KISAH SEBUAH KAMPUNG REDJANG DI KEPAHIANG, 1913 (BAGIAN I)
Pagi Hari
Masih terlalu pagi, di kokok ayam jantan pertama, para perempuan bangun; pintu dibuka dan mereka terlihat hanya mengenakan sarung yang dililitkan sedikit di atas dada dengan rambut yang masih terurai. Bersama dengan wanita-wanita lain akan menuju ke pancuran di pinggir dusun, membawa keranjang (beronang) yang penuh dengan tabung bambu (gerigik/tikoa).
Mereka kembali beberapa saat kemudian. Tabung bambu berisi penuh air jernih, dibawa pulang dalam beronang dengan tali dari kulit kayu menutupi dahi. Sementara kaum laki-laki yang bangun lebih siang juga sudah keluar. Ada yang membongkar ternak, sambil masih terkantuk-kantuk ada yang mengasah parang, atau membetulkan alat pancing. Yang lain berjalan mondar-mandir di alun-alun desa, atau berdiri berkelompok mengobrol bersama.
Saat perempuan sedang memasak, anak-anak yang sangat kecil digendong oleh ayah atau anggota keluarga lainnya. Kakak dan adik yang belum bisa membantu mengurus rumah melompat-lompat dan bermain di alun-alun desa atau di sekitar rumah.
Usai sarapan pagi yang terdiri dari nasi dengan sedikit garam dan sambal, semua berangkat kerja. Kebanyakan dari mereka pergi ke ladang, kebun kopi atau tembakau; beberapa pergi memancing atau mengumpulkan hasil hutan atau berburu. Orang-orang tua tinggal bersama para perempuan dan anak-anak kecil untuk menjaga rumah.
Pada saat-saat sibuk, ketika padi akan ditanam atau dipanen, atau ketika ladang akan disiangi, perempuan juga ikut pergi ke ladang bersama mereka. Para ibu akan membawa serta bayi mereka, yang digendong di punggung dengan kain.
Jika di ladang tidak ada yang dikerjakan lagi, para perempuan akan pergi mengambil kayu atau kebutuhan rumah tangga lainnya. Sekitar pukul 8 pagi, terlihat juga perempuan dari beberapa rumah menjemur tembakau di rak-rak bambu yang memanjang (bidai). Tembakau-tembakau itu sebelumnya sudah dirajang oleh para pria dengan sebuah alat perajang (dalam bahasa Rejang disebut selpeak lading odot, penerjemah)
Di dekat rumah, ada tikar menjemur ikatan-ikatan padi untuk makan besok atau lusa. Seorang anak laki-laki yang cukup besar di jarak yang cukup jauh dengan memegang sebatang bambu panjang. akan menjaga jemuran itu dari unggas-unggas kelaparan yang mengintai akan mencuri padi-padi. Setelah padi kering, perempuan-perempuan tua akan mengirik (meremas) padi itu dengan kaki, memisahkan padi dengan tangkainya.
Di sana-sini terlihat juga orang menjemur biji kopi di bawah sinar matahari. Kopi yang kering sebagian kecil akan ditumbuk untuk keperluan sendiri, sebagian lainnya dijual di pasar yang diadakan seminggu sekali di desa terdekat. Biasanya kopi-kopi itu akan dibawa dengan menggunakan keranjang daun kelapa yang dianyam rapat dan diusung di kepala.
Pulang Bekerja
Pada pukul lima, orang-orang dari kebun perlahan-lahan masuk ke rumah di dusun. Wanita-wanita terlihat membawa beronang yang terlalu penuh dengan kayu bakar dan peralatan memasak. Anak-anak perempuan juga membawa beronang kecil, yang isinya sayur-sayuran dan peralatan mainan mereka. Sementara kaum laki-laki berjalan gagah, berjaga-jaga keamanan keluarganya sepanjang perjalanan melewati hutan-hutan.
Beronang, keranjang bambu Rejang sumber foto: koleksi pribadi |
Saat malam tiba, pelita-pelita damar dari tanah liat atau batang bambu dinyalakan. Di depan beberapa rumah ada tertancap suluh daun kelapa kering menyala untuk menerangi halaman dan perempuan-perempuan yang akan menumbuk padi.
Setelah makan malam, sahabat dan kenalan saling mengunjungi. Tuan rumah duduk di tangga bambu rumah, beberapa pria lain berdiri atau duduk di tanah. Para pemuda pun mengunjungi para perawan (bertandang) dan menghibur mereka dengan puisi-puisi cinta (pantun).
Dari tiap halaman rumah, terlihat kaum ibu dan anak-anak gadis menumbuk padi. Kita akan mendengar gaung irama dari hentakan padi yang ditumbuk dalam lesung-lesung kayu, diselingi oleh suara sorak-sorai anak-anak yang bermain.
Malam semakin larut.
Diterjemahkan secara bebas dari J.L.M. Swaab, Het Kampongleven, dalam Beschrijving Der Onderafdeeling Redjang, 01/1916
Kisah ini secara lengkap dalam:
Soewandi, Emong. Kepahiang Di Lintas Waktu, Mereka yang Dikenang dan Tak Dikenal, Tribute to Letnan Kolonel Santoso dan Mayor Salim Batubara. Kepahiang: Pemerintah Kabupaten Kepahiang. 2020.
kak, padi diirik (mengirik), cabe dipirik (memirik)
ReplyDeleteSiap diralat. Berarti kurang tepat terjemahan kito dari bahasa Belandanyo. Memang teks asli kalau diterjemahkan "meremas dengan kaki"
DeleteTerimo kasih koreksinyo.
jadi ingek waktu masi kecik di air bening, air dingin
ReplyDeleteTerimo kasih sudah berkunjung, Nis.
DeleteSelamat bernostalgia, yo
Cerita dibalik sejarah… ikut menjadi pemerannya
ReplyDelete