MAHASISWA: DARI MIE INSTAN MENUJU AYAM GEPREK
Sejak Teater Petak Rumbia bekerja sama dengan Teater Besurek Universitas Bengkulu, juga membantu membina Sanggar Teater Bahtra FKIP Universitas Bengkulu, maka latihan-latihan pun banyak mengambil tempat di Laboratorium Kreatif Universitas Bengkulu. Untuk itu, aku pun jadinya banyak berada di Kandang Limun, yang merupakan konsentrasi utama tempat mahasiswa Universitas Bengkulu berdomisili, selama mereka menjalankan pendidikan perkuliahan di Universitas Bengkulu.
Kampus UNIB Suatu Ketika
Kandang Limun hari ini tentulah berbeda situasinya dengan 20-25 tahun lalu, saat aku masih menjalankan pendidikan di Jurusan Bahasa dan Seni, FKIP Universitas Bengkulu. Pada saat itu pusat kampus Universitas Bengkulu masih berada di dekat jalan lintas Bengkulu-Argamakmur, serta dekat pesisir Pantai Samudera Indonesia. Sementara "UNIB Belakang" sebutan populer yang kami pergunakan untuk pusat kampus hari ini, masih dalam tahap penyiapan areal pembangunan.
Dari Kantor Transito, Gedung Rektorat, hingga Gerbang Kampus, kurang lebih sepanjang 1 km, masih berupa kebun-kebun kopi yang begitu rimbun, dengan diselingi semak-belukar. Di sana-sini tumbuh tegak pohon-pohon beringin karet dan flamboyan raksasa. Bisa dibayangkan, bagaimana jika malam hari, Desa Kandang Limun yang masih menyerupai talang atau sebuah dusun di pinggir kota itu begitu gelap gulita, dengan adanya kebun-kebun kopi dan pohon-pohon raksasa itu membuat suasananya pun menjadi menyeramkan. Beberapa rumah berada jauh dari jalan raya yang belum begitu baik, dengan cahaya lampunya yang begitu suram, membuat kita melewati tempat ini pada malam hari akan terasa sangat tidak nyaman.
Aku masih teringat, pada suatu malam aku dan 4 orang kawan: Iung, Bustarudin, Lukas dan Nova mengunjungi rumah Pak Amrizal, untuk membahas rencana satu pementasan teater. Rumah Pak Amrizal berada di Gang Juwita, yang posisinya tepat berada di depan Gerbang Kampus UNIB Belakang hari ini. Sebagaimana rumah-rumah di gang itu dan Desa Kandang Limun yang belum berlistrik, demikian juga rumah Pak Am, maka di sana kami pun hanya diterangi oleh lampu petromak.
Saat pulang, yang biasanya sudah tengah malam, akan selalu menjadi waktu-waktu yang menegangkan bagi kami. Aku dan kawan-kawan bukanlah orang-orang yang penakut, walau tidak pula begitu pemberani, akan terasa sedikit gentar juga melalui wilayah itu tengah malam dalam kondisi gelap gulita, apalagi ada seorang wanita di antara kami. Suasana sepi, kisah-kisah seram yang sering kami dengar di wilayah itu, bayangan pohon-pohon raksasa, kegelapan hutan kopi, melewati sebuah kuburan tua dan rasa mata mengantuk, membuat kami sering tak sanggup lagi untuk mengobrol, apalagi saling canda.
Kandang Limun hari ini bukanlah 20-30 tahun yang lalu. Tempat dulu sunyi senyap, tempat jin buang anak, hari ini telah berganti rupa menjadi tempat yang ramai, riuh penuh dinamika rupa-rupa kehidupan. Pohon-pohon raksasa dan pohonan kopi telah dirobohkan, lalu di atas bekas-bekasnya telah didirikan sebuah Gedung Rektorat dan gedung-gedung lainnya yang begitu megah. Kebun-kebun di kiri kanan jalan telah banyak dibongkar, lalu dibangun rumah-rumah baru, rumah sewa untuk mahasiswa, toko-toko, perpustakaan, gerai-gerai waralaba, bank-bank, pusat hiburan, restoran dan fasilitas lainnya yang bisa mempertegas lingkungan yang pantas untuk sebuah universitas.
Dalam kunjungan-kunjunganku ke Universitas Bengkulu hari ini, aku biasanya menginap di rumah Budi, seorang rekan di Teater Petak Rumbia dan aktor di Teater Besurek. Latihan berlangsung pada hari Sabtu dan Minggu. Aku menginap biasanya hanya pada malam Minggu saja, pada Minggu malam aku akan pulang ke Kepahiang.
