapat diterima atau ditolak oleh masyarakat. Dalam kondisi ini, Picasso, seorang pelukis yang melahirkan gagasan kubisme (sebuah gerakan dunia seni rupa yang secara umum dalam karyanya meletakkan bentuk-bentuk geometrik sebagai komposisi utama) menyatakan:
“saya sendiri memasukkan dalam lukisan saya apa saja yang saya senangi. Memang obyek-obyek lukisan saya itu “bernasib buruk”, karena mereka terpaksa harus berada berdampingan satu dengan lainnya, apakah mereka itu dirasa cocok atau tidak untuk itu.
..........................
Tapi bagi saya sebuah lukisan adalah jumlah dari perusakan-perusakan. Saya menggambar sebuah lukisan dan melanjutkan untuk merusaknya...
Estetika dalam Produk-Produk Kebudayaan
Apa yang dimaksud dengan produk kebudayaan di sini, pertama kali harus diberikan batasan lebih dahulu. Kebudayaan di sini akan lebih ditekankan pada terminologi asali, yakni kebudayaan sebagai sistem nilai, norma atau tata kehidupan yang berangkat dari karsa, rasa dan cipta sebuah masyarakat. Dengan pengertian ini, produk suatu kebudayaan, baik dari segi fungsional maupun konstrastif (kebudayaan rural-urban, timur-barat, primitif-modern) dapat dipandang memiliki garis yang paralel dan bersifat universal. Produk kebudayaan pada tulisan ini ditinjau dari hasil yang dari semua unsur kebudayaan, ada 7 unsur menurut Brandes.
‘Ada’-nya manusia ditandai dengan dinamikanya. Dalam dinamika ini, aktivitas manusia tidak hanya sekedar untuk menunjukkan dia hidup dan ada, tetapi lebih jauh lagi bagaimana cara manusia itu tidak sekedar hadir, yang mengarahkan manusia sebagai eksistensi. Manusia lalu menciptakan irama dalam hidupnya. Ini pangkal estetika pada manusia. Estetika telah menjadi bagian dari dinamika manusia.
Dengan adanya estetika manusia manusia mengaktifkan dirinya dan menciptakan bentuk-bentuk dalam kehidupannya, dimana pada saatnya bentuk-bentuknya akan menjadi kebudayaan bagi manusia. Estetika yang berangkat dari karsa, rasa dan cipta manusia membuat hidup manusia menjadi berirama. Ketiadaan estetika membuat hidup manusia kering, rutinitas dan tidak ada up and down. Dengan demikian, estetika merupakan eksistensi manusia itu sendiri, yang ‘ada’ (being) dalam tiap produk budaya manusia, yang kemudian membuat manusia menjadi mahluk yang berperadaban. Namun pada sisi yang sama, produk kebudayaan manusia sendiri, seperti hasil dari unsur bahasa, sistem religius, mata pencaharian, upacara atau adat istiadat dapat dikatakan berangkat dari pandangan estetika manusia.
Bahasa, sebagai salah satu unsur kebudayaan manusia, tidak hanya sekedar alat komunikasi bagi manusia. Manusia ingin bahasanya indah, enak didengar atau dapat mempengaruhi orang lain, maka manusia akan menyusun bahasa tersebut dalam tertib tertentu, sehingga muncul produk bahasa dalam bentuk estetika.
Orang Yunani yang menyukai pidato dan membaca puisi telah dengan sengaja menyusun ilmu retorika, yang bermaksud menuntun orang dapat mengatur bahasanya dalam berpidato. Telah lahir puisi, pantun, soneta atau karya sastra lainnya yang merefleksikan sikap estetika manusia terhadap bahasa.
Upacara sebagai unsur kebudayaan lainnya, produknya pun tak lepas dari refleksi estetika manusia. Bahkan dalam kegiatan yang insidental, dalam menghadapi peristiwa kematian misalnya, manusia tetap berusaha mempertahankan estetika, dengan menciptakan “upacara kematian”.
Mengapa harus bertele-tele kalau sekedar mau menguburkan orang mati?
Lepas berpengaruh atau tidak kepada orang yang mati, dan dengan tidak pula bermaksud menjadi hiburan atau tontonan, upacara kematian telah menjadi bentuk ungkapan jiwa estetis tersendiri. Munculnya seni ratapan mereferensikan hal itu. Mungkin seorang wanita tidak akan merasa cukup dengan menangis untuk menunjukkan rasa sedihnya, maka dia akan menyampaikannya dengan cara yang “estetis”, spontanitas dan penuh improvisatoris. Di lain tempat, bagaimana wanita-wanita Syiah dan di Palestina membentuk suatu irama tertentu ketika memukul-mukul dada meratapi kematian. Bahkan, pada beberapa gereja Amerika, telah tidak ragu-ragu lagi menggunakan irama reggae dan menari dalam upacara requiem kematian.
Sementara di Bengkulu, pada awal-awalnya ritual Tabot pun harus dilihat sebagai ungkapan estetis manusia dalam menanggapi kematian!
Keinginan manusia untuk tampil dan hadir di dunia atau universum, tidak hanya sekedar ada. Diperlukan persiapan untuk manusia melaksanakannya, agar kehadirannya memiliki makna, baik bagi dirinya maupun orang lain. Situasi estetis yang diperhitungkan dalam persiapan untuk hadir memungkinan makna ini akan dapat dimunculkan.
Pada segi kebutuhan primer sandang, berpakaian tidak lagi sekedar menurut aurat atau melawan tantangan cuaca. Manusia pun menciptakan fashion mode atasnya. Pada papan, rumah tidak lagi dapat dianggap sebagai tempat berteduh dan rehat belaka, rumah akan diperhitungkan juga unsur kenyamanannya, menjadi sebuah dunia-mini yang penuh privasi. Sementara pada pangan, makan tidak hanya sekedar lepas dari situasi lapar semata. Makanan diatur dalam pola-pola tertentu, mulai dari mempersiapkannya, menyajikannya hingga performansi makanan tersebut (apa beda sate dengan barbeque, katanya lebih lezat sate; atau gado-gado dengan pasta sayur di resto Italia, katanya lebih lezat dan bergizi gado-gado. Pembicaraan tentang makanan ini secara menarik dapat dibaca dalam buku Prof. Dr. T. Jacob yang berjudul “Beginilah Kondisi Manusia”.
Wuih... Keren
ReplyDelete