DRAMA: SEMIDANG BUKIT KABU
SEMIDANG BUKIT KABU
Emong Soewandi
ADEGAN I
Penunjuk Jalan, Pengembara dan Wanita masuk. Di tengah panggung Penunjuk Jalan berhenti dan melihat-lihat situasi. Pemain lain terus berjalan.
Penunjuk Jalan :
Sepertinya kita harus bermalam di sini.
Kecuali Penunjuk Jalan, semuanya duduk.
Pengembara I :
Tempat apa ini. Seperti pekuburan. Tanpa bunyi kokok ayam, atau gonggongan anjing sebagai tanda kalau kita dekat dengan pemukiman manusia.
Penunjuk Jalan :
Ini bukan pemukiman manusia.
Wanita :
Dengar saja, burung malam membuat hati jadi tak tentram. Tak ada tempat lain apa yang bisa jadi tempat istirahat yang nyaman. Apa memang harus kita bermalam di sini.
Penunjuk Jalan :
Tak ada tempat lagi. Kita juga tak mungkin melalui wilayah ini malam hari. Bahaya. Lagi pula kita sudah terlalu lelah.
Pengembara I :
Apa bahayanya?
Penunjuk Jalan :
Gelap.
Pengembara I :
Memangnya mengapa kalau gelap?
Penunjuk Jalan :
Bahaya.
Penunjuk Jalan berbaring.
Diam.
Pengembara I berdiri, lalu berkeliling memperhatikan situasi. Penyair masuk dan duduk di samping wanita.
Pengembara I :
Sepertinya di sini dulu ada kehidupan.
Tak ada yang memperdulikan. Penyair menyetem-nyetem tali gitar, Wanita menumbuk-numbuk sirih dan Penunjuk Jalan berbaring sambil mengisap rokok daun.
Pengembara I :
Banyak bekas yang menunjukkan kalau di sini dulu ada sekelompok manusia yang menjalani kehidupan. Mungkin sebuah talang. Benarkah itu, Penunjuk Jalan kami?
Wanita :
Hei, Penyair, mainkan gitarmu itu? Pengusir-usir sepi.
Kau dari mana?
Penyair :
Namaku Bentua.
Wanita :
Ya, Bentua. Kau dari mana? Apa kerjamu di tempat ini.
Diam.
Wanita :
Mainkan gitar kau tu.
Diam.
Penyair memetik gitar dan memainkan irama rejung.
Penunjuk Jalan :
Memang. Memang di sini ada putaran kehidupan. Coba kau dengar suara lesung dialu. Terbaui bukan harum perawan memetik kopi?
Diam.
Penunjuk Jalan :
Tapi bukan talang. Bukan.
Penunjuk Jalan bangun lalu berdiri.
Penunjuk Jalan :
Bukan.
Wanita :
Lalu?
Penunjuk Jalan :
Desa.
Wanita :
Desa? Apa maksudnya?
Penunjuk Jalan :
Ya, bahkan desa-desa. Sebuah marga yang besar. Tempat ini hanya salah satu desa dari marga itu.
Wanita :
Lalu?
Diam.
Penunjuk Jalan :
Desa-desa ini dan juga marga ini kemudian menuju senja kala. Padam dan... mati.
Tinggallah puing-puing yang menandakan bahwa mungkin dulu pernah andun ditegakkan di sini.
Musik rejung pelan.
Sunyi.
Suara kelintang dipukul di kejauhan.
Penunjuk Jalan :
Telah terjadi prahara.
Wanita :
Prahara apa?
Sunyi.
Bunyi kelintang dipukul satu-satu di kejauhan.
Penunjuk Jalan :
Ini Semidang Bukit Kabu.
Gong dipukul kencang satu kali.
Pengembara :
Semidang Bukit Kabu?
Penunjuk Jalan :
Ya, Semidang Bukit Kabu!
Sunyi.
Pengembara I :
Semidang Bukit Kabu? Aku pernah mendengar nama itu. Bukankah itu nama sebuah marga yang diserang dan dihabisi oleh segerombolan.... ne-nenek. Benarkah itu, Penunjuk Jalan. Coba, coba, ceritakanlah pada kami apa sebenarnya yang telah terjadi.
Penunjuk Jalan :
Nenek? Apa nenek itu?
Pengembara :
Maksudku ha...... Maksudku Sebie, Ninik.... Maksudku ha...ha....
Penunjuk Jalan :
Maksudmu harimau, ‘kan?
Pengembara :
Ya, harimau.
Sayup-sayup terdengar suara rejung dan ratapan. Semua menyimak.
Sunyi.
ADEGAN II
Suara Orang Hitam II :
(dalam irama rejung dan teriringi oleh irama gitar)
Ading... ading....
Ading Sembiyan
Dak kekinak ading di mano
Ading di mano, adingku sayang
Oi,
Ading... ading....
Oi, ading... adingku, sayang
Pengembara berdiri dan Penyair berdiri. Dua orang laki-laki berpakaian hitam yang selalu menundukkan wajah dan membawa obor masuk. Penunjuk Jalan memberikan tanda agar diam dan gitar dihentikan.
Orang Hitam II :
(berejung)
Ading Sembiyan
Oi, ading.... ading
Ading Sembiyan
Pengembara :
Ada yang datang.
Penyair :
Sepertinya mereka aku kenal.
Pengembara, Wanita dan Penyair bergerak ke belakang Penunjuk Jalan.
Diam.
Penunjuk Jalan :
Hoi, kalian berdua. Dari mana dan mau kemana?
Diam.
Penunjuk Jalan :
Apa kalian juga pengembara seperti kami, yang terpaksa bermalam di tempat kelam ini?
Orang Hitam I :
Kami sedang mencari ading kami.
Orang Hitam II terus bergerak dari ujung ke ujung panggung dengan gerakan perlahan dan gemulai.
Orang Hitam II :
(berejung)
Ading Sembiyan
Oi, ading.... ading sayang
Di mano Ading Sembiyan
Di mano Ading Sembiyan
Baliak, baliak, ading Sembiyan
Penunjuk Jalan :
Kemana adik kalian itu?
Orang Hitam I :
Ading kami la pegi tiga hari dak baliak-baliak.
Diam.
Orang Hitam II :
(memanggil) Ading Sembiyan!
Orang Hitam I :
Mungkin ada kalian nginak i ading kami?
Diam.
Penunjuk Jalan menggeleng.
Orang Hitam I :
Ada kalian melihat Ading Sembiyan kami?
Diam
Orang Hitam I :
Dak kalian lihat ading kami?
Diam
Orang Hitam I :
Kalian dak lihat Ading Sembiyan kami?
Orang Hitam I menuju penyair dan lama menatap. Penyair tertunduk.
Orang Hitam I :
Nama kau Bentua.
Pengembara dan Wanita bergerak cepat melindungi Penyair. Pengembara menghunuskan keris.
Orang Hitam I :
Ada kau lihat ading Sembiyan?
Diam
Orang Hitam I :
Ading kami Sembiyan pelita dusun. Perami hari, pacak hilang semua gundah.
