BAHTRA, KAPA BAHTRA DAN TEATER BAHTRA
BAHTRA, KAPA BAHTRA DAN TEATER BAHTRA
Hima Bahtra pertama kali dipergunakan pada 1994. Secara terang-terangan, dalam surat-surat resmi atau juga di spanduk, nama Hima Bahtra mulai diterakan.
Kemah bakti mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNIB, 1990 di Desa Sumber Bening, Rejang Lebong Masih menggunakan nama Himajubi |
Mendahului nama Hima, Bahtra telah dipergunakan lebih dulu oleh organisasi-organisasi mahasiswa internal Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Seni, FKIP Universitas Bengkulu. Fusi Bahtra, 1991, Kapa Bahtra 1993, Teater Bahtra 1994, baru menyusul Hima Bahtra 1994/1995.
Di puncak Gunung Kaba, 1990 |
Latar Belakang
Berangkat dari sebuah artikel yang dirilis surat kabar lokal berjudul "Bengkulu Sepi Penyair". Kemunculan artikel ini disusul artikel-artikel lainnya di media yang sama telah menyulut kemarahan para pegiat sastra di Bengkulu. Mereka menganggap apa yang ditulis dalam artikel itu tidak sesuai dengan kenyataan. Hingga timbul juga anggapan, bahwa oang-orang jurnalis tidak menguasai medan seni di Bengkulu, namun ujug-ujug menulis jika Bengkulu tidak ada kegiatan-kegiatan sastra. Beberapa kawan menjawab tulisan itu, temasuk saya, dengan tulisan-tulisan yang justru dipublikasikan di media luar. Saya sendiri mempublikasikannya di Harian Merdeka, Jawa Tengah.
Tergugah dengan artikel itu dan polemik yang kemudian berkembang, saya bersama kawan-kawan, yakni Sahril Sahidir, Asyikin, Rahmad Pujiantoro (Puji) dan FX. Hardi Purnomo (Iung) merencanakan sebuah kegiatan yang akan mempertemukan seniman-seniman, pegiat sastra dan kawan-kawan jurnalis yang ada di Bengkulu. Rencana ini pun kami diskusikan dengan dosen-dosen yang memang sudah dekat dengan kami, Pak Amrizal, Pak Amril Chanras dan Pak Padi Utomo. Secara pribadi, ketiga orang guru kami pun ini memberikan dukungan penuh atas rencana itu.
Hima yang kami harapkan mau mendukung kegiatan menolak untuk menjadi penyelenggara atau dilibatkan, dengan alasan itu bukan urusan mahasiswa. Konflik yang terjadi antara jurnalis dengan pegiat sastra itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kita-kita yang calon guru ini. Itu terjadi di luar kampus.
Tidak terpengaruh dengan sikap kaku Hima, maka kami pun tetap bertekad untuk melanjutkan kegiatan. Namun, setidaknya bisa sekedar menjadi simpul kegiatan, kami perlu membentuk forum, walaupun mungkin itu hanya forum asal-asalan.
Nama yang saya tawarkan kepada kawan-kawan adalah Forum Diskusi Bahasa dan Sastra, yang disingkat Fusi Bahtra. Nama ini segera diterima kawan-kawan. Dengan nama forum ini, kami kemudian berhasil mempertemukan pegiat-pegiat sastra yang ada di Kota Bengkulu dan kawan jurnalis-jurnalis. Pegiat-pegiat sastra yang hadir waktu itu, ada Bang Ilhamdi Sulaiman, Pak Azrul Thaib, Bang Eman Bizzy (alm.), Bang Herman Suryadi, Bang Mulyadi, Bang Barlian, Bang Harlisman Fasha, Bang Andi Burhanuddin, Mas Wijang Warek, sementara kawan-kawan jurnalis, ada Bang Azmaliar Zaros, Lekat S. Paguci, Bang Sopian Hardi dan beberapa lainnya. Selanjutnya, dalam tulisan-tulisan ke media-media, saya selalu membawa nama Fusi Bahtra sebagai asal organisasi.
Perkembangan Selanjutnya
Setelah kegiatan Fusi Bahtra, kawan-kawan mahasiswa yang tergabung di Sanggar Teater Swareka mulai mempopulerkan nama Bahtra, sebagai identitas mahasisa Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Bengkulu.
Secara organisasi, mahasiswa program studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan mahasiswa program studi Diploma Bahasa Inggris berada dalam satu organisasi Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Seni, yang disingkat Himajubani. Pergantian pengurus tidak dengan cara dipilih, namun diatur bergantian antara kedua program studi itu. Secara internal program studi, himpunan mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia memiliki organisasi sendiri yang bernama Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, disingkat Himajubi.
Pada pertengahan 1993, kami melakukan pementasan teater berjudul "Do", di pelataran Laboratorium Bahasa Universitas Bengkulu. Bermain pada pementasan ini adalah aku sendiri, Bustarudin, Puji, Budi Darmawan, Choi, Ali dan Efa, sementara Asyikin sebagai penata artistik. Iung bertindak sebagai sutradara. Untuk pementasan ini, di antara kami terjadi ketidaksepakatan bendera apa yang akan dipergunakan, apakah masih menggunakan nama Sanggar Swareka ataukah menggunakan nama organisasi yang lain. Keberatan kawan-kawan menggunakan nama Sanggar Swareka, karena sanggar ini adalah sanggar umum, sementara yang kami inginkan adalah organisasi kesenian internal mahasiswa. Apa nama organisasi itu? Secara bisik-bisik kami menyebut-nyebut Teater Bahtra, mengingat nama ini telah cukup familiar di kalangan internal mahasiswa.
