Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERITA RAKYAT REJANG: PUTRI SEDARO PUTIH - ASAL-USUL ENAU

Aren atau enau (Arenga pinnata)


Suatu ketika, di sebuah desa terpencil yang dikelilingi hutan lebat, hiduplah tujuh orang bersaudara yang telah kehilangan kedua orang tua mereka. Mereka adalah enam saudara laki-laki dan satu adik perempuan, yang menjadi yatim piatu sejak adik bungsu mereka lahir. Anak bungsu itu bernama Putri Sedoro Putih, satu-satunya perempuan di antara mereka. Keenam saudara laki-lakinya begitu menyayangi Putri Sedoro Putih, melindunginya dengan segenap tenaga dan kasih sayang, bahkan ketika mereka sendiri harus bekerja keras sebagai petani di ladang yang mereka kelola di pinggir hutan.

Kehidupan mereka berjalan damai meski sederhana. Setiap hari, Putri Sedoro Putih menemani kakak-kakaknya di ladang, membantu mereka menanam dan merawat tanaman. Mereka saling menjaga, dan kebahagiaan sederhana terpancar dari wajah-wajah mereka yang lelah namun puas.

Namun, suatu malam, mimpi aneh menghampiri Putri Sedoro Putih. Dalam tidurnya, ia melihat seorang lelaki tua yang wajahnya dipenuhi keriput, tetapi matanya memancarkan kebijaksanaan yang mendalam. Lelaki tua itu menatap Putri Sedoro Putih dengan pandangan yang penuh makna sebelum akhirnya berkata, "Putri Sedoro Putih, kau sebenarnya adalah nenek dari keenam saudaramu. Ajalmu sudah dekat, bersiaplah untuk menghadapinya."

Putri Sedoro Putih terbangun dengan napas terengah, dadanya berdebar kencang. Kata-kata lelaki tua itu terus terngiang di telinganya, membuatnya bingung dan takut. Apakah mungkin dia adalah nenek dari saudara-saudaranya sendiri? Bagaimana mungkin kematian sudah sedekat itu?

Keesokan paginya, meski tubuhnya masih terasa lemah akibat mimpi itu, Putri Sedoro Putih berusaha tetap membantu kakak-kakaknya di ladang. Namun, kegelisahan yang menggerogoti hatinya tak bisa disembunyikan. Matanya yang biasanya ceria kini tampak sayu, dan bibirnya yang sering tersenyum mulai jarang terlihat. Kakak sulungnya yang peka, merasakan perubahan itu dan segera mendekati Putri Sedoro Putih.

"Adikku," kata sang kakak sulung dengan lembut, "Apa yang membuatmu begitu tertekan? Mengapa wajahmu tampak pucat dan tak bersemangat seperti biasanya?"

Putri Sedoro Putih menatap kakaknya, dan air mata mulai mengalir di pipinya. "Kak," jawabnya dengan suara yang gemetar, "Aku bermimpi aneh tadi malam. Dalam mimpiku, seorang lelaki tua berkata bahwa aku adalah nenek dari kalian, dan bahwa kematianku sudah dekat."

Mendengar itu, kakak sulungnya merasa cemas, tetapi ia berusaha menenangkan adiknya. "Jangan khawatirkan mimpi itu, adikku," katanya dengan penuh kasih sayang. "Mimpi hanyalah bunga tidur. Kita akan selalu bersama, mengatasi segala kesulitan. Kau tak perlu takut."

Meskipun kata-kata kakaknya menenangkan sejenak, bayang-bayang mimpi itu tetap menghantui Putri Sedoro Putih. Ia mulai mengasingkan diri, semakin sering tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tubuhnya yang dulu sehat dan bugar perlahan menjadi kurus dan pucat. Meskipun kakak-kakaknya berusaha menghiburnya, Putri Sedoro Putih merasa bahwa nasibnya telah ditentukan, dan ia tak bisa melawan takdir.

Namun, seiring berjalannya waktu, mimpi itu mulai memudar dari ingatannya. Putri Sedoro Putih kembali menjalani hari-harinya dengan penuh semangat, membantu kakak-kakaknya di ladang, tertawa, dan menikmati kebersamaan mereka. Kehidupan kembali normal, seolah mimpi buruk itu tak pernah ada.