Diam
Orang Hitam I :
(Agak mendesak) Dusun kami jauh. Jauh ke parak hutan, ke kaki gunung.
Dimana ading Sembiyan kami itu?
Orang Hitam II :
(berejung)
Ading Sembiyan
Oi, ading.... ading
Di mano Ading Sembiyan
Baliak, baliak, adingku sayang
Diam.
Penunjuk Jalan :
Tidak. Kami tidak tahu adik kalian.
Kami tidak tahu siapa yang kalian cari.
Diam.
Orang Hitam I :
Kalian bukan orang sini?
Penunjuk Jalan :
Bukan. Kami hanya orang yang kemalaman. Singgah untuk hilangkan penat. Besok kami akan terus. Kami akan ke Rindu Hati.
Diam.
Orang Hitam I :
Baiklah. Terima kasih ‘lah sudah berbaik hati menegur kami. Kini kami laju.
Penunjuk Jalan :
Lajulah.
Orang Hitam I :
Kami akan terus mencari ading kami. Mudah-mudahan betemu.
Penunjuk Jalan :
Mudah-mudahan.
Orang Hitam I :
(kepada Penyair) Namamu Bentua.
Orang Hitam II :
(berejung)
Ading... ading....
Ading Sembiyan
Dak kekinak Ading Sembiyan di mano
Ading di mano, adingku sayang
Oi,
Ading... ading....
Oi, ading... adingku, sayang
Orang Hitam keluar. Sementara Orang Hitam II terus mengulang-ulang rejungnya.
Penunjuk Jalan maju, sedangkan Pengembara, Wanita dan Penyair mundur perlahan, sambil menatap arah perginya Orang-orang Hitam.
Sunyi.
ADEGAN III
Wanita :
Siapa mereka?
Diam.
Wanita :
Siapa mereka?
Penunjuk Jalan :
Mereka tak akan menemukan adik mereka lagi. Di pinggir dusun perempuan malang itu mati.
Orang-orang dusun telah membunuhnya.
Wanita :
Siapa mereka? (kepada Penyair) Mengapa mereka tahu namamu?
Penunjuk Jalan :
Mereka orang-orang, ah...., bukan orang-orang.
Wanita :
Bukan orang-orang bagaimana? Maksudmu mereka bukan manusia? Mereka adalah hantu, jin atau sesuatu yang pokoknya bukan manusia, begitu?
Penunjuk Jalan :
Sst, sst. Bukan. Bukan itu. Mereka adalah... mereka adalah.... Ah, mereka adalah pejalan gelap dari belantara kelam.
Wanita :
Siapa?
Dan mengapa mereka selalu menundukkan wajah. Seperti ada pada wajah mereka yang ingin disembunyikan dari mata manusia?
Diam.
Pengembara :
Bukankah memang ada manusia yang selalu menunduk, karena mereka menyembunyikan sesuatu yang merupakan tanda bahwa mereka sebenarnya bukan manusia.
Hei?
Diam
Penunjuk Jalan :
Mereka adalah mereka. Jangan tanyakan siapa mereka. Tempat ini bukan tempat yang tepat untuk menjawab siapa mereka sebenarnya.
Diam.
Pengembara :
Mengapa orang-orang membunuh adiknya?
Penunjuk Jalan :
Tak seluruh kejahatan dan kebaikan memiliki alasan, bukan?
Ketika kejahatan terjadi, maka saat itu juga sisi kebaikan akan hadir. Demikian juga sebaliknya, bukan?
Pengembara :
Apa kesalahannya hingga dia harus dibunuh?
Penunjuk Jalan :
Mungkin orang-orang dusun melihatnya sebagai kebaikan dengan membunuh perempuan itu. Tapi perempuan itu, keluarga dan kerabatnya melihatnya sebagai kejahatan.
Pengembara :
Di mana kejahatannya? Dan di mana kebaikannya?
Diam.
Penunjuk Jalan :
Kita tidak mengerti siapa yang dihadapi ini? Dan baiknya kita berhati-hati dalam mengambil keputusan.
Wanita :
Kami pun tak mengerti dengan apa yang kau maksud.
Penunjuk Jalan :
Maksudku, keputusan atas semua apa yang terjadi.
Diam.
Wanita :
Peristiwa apa yang sebenarnya telah terjadi?
Penunjuk Jalan :
Semoga di antara kita di sini tak seorang pun yang memiliki hubungan darah dengan manusia yang berasal dari Semidang Bukit Kabu.
Penyair :
Mengapa?
Penunjuk Jalan :
Sebuah dendam yang tak akan berhenti membuat mereka bisa mencium dan melihat semua keturunan musuh mereka.
Diam
Penunjuk Jalan :
Semidang Bukit Kabu!
Semidang Bukit Kabu, hilang di balik kabut. Lalu kini para keturunannya, bahkan sisa orang-orang yang mengalami prahara itu telah bertebaran di Kepahiang, Nanti Agung, Karang Indah, Talang Karet, Taba Mutung dan Padang Lekat. Mereka telah pergi dengan ketakutan dan... mereka akan selalu hidup dalam kecemasan.
Gong dipukul dua kali.
Penunjuk Jalan :
Harimau! Harimau! Harimau! Selalu akan mereka temui!
Sunyi.
Penunjuk Jalan :
Bersiaplah.
Kita akan mengikuti sebuah peristiwa yang telah membekaskan puing-puing keangkaraan, lalu jadi prasasti yang mengabadikan runtuhnya kesombongan manusia.
Penunjuk Jalan keluar. Pengembara, Wanita dan Penyair pindah ke ketinggian dan menatap semua yang akan terjadi di atas panggung.
Wanita :
Apakah mereka memang selalu menunduk jika bertemu orang lain?
ADEGAN IV
Orang-orang kampung yan dipimpin oleh seorang Ginde masuk sambil memperhatikan kiri-kanan.
Orang Kampung I :
Apakah kita cukup kuat untuk melawannya.
Orang kampung II :
Pasti. Kita pasti akan mengalahkannya.
Orang Kampung I :
Ya, kita pasti mengalahkannya. Tapi, ingat! Hanya akal dan jebakan yang kita perlukan untuk melawannya.
Ginde :
Suaro kaba gemetar. Cak ke gerot ngan kaba tulah.... Udimlah kaba.
Orang Kampung II :
Ginde, mengapa kau begitu bernafsu mau membunuh harimau ini? Padahal dia belum pernah menyerang kita atau ternak-ternak kita.
Orang Kampung III :
Ya, mengapa, Ginde? Kasih kami penjelasan.
Ginde:
Penjelasan apo titu!
Orang Kampung IV :
Ah, kau selalu saja keras kepala. Pantas saja dirimu perawan tua.
Ginde:
Udimlah kaba meridat. Kucucuak tombak nih ke kaba kelo.
Orang Kampung I :
Dulu kaba nido galak ngan aku, Ginde.
Ginde :
Sapo pulo ndak ngan kaba. Kaba tu karut.
Orang Kampung II :
Gerot ngan kaba tulah, Ginde.
Ginde:
Ya, aulah pulo. Nido gerot nido aku jadi ginde.