Dari Kantor Transito, Gedung Rektorat, hingga Gerbang Kampus, kurang lebih sepanjang 1 km, masih berupa kebun-kebun kopi yang begitu rimbun, dengan diselingi semak-belukar. Di sana-sini tumbuh tegak pohon-pohon beringin karet dan flamboyan raksasa. Bisa dibayangkan, bagaimana jika malam hari, Desa Kandang Limun yang masih menyerupai talang atau sebuah dusun di pinggir kota itu begitu gelap gulita, dengan adanya kebun-kebun kopi dan pohon-pohon raksasa itu membuat suasananya pun menjadi menyeramkan. Beberapa rumah berada jauh dari jalan raya yang belum begitu baik, dengan cahaya lampunya yang begitu suram, membuat kita melewati tempat ini pada malam hari akan terasa sangat tidak nyaman.
Aku masih teringat, pada suatu malam aku dan 4 orang kawan: Iung, Bustarudin, Lukas dan Nova mengunjungi rumah Pak Amrizal, untuk membahas rencana satu pementasan teater. Rumah Pak Amrizal berada di Gang Juwita, yang posisinya tepat berada di depan Gerbang Kampus UNIB Belakang hari ini. Sebagaimana rumah-rumah di gang itu dan Desa Kandang Limun yang belum berlistrik, demikian juga rumah Pak Am, maka di sana kami pun hanya diterangi oleh lampu petromak.
Saat pulang, yang biasanya sudah tengah malam, akan selalu menjadi waktu-waktu yang menegangkan bagi kami. Aku dan kawan-kawan bukanlah orang-orang yang penakut, walau tidak pula begitu pemberani, akan terasa sedikit gentar juga melalui wilayah itu tengah malam dalam kondisi gelap gulita, apalagi ada seorang wanita di antara kami. Suasana sepi, kisah-kisah seram yang sering kami dengar di wilayah itu, bayangan pohon-pohon raksasa, kegelapan hutan kopi, melewati sebuah kuburan tua dan rasa mata mengantuk, membuat kami sering tak sanggup lagi untuk mengobrol, apalagi saling canda.
Kandang Limun hari ini bukanlah 20-30 tahun yang lalu. Tempat dulu sunyi senyap, tempat jin buang anak, hari ini telah berganti rupa menjadi tempat yang ramai, riuh penuh dinamika rupa-rupa kehidupan. Pohon-pohon raksasa dan pohonan kopi telah dirobohkan, lalu di atas bekas-bekasnya telah didirikan sebuah Gedung Rektorat dan gedung-gedung lainnya yang begitu megah. Kebun-kebun di kiri kanan jalan telah banyak dibongkar, lalu dibangun rumah-rumah baru, rumah sewa untuk mahasiswa, toko-toko, perpustakaan, gerai-gerai waralaba, bank-bank, pusat hiburan, restoran dan fasilitas lainnya yang bisa mempertegas lingkungan yang pantas untuk sebuah universitas.
Dalam kunjungan-kunjunganku ke Universitas Bengkulu hari ini, aku biasanya menginap di rumah Budi, seorang rekan di Teater Petak Rumbia dan aktor di Teater Besurek. Latihan berlangsung pada hari Sabtu dan Minggu. Aku menginap biasanya hanya pada malam Minggu saja, pada Minggu malam aku akan pulang ke Kepahiang.
Asupan Gizi Mahasiswa
Saat-saat berada di sanalah, sembari mengenang masa-masa romantika zaman kuliah dulu, aku memperhatikan, bahwa telah ada perubahan besar terhadap aktivitas makan mahasiswa.
Jika sebelum-sebelumnya, aktivitas ini akan sangat identik dengan sebungkus mie instan, yang akan bisa disantap hingga berhari-hari oleh mahasiswa untuk menjamin nyawanya akan tetap selalu bersarang dalam jasad. Ada mahasiswa yang telah cukup mampu melalui hari-harinya hanya dengan sebungkus mie instan, yang mungkin pula dilengkapi dengan sebutir telur dengan irisan-irisan kol serta sebungkus kecil pilus.
Tidak peduli mie instan itu rasa apa, semua mie instan dibuat dengan banyak kuah. Bahkan mie goreng yang lazimnya dibuat kering pun harus dijadikan penuh dengan kuah. Hitung-hitung sebagai penambah porsi.
Banyak kawan yang aku kenal, saat awal bulan setelah menerima kiriman dari kampung, pergi ke pasar alih-alih membeli beras, yang dibeli adalah 1 dus mis instan. Ah, yang menerima kiriman beras pun, tidak aneh kita dapati dia akan makan nasi dengan lauknya adalah mie instan!