Naskah "Do" (Iung), canang tegaknya Teater Bahtra |
Setelah pementasan itu, aku dan Iung menerima undangan pementasan dari Taman Budaya Bengkulu. Menanggapi undangan tersebut, aku, Asyikin, Bustarudin, Iung, Puji dan Budi berembug, yang hasilnya kami menerima undangan tersebut, dengan materi pementasan adalah naskah "Do" itu juga. Jika pada pementasan pertama, kami belum secara eksplisit menggunakan nama Teater Bahtra, maka pada pementasan kedua ini, kami jadikan sebagai ajang untuk memproklamasikan nama TEATER BAHTRA. Untuk selanjutnya, di kegiatan-kegiatan sastra berikutnya, kami selalu membawa nama Teater Bahtra
Pada 1994, setelah program studi Bahasa Inggris membuka jenjang S1, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia semakin mempertegas Himajubi, setelah di program studi Bahasa Inggris membentuk English Department Student Association yang disingkat EDSA. Namun, kedua organisasi ini pada awal-awalnya hanya bersifat lokal dan internal program studi saja, karena untuk di tingkat universitas yang masih tetap diakui adalah Himajubani.
Di kalangan mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, nama Himajubi perlahan-lahan mulai dirasakan sebagai nama yang lucu, tidak enak diucap dan didengar, ada kesan asal ada nama saja. Tak pelak, muncul pelesetan-pelesetan dari mahasiswa untuk nama itu, antaranya jika Himajubi untuk mahasiswi, maka untuk mahasiswanya adalah Himajuba.
Pada 1994 itu juga, Toni, mahasiswa satu angkatan dengan aku, menggagas organisasi pencinta alam khusus untuk mahasiswa program studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Setelah beberapa kali diskusi intensif, Toni, aku sendiri, Hadiwijaya, Iwang, Eko dan Taryono sepakat mendirikan organisasi pencinta alam, yang kami beri nama Kelompok Aktivis Pencinta Alam Bahasa dan Sastra, disingkat KAPA BAHTRA. Hadiwijaya "Jalak" dipercaya untuk memimpin organisasi ini untuk pertama kalinya.
Logo KAPA BAHTRA secara umum berbentuk buku yang dibalik membentuk gambar tenda memiliki makna, bahwa pencinta alam juga salah-satu bentuk pendidikan |
Ngomong-ngomong, Kapa Bahtra pernah mendominasi pengurus Komisi Generai Muda Pencinta Alam (GEMPALA) Bengkulu. Prestasi terbaik pada 1995 menjadi organisasi pencinta alam terbaik Provinsi Bengkulu. Untuk prestasi ini, KAPA Bahtra mendapat kesempatan diundang menghadiri Pekan Konservasi Nasional di Maluku, yang diwakili oleh Toni.
Kepastian
Pada masa-masa ini nama Hima Bahtra telah mulai kami pergunakan, khususnya di kalangan terbatas mahasiswa. Bukan tidak ada penolakan untuk kata "bahtra" ini. Baik dari kawan-kawan mahasiswa sendiri, hingga dosen tidak sepakat dengan nama ini. Penolakan ini terjadi terutama sekali pada akronim itu tidak mencakupkan kata Indonesia.
Argumen aku pada waktu itu, bahwa kita harus punya kekhasan, nama yang mudah diucap dan mudah diingat. Lagi pula, bukankah "ruang" bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Bengkulu hanya dimiliki oleh program studi Bahasa dan Sastra Indonesia, sehingga nama Bahtra pun secara a priori akan indentik dengan mahasiswa Bahasa dan Sastra "Indonesia".
Dan, sampai sekarang prediksi itu masih benar, jika hanya Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia yang memiliki nama hima yang unik di Universitas Bengkulu, yakni HIMA BAHTRA.
Secara sepihak, nama Hima Bahtra pertama kali dipergunakan pada 1994. Saat itu yang menjadi ketua Hima adalah Budi Darmawan. Secara terang-terangan, dalam surat-surat resmi atau juga di spanduk, nama Hima Bahtra mulai diterakan.
Mengapa dikatakan secara sepihak? Pada praktiknya kami memang memakai nama Hima Bahra, namun pemakaian nama itu sendiri belum sepenuhnya diterima oleh pihak program studi. Untuk keadaan resmi, kami masih sering terpaksa memakai nama Himajubi, demi kelancaran urusan administrasi. Syukurlah, beberapa dosen mulai bersikap terbuka untuk menerima nama ini, ada Pak Sukino (alm.), Pak Amril Chanras, Pak Amrizal, Pak Sarwit dan Ibu Yayah. Pak Sukri Hamzah juga termasuk menolak nama ini pada awal-awalnya, namun dengan penuh pertimbangan dan melihat bagaimana aktivitas kami, akhirnya menerima juga nama ini.
Pementasan dramatisasi puisi "Tabot" (Emong Soewandi) di Auditorium UNIB, 1998
Teater Bahtra, Universitas Bengkulu
Berkat perjuangan dan kengototan kawan-kawan dan adik-adik tingkat selanjutnya, seperti Gumono, Budi Darmawan, Budi Rahmat, Adnan dan Agus Triawan (alm.), dualisme nama ini akhirnya selesai juga pada 1998. Program studi pun akhirnya bersikap "mengalah" dan menerima nama Hima Bahtra menjadi nama resmi untuk organisasi mahasiswa pada tingkat jurusan dan program studi.
Hingga hari ini tetap HIMA BAHTRA.
--------------------
Tentang aku sendiri di organisasi mahasiswa:
Ketua Senat Mahasiswa FKIP Universitas Bengkulu, 1991
Sekretaris Jenderal Presidium Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) Universitas Bengkulu, 1992
Lengkap alurnya, Kak, benar-benar terhampar rasanya ini bisa jadi bagian latar belakang AD/ART Organisasi Hima Bahtra👍🙏
ReplyDelete