Orang Kampung III :
(Setengah berbisik) Itu! Itu dia!
Ginde :
Tunggu! (menahan Orang I dan II). Tunggu dia memakan umpan kita. Tunggu dia masuk dalam jebakan. Tunggu. Tunggu.
Ingat! Jika luka, dia akan lebih berbahaya lagi.
Tunggu. Sabar.
Diam. Seluruh tubuh orang kampung menegang dan bergetar hebat.
Ginde :
Ndah diade ndah keape
Bekujung angin derudung bunging
Kelap tuape debada puyang
Sedie rupe rupe bekujur
Ndah diade berure darah
Ndah keape dedie nyawa
Tetak si belang sudahka sudah
Hak! Hak! Hak!
Salah seorang orang kampung melepaskan tembakan dari senapan lantak.
Orang Kampung III :
(Teriakan keras) Sekarang!
Orang-orang menyerang Sembiyan dengan serentak menusukkan tombak ke tubuhnya. Kecuali Orang Kampung I, orang-orang serentak pula menarik tombak, lalu mundur beberapa langkah dengan tetap bersiap.
Diam.
Orang Kampung I menarik tombaknya dengan cepat.
Orang Kampung I :
(berteriak) Matiiiii!
Orang Kampung :
Dia sudah mati?
Orang Kampung II :
Mati?
Orang-orang bergerak mengelililingi Sembiyan dengan senjata siap di tangan.
Orang Kampung I :
Ya! Mati!
Orang Kampung :
Kita menang?
Orang Kampung :
Yak!
Orang Kampung :
Kita menang! Kito menang!
Orang-Orang :
Yo! Yo! Yo!
Penyair masuk dengan cepat.
Penyair :
Hoi, apa yang telah terjadi!
Orang-orang tidak memperdulikan teriakan Penyair. Orang-orang terus bergerak memutari panggung, sambil berteriak-teriak.
Penyair ke tengah panggung dan berada di antara orang-orang.
Penyair :
Hoi! Hoi! Apa yang telah terjadi!
Orang Kampung I :
Kita berhasil membunuh musuh!
Orang Kampung II :
Musuh yang sudah lama kita incar!
Orang Kampung III :
Kita intai, kita kepung, lalu kita serang dan....
Orang-Orang :
Menaaaang!
Orang-orang berhenti.
Orang Kampung :
Kita apakan bangkai mahluk musuh manusia ini?
Orang Kampung IV :
Ya, kita apakah nenek ini?
Orang Kampung V :
Nenek? Siapa nenek? Tidak ada nenek! Ini harimau!
Orang-Orang :
Ya! Harimau! Harimau! Harimau! Harimau!
Penyair :
Mengapa? Mengapa kalian membunuhnya!?
Orang-orang terdiam, lalu perlahan bergerak dalam lingkaran besar mengelilingi Penyair dan mengacungkan tombak ke arahnya.
Orang Kampung VI :
Mengapa kami membunuhnya? Mengapa kami membunuh harimau itu?
Apa kami harus menunggu dia membunuh kami, menyerang ternak kami dan mengancam anak-anak kami!
Penunjuk Jalan masuk dengan cepat dan melindungi Penyair.
Penunjuk Jalan :
Maaf, maaf, kami hanya orang yang kebetulan lewat di desa ini.
Penyair :
Tapi kami telah terlibat dalam kesaksian sebuah peristiwa yang terang kami harus mendapatkan jawabannya.
Orang Kampung I :
Jawaban apa! Apakah harus dijawab, jika sebuah ancaman kehidupan hadir di depan kami, maka harus menolaknya.
Apakah butuh alasan untuk menolaknya!
Orang-orang bergerak perlahan memperkecil lingkaran mengelilingi Penunjuk Jalan dan rombongannya.
Orang Kampung :
Siapa kalian?
Penunjuk Jalan :
Baiklah. Kami berlepas tangan dari apa yang kalian perbuat. Tapi..., izinkan kami menjadi saksi untuk kelak mungkin dapat menjadi terangnya sebuah kekaburan dan kemusykilan sejarah.
Penunjuk Jalan membawa kelompoknya keluar dengan mundur perlahan-lahan. Orang-orang kembali bergerak dan bersorak-sorak.
Orang Kampung II :
Potong leher harimau ini. Tetak lehernyo!
Potong leher harimau ini.
Orang kampung II memotong-motong tubuh Sembiyan. Setiap kali parangnya menetak tubuh Sembiyan, dia menarik kain panjang yang berwarna merah.
Orang kampung III bergerak mengambil kain merah itu dan menggenggamnya, lalu dibawa ke tempat yang tinggi. Di ketinggian kain merah tersebut diacungkan
Orang Kampung III :
Tusuk ke tombak dan pancangkan di gerbang dusun. Agar jadi peringatan bagi mereka semua, bahwa kita, manusia, adalah penguasa. Mereka harus tahu, tanah, air, ladang dan hutan adalah penjejakan manusia.
Panggung kosong.
Sunyi
Gitar tunggal irama rejung.
Sayup-sayup suara rejung memanggil Sembiyan.
Orang Hitam II masuk dengan wajah tegang menahan marah.
Orang Hitam II :
Ading Sembiyan mati!
Ading Sembiyan mati dibunuh orang-orang Semidang Bukit Kabu!
Ading Sembiyan mati!
Orang-orang masuk dengan gerak cepat.
Wanita Hitam III :
Mati? Apa mati itu?
Wanita Hitam IV :
Mana Sembiyan? Mana Sembiyan?
Wanita Hitam V :
Bagaimana hasil pencarianmu? Mana Sembiyan?
Orang Hitam II :
Sembiyan mati!
Wanita Hitam VI :
Mati? Mati bagaimana?
Orang Hitam II :
Dibunuh orang Semidang Bukit Kabu!
Satu orang wanita tua masuk.
Wanita Tua :
Mana mayatnya!
Orang Hitam II :
Tidak ada!
Wanita Tua :
Sembiyan mati?
Orang Hitam II :
Ya!
Wanita Tua :
Dan tak ada mayatnya?
Orang Hitam II :
Ya!
Wanita Tua :
Jadi apa yang bisa jadi pertanda bahwa dia benar-benar telah mati?
Orang Hitam II :
Hanya namanya yang pulang.
Wanita Tua :
Namanya? Namanya yang hanya pulang.
Wanita Hitam II masuk sambil berteriak histeris.
Wanita Hitam II :
Tidak! Tidak boleh hanya namanya yang pulang. Mana tubuhnya. Kalau mati mana pusaranya. Kemana adik tercintaku itu!
Orang Hitam II :
Tidak ada! Tidak ada tubuhnya. Tidak ada pusaranya.
Tidak ada adik tercinta!
Wanita Hitam II :
Harus ada! Harus ada! Sembiyan pelita dusun. Sembiyan jiwa kita.
Wanita Hitam III :
Ya, Sembiyan pelita dusun. Mana tubuhnya? Mana pusaranya!
Orang Hitam II :
Tidak ada!
Diam.