Namun, semakin ramainya warung-warung makan, hingga pada usaha rumah tangga yang menjual ayam geprek, pada hari ini peran mie instan sepertinya perlahan mulai tergusur. Memang, ayam geprek merupakan kuliner tradisional yang sudah lama dikenal masyarakat, namun entah siapa yang mulai mempopulerkannya di kalangan mahasiswa, yang jelas keberadaannya sangat diterima dalam kehidupan mahasiswa.
Sedikit lebih mahal dibandingkan mie instan. Jika biasanya, hanya dengan 2000 rupiah sudah bisa diperoleh sebungkus mie instan, kalau mau tambah uang sedikit lagi malah bisa dapat dalam versi "duo". Sementara ayam geprek harganya mencapai kisaran 10.000 hingga 15.000 rupiah per porsi.
Namun, kata seorang mahasiswa berteori, jika dilihat dari segi keunggulan atau kelebihannya, maka harga 10.000 rupiah itu akan cukup murah bagi ayam geprek. Kalau dihitung-hitung, jika sehari 2 porsi, maka sebulan "hanya" menghabiskan uang sebanyak Rp 600.000,00 (terbilang enam ratus ribu rupiah saja!). Masih cukup murah juga, katanya. Bahkan bisa lebih murah lagi, jika dikurangi hanya satu porsi sehari, yang kadang kala bisa dipadukan dengan menumpang makan di rumah kawan, atau sesekali jadi tamu gelap di resepsi pernikahan. (Yang terakhir ini, konon tempat yang sering dianeksasi mahasiswa untuk jadi tamu gelap adalah saat resepsi pernikahan di Gedung Serba Guna Universitas Bengkulu)
Mie instan pun kalau mau dikalkulasi lagi pun bisa menjadi lebih mahal juga, karena belum telurnya, belum mencari cabai rawit dan mengirisnya, minyak atau gas untuk kompor memasaknya, serta waktu yang diperlukan untuk mempersiapkannya, serta harus pula mencuci piring.
Jika sebelum-sebelumnya, aktivitas ini akan sangat identik dengan sebungkus mie instan, yang akan bisa disantap hingga berhari-hari oleh mahasiswa untuk menjamin nyawanya akan tetap selalu bersarang dalam jasad. Ada mahasiswa yang telah cukup mampu melalui hari-harinya hanya dengan sebungkus mie instan, yang mungkin pula dilengkapi dengan sebutir telur dengan irisan-irisan kol serta sebungkus kecil pilus.
Tidak peduli mie instan itu rasa apa, semua mie instan dibuat dengan banyak kuah. Bahkan mie goreng yang lazimnya dibuat kering pun harus dijadikan penuh dengan kuah. Hitung-hitung sebagai penambah porsi.
Banyak kawan yang aku kenal, saat awal bulan setelah menerima kiriman dari kampung, pergi ke pasar alih-alih membeli beras, yang dibeli adalah 1 dus mis instan. Ah, yang menerima kiriman beras pun, tidak aneh kita dapati dia akan makan nasi dengan lauknya adalah mie instan!
Namun, semakin ramainya warung-warung makan, hingga pada usaha rumah tangga yang menjual ayam geprek, pada hari ini peran mie instan sepertinya perlahan mulai tergusur. Memang, ayam geprek merupakan kuliner tradisional yang sudah lama dikenal masyarakat, namun entah siapa yang mulai mempopulerkannya di kalangan mahasiswa, yang jelas keberadaannya sangat diterima dalam kehidupan mahasiswa.
Sedikit lebih mahal dibandingkan mie instan. Jika biasanya, hanya dengan 2000 rupiah sudah bisa diperoleh sebungkus mie instan, kalau mau tambah uang sedikit lagi malah bisa dapat dalam versi "duo". Sementara ayam geprek harganya mencapai kisaran 10.000 hingga 15.000 rupiah per porsi.