Hingga pada suatu malam yang sunyi, tanpa tanda-tanda sakit atau keluhan, Putri Sedoro Putih tiba-tiba meninggal dunia dalam tidurnya. Keesokan paginya, keenam saudara laki-lakinya menemukan tubuh adik kesayangan mereka yang telah terbujur kaku. Kesedihan mendalam menyelimuti mereka. Dengan hati yang hancur, mereka menguburkan Putri Sedoro Putih di dekat rumah mereka, di bawah pohon rindang yang sering menjadi tempatnya duduk sambil menunggu kakak-kakaknya pulang dari ladang.

Waktu berlalu, dan seperti yang diramalkan dalam mimpi Putri Sedoro Putih, di tengah pusarannya tumbuh sebatang pohon yang asing bagi mereka. Pohon itu memiliki daun-daun hijau yang lebat dan dahan-dahan yang kokoh. Saudara-saudaranya merawat pohon itu dengan penuh cinta, mengenangnya sebagai bagian dari Putri Sedoro Putih yang tetap bersama mereka.

Di samping pohon Sedaro Putih, tumbuh pula sebatang pohon kayu kapung, yang tingginya sama menjulang ke langit. Pohon kapung itu mereka pelihara sebagai pelindung, layaknya mereka dulu melindungi Putri Sedoro Putih.

Lima tahun berlalu, dan pohon Sedaro Putih mulai berbunga, menghasilkan buah yang aneh. Setiap kali angin berhembus, dahan pohon kapung yang tumbuh di sampingnya selalu memukul tangkai buah Sedaro Putih, menyebabkan buahnya memar dan meregang. Namun, justru dari peristiwa ini, pohon Sedaro Putih memperlihatkan keajaibannya. Air manis mulai mengalir dari buah yang tergores, mengalir seperti air mata dari batang yang terluka.

Suatu hari, salah satu saudara laki-laki Sedoro Putih duduk di samping kubur adiknya, mengenang kenangan indah mereka bersama. Ketika angin kembali berhembus, ia melihat bagaimana dahan pohon kapung memukul buah Sedaro Putih, membuatnya terlepas dan jatuh ke tanah. Saat itulah seekor tupai mendekat, menggigit buah yang telah jatuh, dan dari dalamnya keluarlah cairan berwarna kuning jernih. Tupai itu menjilati cairan tersebut dengan lahap.

Saudara itu mendekati buah yang pecah, menampung cairan dengan telapak tangannya, lalu mencicipinya. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati rasa cairan itu begitu manis. Dengan penuh antusias, ia bergegas pulang dan menceritakan temuannya kepada saudara-saudaranya.

"Ini luar biasa!" serunya. "Kita harus mempelajarinya lebih lanjut. Ada sesuatu yang berharga dari pohon ini."

Saudara-saudaranya sepakat. Mereka mulai mempelajari bagaimana cara menyadap air manis dari buah Sedaro Putih. Mereka mencoba meniru alam, menggoyangkan tangkai buah seperti yang dilakukan angin, memukulnya seperti dahan pohon kapung, dan memotongnya seperti gigitan tupai. Hasilnya, mereka berhasil menyadap air manis yang semakin melimpah. Mereka menyimpan air itu dalam tabung bambu dan mulai mengenalnya dengan nama "nira."

Namun, mereka menyadari bahwa nira yang terlalu lama disimpan menjadi masam. Tidak ingin kehilangan rasa manisnya, mereka memutuskan untuk memasaknya hingga mengental, dan kemudian mendinginkannya hingga membeku, menghasilkan gula merah yang lezat. Dari proses sederhana ini, mereka menemukan cara baru untuk memanfaatkan pohon Sedaro Putih, menjadikannya bagian penting dari kehidupan mereka.

Akhirnya, pohon Sedaro Putih diakui sebagai pohon aren, atau pohon enau. Air yang keluar dari tangkai buahnya dikenal sebagai nira, sementara hasil olahan nira yang mengental disebut gula merah. Pohon itu menjadi bukti nyata bahwa dari kematian Putri Sedoro Putih lahir sesuatu yang memberi manfaat bagi banyak orang. Keenam saudaranya merasa bangga dan bersyukur, menjadikan pohon ini sebagai simbol keberanian dan pengorbanan adik mereka, Putri Sedoro Putih, yang cinta dan kebaikannya akan selalu dikenang.

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "CERITA RAKYAT REJANG: PUTRI SEDARO PUTIH - ASAL-USUL ENAU"