Wanita Hitam II :
Semidang Bukit Kabu harus jadi tubuhnya. Semidang Bukit Kabu harus jadi pusaranya.
Wanita Tua:
Kau! (kepada Orang Hitam II) Katakan, bagaimana Sembiyan mati!
Orang Hitam II :
Tubuhnya dikoyak tombak dan pedang. Kepalanya dipasang di gerbang dusun. Dagingnya ditumbuk. Kulitnya dijadikan gendang.
Wanita Tua :
Tubuhnya dikoyak tombak dan pedang?
Kepalanya dipasang di gerbang dusun?
Dagingnya ditumbuk?
Kulitnya dijadikan gendang?
Orang Hitam II :
Yaaaaa...!
Orang Hitam I :
Orang Semidang Bukit Kabu telah membunuh ading Sembiyan tanpa maaf.
Orang Hitam II
Wanita Hitam II :
Itu penghinaan.
(mengeras) Itu penghinaan!
(semakin keras) Itu penghinaan!
Orang-Orang Hitam :
Ya! Itu penghinaan!
Wanita Hitam III :
Perang!
Wanita Hitam II :
Ya, perang!
Jika tidak perang, maka mungkin besok adalah aku, kau atau kita semua akan terus menerima penghinaan ini.
Diam. Semua orang hitam melihat kepada Wanita tua untuk meminta pendapatnya.
Wanita Tua :
Bawakan aku pedupaan.
ADEGAN VI
Wanita Tua bergerak ke tengah panggung. Orang Hitam I keluar dan masuk kembali membawa pedupaan dan meletakkannya di depan wanita. Wanita Tua membaca mantera yang diiringi dengan suara-suara wanita yang bersenandung dalam nada tinggi, irama ratapan Serawai.
Orang-orang hitam lainnya duduk mengelilingi wanita tua.
Orang Hitam I :
Assalamu’alaikum
Assalamu’alaikum
(disusul irama ratapan kematian)
Bismillah di mule jadi
Bismillah di pangkal kate
La kami kini besedih
Kate la lengit sudah abis di tamat abis
Diam
Wanita Tua :
Selarak semuni sempai sirutan
Dang tegak kelam dang lelap benterang
Serinap serima sepayang sirutan
Lalu terang lalu kelam lalu malam
Bertajuk aku berkembang rumpang bertarap
Orang-orang hitam sambil duduk menggerakkan tangannya dengan gerakan adun.
Orang-orang Hitam :
Selarak semuni sempai sirutan
Serinap serima sepayang sirutan
Bertajuk aku berkembang rumpang bertarap
Hum... hum... hum... hum...
Selarak semuni sempai sirutan
Serinap serima sepayang sirutan
Bertajuk aku berkembang rumpang bertarap
Hum... hum... hum... hum...
Orang-orang Hitam perlahan menundukkan badan dan bersujud.
Orang-Orang Hitam :
(mengikuti mantera yang diucapkan Wanita Tua) Hum.... Hum.... Hum.... Hum....
Wanita Tua :
Dang Dempo Dang Semidang nan diempunya kau
Tak kami panggil maka tak datang engkau
Tak kami maksud maka tak tujuan engkau
Lalu kabar pada kami, lalu bimbang
Lalu bimbang pada kami, lalu pasti
Lalu pasti pada kami, lalu datang
Lalu datang engkau pada kami
Panggil kupanggil Sembiyan namamu
Sembiyan kupanggil Sembiyan untuk menjawab aku
Kelam buka pintumu
Malam teranglah untuk didatang
Antar Sembiyan
Antar Sembiyan
Padaku.
Padaku.
Datang, Sembiyan tak berkawal
Datang, Sembiyan tak beraral
Lalu selarak semuni sempai sirutan
Lalu serinap serima sepayang sekitan
(Teriakan) Kelam buka pintumu!
Malam teranglah untuk didatang!
Antar Sembiyan!
Antar Sembiyan!
Selarak semuni sempai sirutan
Serinap serima sepayang sekitan
Orang-orang hitam diam.
Perlahan kelintang mulai ditalu. Orang-orang hitam bangun dan pindah duduk di tepi belakang panggung. Wanita Tua dan disusul Wanita-Wanita lain berdiri dan menarikan tari andun dengan perlahan.
Sunyi.
Sembiyan perlahan masuk diiringi dua orang penari dengan gerakan gemulai dan lelah.
Semua orang beku, kecuali dua penari yang menari di tengah panggung.
Suasana gelap.
Sembiyan :
Darahku tumpah direbut diam-diam malam.
Mereka yang menyebut diri penuh adab dan adat.
Telah mereka pertegas permusuhan, tentang banyak dendam yang satu persatu harus dituntaskan.
Telah mereka jadikan diriku tempat melepaskan kesumat.
Telah mereka usaikan hidupku!
Lalu harus pula dendamku kini ditunaikan.
Akulah wanita cindaku dari hutan yang gelap.
Akulah cindaku yang berumah di belantara yang perawan.
Aku adalah cindaku!
Mahluk batas antara gelap dan terang.
Dunia yang terintai oleh dunia manusia.
Tempat manusia lepaskan semua curiganya.
Tempat manusia salahkan kegelapan sebagai asal semua ketidakbenaran
Dunia yang dicemasi manusia, hingga harus dihancurkan, seperti mereka telah menghancurkan seorang Sembiyan.
Diam
Sembiyan :
Ya, Sembiyan namaku.
Dan masih Sembiyan namaku yang pulang ke rumah, tanpa didampingi tubuh dan jiwaku lagi.
Karena kepalaku telah terpancang di bibir dusun.
Kulitku telah mereka jadikan genderang perang.
Dagingku telah mereka tumbuk sebagai bubur yang hamburkan di debuan tanah sepanjang dusun.
Lalu jadi wajah mereka yang menyebut diri beradab.
Sudah mereka kupas tanah tempat kami hidup.
Habis semua anggrek hiasan rambutku sudah mereka petik.
Mereka gali bumi mengambil semua emas dan perak perhiasanku.
Lalu kini mereka telah binasakan aku.
Oh, tak tahukah mereka bagaimana begitu aku dirindukan untuk pulang, dan berkumpul dalam rumahku, lalu kubernyanyi dan bercerita tentang alangkah indahnya dunia ini.
Tapi, kini aku telah mati.
Aku telah mati.
Semua orang hitam berdiri dan menari andun di belakang Sembiyan dan wanita.
Penyair masuk.
Musik kelintang berhenti.
Semua pemain beku.
Penyair :
Sembiyan!
Sembiyan berhenti menari kemudian berlari mendekati Penyair. Di depan Penyair, Sembiyan berhenti.
Sembiyan :
Bentua! Bentua!
Oh, Penyairku Yang Sepi.
Sembiyan mundur satu langkah. Penyair maju satu langkah.
Penyair :
Sembiyan!
Penyair maju satu langkah dan Sembiyan mundur satu langkah.
Sembiyan :
Bentua! Bentua! Tuanku yang setia!
Sembiyan mundur satu langkah dan Penyair maju satu langkah.
Penyair :
Kabarkan padaku, Sembiyan. Kabarkan.