Namun, kata seorang mahasiswa berteori, jika dilihat dari segi keunggulan atau kelebihannya, maka harga 10.000 rupiah itu akan cukup murah bagi ayam geprek. Kalau dihitung-hitung, jika sehari 2 porsi, maka sebulan "hanya" menghabiskan uang sebanyak Rp 600.000,00 (terbilang enam ratus ribu rupiah saja!). Masih cukup murah juga, katanya. Bahkan bisa lebih murah lagi, jika dikurangi hanya satu porsi sehari, yang kadang kala bisa dipadukan dengan menumpang makan di rumah kawan, atau sesekali jadi tamu gelap di resepsi pernikahan. (Yang terakhir ini, konon tempat yang sering dianeksasi mahasiswa untuk jadi tamu gelap adalah saat resepsi pernikahan di Gedung Serba Guna Universitas Bengkulu)
Mie instan pun kalau mau dikalkulasi lagi pun bisa menjadi lebih mahal juga, karena belum telurnya, belum mencari cabai rawit dan mengirisnya, minyak atau gas untuk kompor memasaknya, serta waktu yang diperlukan untuk mempersiapkannya, serta harus pula mencuci piring.
Apa Keunggulan Ayam Geprek?
Hal utama yang juga semakin mendegradasi eksistensi mie instan, ayam geprek dipersenjatai oleh nasi, sesuatu yang membuat orang Indonesia secara umum benar-benar makan, "belum makan nasi belum makan". Disertai sambal, yang merupakan pemancing-pemancing selera yang wajib ada, tempe goreng, sedikit sayur dan kerupuk serta daun kemangi, maka menyantap ayam geprek kata mahasiswa itu tadi adalah kenyang yang sempurna. Tidak ada lagi asal kenyang atau pokoknya jangan lapar, sebagaimana menyantap mie instan seperti kemarin-kemarin.
Belum lagi dari segi efisiensinya. Ayam geprek siap santap, jadi tak perlu sibuk memasak lagi. Selain itu juga, ayam geprek yang dikemas dalam kemasan yang bersifat disposable (sekali pakai dan buang), baik itu berupa kotak kertas atau stryrofoam akan bisa menghindari mahasiswa dari kerepotan mencuci piring.
Ini sangat membantu sekali, kata mahasiswa itu dengan riang, apalagi bagi mahasiswa yang senang menumpuk piring kotor yang bahkan bisa berhari-hari. Karena kesenangan menumpuk piring kotor ini, sampai-sampai ada mahasiswa yang dianggap telah jadi peternak kapang jamur Rhizopus (jamur beracun yang berbentuk seperti kapas yang biasa tumbuh di nasi atau roti basi).
Bagi mereka yang kreatif dan berjiwa-jiwa seni, styrofoam itu juga katanya bisa dimanfaatkan untuk disulap menjadi sesuatu yang bernilai seni, yang bisa pula “jika memang rezeki” ada yang berminat membelinya.
Hm, besok atau lusa, akankah ayam geprek akan menutup era MKBMI atawa mahasiswa kenyang bersama mie instan?
Belum lagi dari segi efisiensinya. Ayam geprek siap santap, jadi tak perlu sibuk memasak lagi. Selain itu juga, ayam geprek yang dikemas dalam kemasan yang bersifat disposable (sekali pakai dan buang), baik itu berupa kotak kertas atau stryrofoam akan bisa menghindari mahasiswa dari kerepotan mencuci piring.
Ini sangat membantu sekali, kata mahasiswa itu dengan riang, apalagi bagi mahasiswa yang senang menumpuk piring kotor yang bahkan bisa berhari-hari. Karena kesenangan menumpuk piring kotor ini, sampai-sampai ada mahasiswa yang dianggap telah jadi peternak kapang jamur Rhizopus (jamur beracun yang berbentuk seperti kapas yang biasa tumbuh di nasi atau roti basi).
Bagi mereka yang kreatif dan berjiwa-jiwa seni, styrofoam itu juga katanya bisa dimanfaatkan untuk disulap menjadi sesuatu yang bernilai seni, yang bisa pula “jika memang rezeki” ada yang berminat membelinya.
Hm, besok atau lusa, akankah ayam geprek akan menutup era MKBMI atawa mahasiswa kenyang bersama mie instan?
NB: tulisan ini adalah murni hasil sebuah pengamatan sederhana. Jadi, mohon jangan sampai ada kecurigaan bahwa saya telah bermaksud mempromosikan ayam geprek, atau lebih parahnya lagi ada anggapan bahwa tulisan ini disponsori oleh pedagang-pedagang ayam geprek yang ada di sekitar Universitas Bengkulu.
Wkwk... Tulisan yg ringan dan inspiratif. Ada sedihny, ada lucunya....
ReplyDeleteBerbagai variasi sambal ayam geprek pun hadir dengan gratis es teh yg esnya kadang juga ada "rasanya"
ReplyDeleteBerbagai variasi sambal ayam geprek pun hadir dengan gratis es teh yg esnya kadang juga ada "rasanya"
ReplyDelete