Penyair maju satu langkah. Sembiyan berbalik dan berlari kecil ke sudut.
Sembiyan :
Oh, Bentua, penyelamat hidupku di waktu kecil.
Aku telah datang padamu. Tapi kau tak kutemui.
Aku tersesat di ujung dusun.
Di batas antara kau dan aku harus bertemu.
Penyair :
Sembiyan, aku pergi ke kalangan ketika kau datang.
Mengapa kau datang tanpa pada waktu yang kita janjikan, Sembiyan?
Sembiyan mendekati Penyair. Penyair bersimpuh. Sembiyan duduk di depan Penyair.
Sembiyan :
Bentua. Telah kau pelihara aku dari kecil. Kau selamatkan aku dari jebakan orang-orang dusunmu. Sejak itu aku selalu ingin bersamamu, bahkan mungkin aku dapat menjagamu.
Diam.
Sembiyan :
Rindu lalu memaksa dan membawa langkahku menemuimu, oh Penyairku.
Penyair :
Tapi kemudian kau sendiri yang tak dapat menjaga dirimu sendiri, Sembiyan?
Sembiyan :
Orang-orang dusun telah membunuhku, ketika aku begitu ingin bertemu dengan dirimu.
Bentua.
Gitar tunggal dalam irama rejung dipetik pelan.
Penyair berdiri dan menatap langit.
Sunyi.
Penyair :
Kau datang ketika bulan belum purnama.
Sembiyan :
Aku ingin jumpa dirimu. Menemani dirimu, seorang bujang tua, tengah sendiri di huma menunggu padi masak dan durian jatuh.
Penyair :
Kau tak memberi tanda, Sembiyan.
Tujuh gaung suaramu dan tiga elang terbang rendah.
Gong dipukul perlahan tujuh kali. Serentak dengan pukulan gong pertama, tiga orang hitam dan dua penari bergerak dengan gerakan burung terbang dan berpindah posisi.
Penyair :
Tak kau beri tanda itu.
Atau senandung tentang rindu kita.
Irama rejung “Pucuk Pauh” dipetik perlahan.
Penyair :
Tak ada tanda kau berikan, kekasihku.
Atau... suaramu memanggilku dari kejauhan.
Sembiyan berdiri cepat.
Sembiyan :
(Memanggil) Bentuaaaaa!
Sembiyan bergerak ke sisi panggung dengan gerak laku yang manja.
Sembiyan :
(Memanggil) Bentuaaaaa!
Diam.
Sembiyang tersenyum hambar, kemudian perlahan mendekati Penyair lalu kembali bersimpuh di depannya .
Penyair :
Tak kudengar panggilan itu.
Sembiyan :
Rindu yang memanggil, wahai Penyair.
Diam.
Sembiyan :
Dan kini aku telah tak ada lagi, Bentua.
Oh, Bentua, siapa yang akan melindungimu dan ladangmu. Dan tentu kau akan sepi, bukan Bentua?
Aku tak ada lagi, Bentua. Aku tak ada lagi.
Sunyi.
Penyair :
Tapi mengapa kau, Sembiyan? Mengapa kau?
Mereka pasti salah. Mereka pasti salah bunuh. Bukan kau yang harus dibunuh. Bukan kau. Aku tak tahu siapa yang akan mereka bunuh, tapi pasti bukan kau. Bukan kau.
Bukan Sembiyan.
Bukan Sembiyan, yang telah lama kupelihara dan kujaga sejak dia masih seekor kucing kecil dan manis. Yang dulu selalu merajuk dan mengusap-usapkan bulu tubuh yang lembut di kakiku.
Bukan.
Bukan Sembiyan.
Mereka pasti salah. Mereka salah.
Mereka salah.
Pasti....
Sunyi.
Sembiyan :
Bentua, Tuanku yang setia. Pergilah kau dari dusun. Pergilah jauh. Pergilah.
Penyair :
Mengapa, Sembiyan?
Diam.
Sembiyan :
Orang-orang dusunku pun tak rela aku mati, Bentua.
Pergilah, Bentua.
Selamatkan dirimu. Bawa dirimu keluar dari Semidang Bukit Kabu.
Pergi.
Pergi.
Pergi, Bentua.
Pergi dari Semidang Bukit Kabu.
Dan ini terakhir kalinya kau melihat diriku dalam sosok yang yang lain. Sebenarnyalah aku telah mati, Bentua.
Aku telah mati
Aku telah mati.
Penyair :
Sembiyan.
Sembiyan :
Pergi! Pergi, Bentua.
Penyair :
Sembiyan.
Sembiyan membelakangi Penyair. Penyair mencoba mendekati Sembiyan, namun tak tergapai, seperti ada yang mendorongnya.
Penyair :
Sembiyan! Sembiyaaaan!
Sembiyan mundur perlahan ke tengah panggung.
Sunyi.
Kelintang kembali dipukul perlahan. Sembiyan kembali menari andun tanpa memperdulikan Penyair.
Orang-orang Hitam mulai bergerak kembali menari, lalu mengelilingi Sembiyan.
Musik henti disusul kelintang dipukul satu-satu dengan perlahan. Orang-orang berhenti menari dan kemudian berbaris.
ADEGAN VIII
Empat orang masuk membawa keranda, yakni berupa selembar kain putih yang dipegang pada masing-masing sudutnya di atas kepala.
Musik henti.
Orang-Orang Hitam :
Sembiyan.
Sembiyan.
Sembiyan.
Orang-orang Hitam perlahan melingkari Wanita Hitam.
Wanita Hitam I :
Kita harus membalas.
Kita harus membalas.
Diam.
Wanita Hitam I :
(Keras) Kita harus membalas!
(Makin keras) Kita harus membalas!
(Sangat keras dan panjang) Kita harus membalas!
Orang-Orang Hitam :
Kita harus membalas!
Wanita Hitam I :
Bunuh manusia!
Wanita Hitam I :
Bunuh manusia!
Orang-Orang Hitam :
Bunuh manusia! Bunuh manusia!
Wanita Hitam III :
Bunuh manusia!
Wanita Hitam II :
Selarak semuni sempai sirutan
Serinap serima sepayang sekitan
Hum....!
Wanita Hitam IV :
Hancurkan dunia manusia!
Suara Orang I, II, III dan IV bersahutan dan berteriak-teriak.
Wanita Tua :
Pukul canang! Berkumpullah semua!
Bunyi canang atau gong dipukul dengan kencang berulang-ulang. Wanita bergerak dengan cepat ke tepi depan penonton dan para pemain lainnya lari ke bawah panggung di depan penonton.
Wanita Tua :
Manusia!
Manusia!
Manusia!
Dengar!
Manusia!
Simpan kata ini dalam dendammu!
Dia telah membunuhmu!
Dia telah membunuhmu!
Kata ini telah membunuhmu!
Manusia!
Manusia!
Terakan kata ini di pedangmu!
Terakan kata ini di suaramu!
Tulis kata ini di tenagamu!
Ukir kata ini di cakarmu!
Kata ini telah membunuhmu!
Manusia!
Manusia!
Manusia!
Simpan kata ini dalam darahmu!
Simpan kata ini dalam darahmu!
Lalu hancurkan!
Hancurkan!
Robohkan kesombongan kata!
Kata ini telah begitu angkuh!
Kata ini adalah manusia!
Manusia!
Manusia!
Manusia!
Hancurkan manusia sekarang!
Kita bergerak sekarang ke Semidang Bukit Kabu!
Kita bergerak ke Semidang Bukit Kabu!
Semidang Bukit Kabu! Semidang Bukit Kabu!
Orang-orang Hitam :
Semidang Bukit Kabu! Semidang Bukit Kabu!
Wanita Tua:
Rebut Sembiyan dalam darah mereka! Rebut!
Orang-Orang Hitam :
Rebut! Rebut!
Suara :
Hum!
Mengapa, Sembiyan?
Diam.
Sembiyan :
Orang-orang dusunku pun tak rela aku mati, Bentua.
Pergilah, Bentua.
Selamatkan dirimu. Bawa dirimu keluar dari Semidang Bukit Kabu.
Pergi.
Pergi.
Pergi, Bentua.
Pergi dari Semidang Bukit Kabu.
Dan ini terakhir kalinya kau melihat diriku dalam sosok yang yang lain. Sebenarnyalah aku telah mati, Bentua.
Aku telah mati
Aku telah mati.
Penyair :
Sembiyan.
Sembiyan :
Pergi! Pergi, Bentua.
Penyair :
Sembiyan.
Sembiyan membelakangi Penyair. Penyair mencoba mendekati Sembiyan, namun tak tergapai, seperti ada yang mendorongnya.
Penyair :
Sembiyan! Sembiyaaaan!
Sembiyan mundur perlahan ke tengah panggung.
Sunyi.
Kelintang kembali dipukul perlahan. Sembiyan kembali menari andun tanpa memperdulikan Penyair.
Orang-orang Hitam mulai bergerak kembali menari, lalu mengelilingi Sembiyan.
Musik henti disusul kelintang dipukul satu-satu dengan perlahan. Orang-orang berhenti menari dan kemudian berbaris.
ADEGAN VIII
Empat orang masuk membawa keranda, yakni berupa selembar kain putih yang dipegang pada masing-masing sudutnya di atas kepala.
- Sembiyan keluar lalu masuk kembali mendahului keranda, kemudian berjalan perlahan paling depan.
- Satu orang penari mengambil pedupaan, menunggu keranda lewat, dan ketika hampir tiba di depannya berjalan mendahului.
- Penari menyambut keranda kemudian terus menari hingga keluar.
- Penyair menyusul masuk membawa payung, lalu mengiringi dan memayungi keranda.
Musik henti.
Orang-Orang Hitam :
Sembiyan.
Sembiyan.
Sembiyan.
Orang-orang Hitam perlahan melingkari Wanita Hitam.
Wanita Hitam I :
Kita harus membalas.
Kita harus membalas.
Diam.
Wanita Hitam I :
(Keras) Kita harus membalas!
(Makin keras) Kita harus membalas!
(Sangat keras dan panjang) Kita harus membalas!
Orang-Orang Hitam :
Kita harus membalas!
Wanita Hitam I :
Bunuh manusia!
Wanita Hitam I :
Bunuh manusia!
Orang-Orang Hitam :
Bunuh manusia! Bunuh manusia!
Wanita Hitam III :
Bunuh manusia!
Wanita Hitam II :
Selarak semuni sempai sirutan
Serinap serima sepayang sekitan
Hum....!
Wanita Hitam IV :
Hancurkan dunia manusia!
Suara Orang I, II, III dan IV bersahutan dan berteriak-teriak.
Wanita Tua :
Pukul canang! Berkumpullah semua!
Bunyi canang atau gong dipukul dengan kencang berulang-ulang. Wanita bergerak dengan cepat ke tepi depan penonton dan para pemain lainnya lari ke bawah panggung di depan penonton.
Wanita Tua :
Manusia!
Manusia!
Manusia!
Dengar!
Manusia!
Simpan kata ini dalam dendammu!
Dia telah membunuhmu!
Dia telah membunuhmu!
Kata ini telah membunuhmu!
Manusia!
Manusia!
Terakan kata ini di pedangmu!
Terakan kata ini di suaramu!
Tulis kata ini di tenagamu!
Ukir kata ini di cakarmu!
Kata ini telah membunuhmu!
Manusia!
Manusia!
Manusia!
Simpan kata ini dalam darahmu!
Simpan kata ini dalam darahmu!
Lalu hancurkan!
Hancurkan!
Robohkan kesombongan kata!
Kata ini telah begitu angkuh!
Kata ini adalah manusia!
Manusia!
Manusia!
Manusia!
Hancurkan manusia sekarang!
Kita bergerak sekarang ke Semidang Bukit Kabu!
Kita bergerak ke Semidang Bukit Kabu!
Semidang Bukit Kabu! Semidang Bukit Kabu!
Orang-orang Hitam :
Semidang Bukit Kabu! Semidang Bukit Kabu!
Wanita Tua:
Rebut Sembiyan dalam darah mereka! Rebut!
Orang-Orang Hitam :
Rebut! Rebut!
Suara :
Hum!
Semua orang Hitam mendadak diam.
Wanita Tua :
(suara rendah dan dalam) Jangan bawa nurani
Tinggalkan hati
Adalah dendam
Adalah kemarahan
Dalam diri kini
Adalah dendam
Adalah kemarahan
Dalam darah kini
Wanita Tua :
(suara rendah dan dalam) Jangan bawa nurani
Tinggalkan hati
Adalah dendam
Adalah kemarahan
Dalam diri kini
Adalah dendam
Adalah kemarahan
Dalam darah kini
Orang-orang Hitam :
(Mengguman) Dendam. Marah. Darah. Dendam. Marah. Darah.
Semidang Bukit Kabu.
Semidang Bukit Kabu.
Hum....!
Perlahan-lahan orang-orang Hitam lalu naik kembali ke panggung kemudian menghentak-hentakkan kaki ke lantai panggung dan bergerak keluar sambil terus berguman. Lalu keluar.
Sunyi.
Orang-orang hitam muncul kembali dengan suara ribut dan dengan jumlah yang lebih banyak dari sisi panggung lain dan keluar.
Sunyi.
Orang-orang hitam muncul kembali dengan suara ribut dan dengan jumlah yang lebih banyak lagi dari sisi panggung lain, lalu keluar ke sisi lainnya.
ADEGAN IX
Suara orang-orang :
Harimau! Harimau! Harimau!
Orang-orang kampung masuk dalam langkah mundur dengan wajah ketakutan. Dengan jatuh bangun keluar panggung.
Beberapa orang pembawa tandu masuk dengan berlari kecil, lalu keluar juga dengan jatuh bangun.
Disusul kemudian beberapa orang memegang senjata keris dan tombak masuk dengan langkah mundur, dengan wajah yang juga menunjukkan ketakutan.
Orang I :
Cepatlah putuskan!
Ginde :
Ya, akan kita putuskan.
Orang II :
Ya, cepatlah, Ginde! Apa harus menunggu ada yang mati lagi.
(Penuh ketakutan). Ooh, tidak, tidaaak, aku tidak sanggup lagi. Tidaaaak!
Ginde :
Ah, apa yang harus kuputuskan!
Orang I :
Ya putuskan apa yang belum pernah diputuskan.
Ginde :
Perang?
Orang I :
Perang? Sudah kita putuskan. Tapi bukankah mereka telah selalu memenangkannya.
Orang II :
Dan tak ada guna mengalah. Mereka telah jadi mahluk tanpa maaf.
Orang III :
Mereka bergerak tanpa sembunyi. Tidak lagi mengintai. Mereka menyerbu ke tiap desa di Semidang Bukit Kabu! Bangkai manusia terkapar di mana-mana dengan luka menganga dan mata yang membelalak penuh ketakutan.
Orang IV :
Darah! Darah! Darah di mana-mana. Kulit, daging dan rambut manusia tak berkubur. Karena siapa yang mau menguburnya.
(Mengguman) Dendam. Marah. Darah. Dendam. Marah. Darah.
Semidang Bukit Kabu.
Semidang Bukit Kabu.
Hum....!
Perlahan-lahan orang-orang Hitam lalu naik kembali ke panggung kemudian menghentak-hentakkan kaki ke lantai panggung dan bergerak keluar sambil terus berguman. Lalu keluar.
Sunyi.
Orang-orang hitam muncul kembali dengan suara ribut dan dengan jumlah yang lebih banyak dari sisi panggung lain dan keluar.
Sunyi.
Orang-orang hitam muncul kembali dengan suara ribut dan dengan jumlah yang lebih banyak lagi dari sisi panggung lain, lalu keluar ke sisi lainnya.
ADEGAN IX
Suara orang-orang :
Harimau! Harimau! Harimau!
Orang-orang kampung masuk dalam langkah mundur dengan wajah ketakutan. Dengan jatuh bangun keluar panggung.
Beberapa orang pembawa tandu masuk dengan berlari kecil, lalu keluar juga dengan jatuh bangun.
Disusul kemudian beberapa orang memegang senjata keris dan tombak masuk dengan langkah mundur, dengan wajah yang juga menunjukkan ketakutan.
Orang I :
Cepatlah putuskan!
Ginde :
Ya, akan kita putuskan.
Orang II :
Ya, cepatlah, Ginde! Apa harus menunggu ada yang mati lagi.
(Penuh ketakutan). Ooh, tidak, tidaaak, aku tidak sanggup lagi. Tidaaaak!
Ginde :
Ah, apa yang harus kuputuskan!
Orang I :
Ya putuskan apa yang belum pernah diputuskan.
Ginde :
Perang?
Orang I :
Perang? Sudah kita putuskan. Tapi bukankah mereka telah selalu memenangkannya.
Orang II :
Dan tak ada guna mengalah. Mereka telah jadi mahluk tanpa maaf.
Orang III :
Mereka bergerak tanpa sembunyi. Tidak lagi mengintai. Mereka menyerbu ke tiap desa di Semidang Bukit Kabu! Bangkai manusia terkapar di mana-mana dengan luka menganga dan mata yang membelalak penuh ketakutan.
Orang IV :
Darah! Darah! Darah di mana-mana. Kulit, daging dan rambut manusia tak berkubur. Karena siapa yang mau menguburnya.
Orang I :
Mereka hanya inginkan melihat manusia berdarah! Dan mati!
Orang II :
Tak ada dinding yang kuat dan kokoh yang bisa menahan mereka. Tidak ada. Tidak ada! Bahkan mungkin dinding besi pun bisa mereka koyak!
Orang III :
Kemana kita harus bersembunyi! Bahkan akan kemana kita pergi, mereka sendiri sudah bisa menduga. Kemana! Kemana!
Orang IV :
Mereka membunuh penuh dendam. Mereka bergerak dalam kelompok besar! Mengeroyok satu orang manusia dan mencabik-cabiknya.
Orang I :
Mereka kepung seorang manusia. Mereka kelilingi. Lalu bergetar seluruh tubuh orang itu dalam ketakutan yang tak terbatas-batas. Dan... ketika kematian karena ketakutan hampir mencekik lehernya, maka... belasan ekor yangg mengangakan rahang dan seringaikan taring serentak menerkam dan merobek-robek tubuhnya.
Orang III :
Mereka membunuh tanpa maaf!
Orang II :
Bohong! Bohong! Bohonglah yang mengatakan itu adalah kebohongan!
Suara-Suara :
Harimau! Harimau!
Orang-orang berkumpul, posisi bersiap dalam lingkaran saling membelakangi.
Suasana tegang.
Orang II :
Apakah ini ada gunanya?
Ginde keluar dari lingkaran.
Ginde :
Tenang! Tenang!
Orang III :
Tenang! Tenang katamu!
Ginde :
Ya, tenang. Tenang.
Orang II :
Aku kuatir bahkan lidahmu tak lagi cocok dengan isi kepalamu!
Orang I :
Kau lihat! Kau lihat bagaimana mereka menyeret istriku! Kau lihat ‘kan?
Ginde :
Tidak! Aku tidak lihat.
Orang I :
Kau lihat ‘kan bagaimana mereka menyeret istriku!
Orang II :
Diamlah! Kau tidak sendirian, tahu! Diam!
Orang I :
Oh, istriku.....
Orang IV :
Diam! Diam kataku. Tahu! Diaaaaam!
Orang IV ditampar oleh Orang III.
Diam.
Orang II :
Apa yang harus kita lakukan lagi.
Tak ada senjata kita yang mampu membunuh mereka.
Apalah arti senapan lantak bagi mereka yang memiki kuku yang kejam dan bisa saja merobek dinding batu rumah kita.
Orang III :
Kita tak akan mampu melawan mereka. Mereka terlalu kuat.
Sekolompok orang-orang masuk dengan memikul barang-barang.
Pengungsi I :
Ginde, kami akan pergi. Kami harus mengungsi.
Ginde :
Ya, aku mengerti. Tapi kalian tidak boleh pergi. Kita harus bersatu menghadapi semua ini.
Pengungsi II :
Tidak, Ginde. Yang lebih tepat, kita bersatu untuk pergi dari desa ini agar selamat.
Ginde :
Kita bisa melawan, kalau kita bersama-sama! Jangan pergi! Kita bersama menghadapi mereka.
Pengungsi I :
Tidak, Ginde. Kita sudah mencoba dan .... kalah. Kami harus pergi.
Ginde :
Jangan, jangan pergi. Itu pintaku!
Pengungsi I:
Mari! Kita berangkat. Tingggalkan desa terkutuk ini. Ayo! Ayo!
Para pengungsi keluar.
Sunyi.
Ginde :
Aku merasakan, bahwa mereka tidak akan selamat keluar sampai ke dusun seberang. Mereka tidak akan selamat keluat dari Semidang Bukit Kabu.
ADEGAN X
Orang-Orang :
Harimau! Harimau!
Sunyi.
Ginde dan orang bergerak, perlahan-lahan mundur hingga berada pada satu sisi ruang panggung. Semua senjata diletakkan.
Masuk Wanita Tua diiringi Sembiyan, Orang Hitam I dan Orang Hitam II dengan gerakan yang juga pelahan-lahan.
Ginde mengambil kain putih yang sebelumnya sebagai tandu, lalu mengacungkannya ke atas, sebagai tanda menyerah.
Notasi:
(semua adegan dan dialog Wanita Tua dilakukan dan diucapkan dalam suasana datar dan tanpa emosi).
Wanita Tua :
Kami telah manusia ganggu, lalu manusia lukai kami.
Ginde :
Kami hanya mencoba membela kehidupan kami. Telah kalian langgar batas-batas antara dunia kita masing-masing.
Wanita Tua :
Apa batas. Benarkah ada batas. Atau memang manusia menetapkan batas, tanpa peduli dengan batas-batas kami.
Ginde :
Kalian ganggu tenangnya hidup manusia. Kalian usik ternak manusia. Kalian mengancam manusia.
Wanita Tua :
Bukankah telah manusia habisi lebih dulu rusa dan kijang kami, babi hutan kami, lalu diri kami sendiri.
Padahal, bukankah kami telah mengalah dan selalu mengalah.
Dan bukankah telah kami jauhi dunia manusia, karena memang kami telah rela manusia memimpin dunia ini.
Diam.
Ginde :
Bukankah sudah sewajarnya manusia berbuat demikian.
Wanita Tua :
Wajar, memang wajar. Jika kami ada memang adalah kesia-sia, maka adalah kewajaran jika manusia menghancurkan.
Jika kami memang adalah kesia-siaan.
Tapi ingat, untuk tiba di kewajaran itu, maka manusia pun harus menghancurkan kewajaran kami untuk melawan kalian.
Namun, apakah kami tercipta memang adalah kesia-siaan.
Ginde :
Dan jika memang bumi diberikan kepada manusia, mengapa kalian tidak pergi menyingkir.
Wanita Tua :
Sudah kami lakukan, bukan? Kami telah menyingkir.
Kami cari secuil lahan yang baik untuk menjalani kehidupan, namun sebaliknya manusia terus dan selalu menyentuh dan mengganggu tata kehidupan kami.
Ginde ::
Ya, mungkin yang bernilai bagi manusia adalah tubuh kalian, bukan kehidupan kalian.
Wanita Tua :
Kami mencoba membela diri. Hanya membela diri. Bukan harga diri, karena yang kami inginkan hanya air yang cukup dan makanan yang memadai untuk hidup yang baik. Hanya itu.
Lalu, jika manusia kemudian memaksa kami berbicara tentang harga diri, maka kami akan menggugat sebuah kehormatan kami yang telah diinjak-injak manusia.
Kami membalas....
Ginde :
Apa yang harus manusia lakukan.
Wanita Tua :
Tidak ada lagi sekarang. Tidak ada lagi yang bisa manusia lakukan. Kami akan habisi Semidang Bukit Kabu. Hanya ada darah di Semidang Bukit Kabu. Dan hanya akan ada dalam cerita Semidang Bukit Kabu. Hingga di Semidang Bukit Kabu tak ada lagi manusia yang memiliki jalinan darah dengan manusia-manusia yang harus kami berikan semua dendam.
Ginde :
Apakah memang demikian dendam harus ditunaikan?
Wanita Tua :
Sudah kami berikan tanda-tanda kepada manusia.
Ginde :
Tanda-tanda apa?
Wanita Tua :
Tanda-tanda dengan banjir yang datang pada manusia. Tanda-tanda dengan panasnya bumi bagi hidup manusia. Tanda-tanda dengan tak seimbangnya lagi necara hidup bagi manusia. Sudah kami berikan semua tanda-tanda itu. Tapi manusia tak peduli. Manusia tak peduli.
Diam.
Mereka hanya inginkan melihat manusia berdarah! Dan mati!
Orang II :
Tak ada dinding yang kuat dan kokoh yang bisa menahan mereka. Tidak ada. Tidak ada! Bahkan mungkin dinding besi pun bisa mereka koyak!
Orang III :
Kemana kita harus bersembunyi! Bahkan akan kemana kita pergi, mereka sendiri sudah bisa menduga. Kemana! Kemana!
Orang IV :
Mereka membunuh penuh dendam. Mereka bergerak dalam kelompok besar! Mengeroyok satu orang manusia dan mencabik-cabiknya.
Orang I :
Mereka kepung seorang manusia. Mereka kelilingi. Lalu bergetar seluruh tubuh orang itu dalam ketakutan yang tak terbatas-batas. Dan... ketika kematian karena ketakutan hampir mencekik lehernya, maka... belasan ekor yangg mengangakan rahang dan seringaikan taring serentak menerkam dan merobek-robek tubuhnya.
Orang III :
Mereka membunuh tanpa maaf!
Orang II :
Bohong! Bohong! Bohonglah yang mengatakan itu adalah kebohongan!
Suara-Suara :
Harimau! Harimau!
Orang-orang berkumpul, posisi bersiap dalam lingkaran saling membelakangi.
Suasana tegang.
Orang II :
Apakah ini ada gunanya?
Ginde keluar dari lingkaran.
Ginde :
Tenang! Tenang!
Orang III :
Tenang! Tenang katamu!
Ginde :
Ya, tenang. Tenang.
Orang II :
Aku kuatir bahkan lidahmu tak lagi cocok dengan isi kepalamu!
Orang I :
Kau lihat! Kau lihat bagaimana mereka menyeret istriku! Kau lihat ‘kan?
Ginde :
Tidak! Aku tidak lihat.
Orang I :
Kau lihat ‘kan bagaimana mereka menyeret istriku!
Orang II :
Diamlah! Kau tidak sendirian, tahu! Diam!
Orang I :
Oh, istriku.....
Orang IV :
Diam! Diam kataku. Tahu! Diaaaaam!
Orang IV ditampar oleh Orang III.
Diam.
Orang II :
Apa yang harus kita lakukan lagi.
Tak ada senjata kita yang mampu membunuh mereka.
Apalah arti senapan lantak bagi mereka yang memiki kuku yang kejam dan bisa saja merobek dinding batu rumah kita.
Orang III :
Kita tak akan mampu melawan mereka. Mereka terlalu kuat.
Sekolompok orang-orang masuk dengan memikul barang-barang.
Pengungsi I :
Ginde, kami akan pergi. Kami harus mengungsi.
Ginde :
Ya, aku mengerti. Tapi kalian tidak boleh pergi. Kita harus bersatu menghadapi semua ini.
Pengungsi II :
Tidak, Ginde. Yang lebih tepat, kita bersatu untuk pergi dari desa ini agar selamat.
Ginde :
Kita bisa melawan, kalau kita bersama-sama! Jangan pergi! Kita bersama menghadapi mereka.
Pengungsi I :
Tidak, Ginde. Kita sudah mencoba dan .... kalah. Kami harus pergi.
Ginde :
Jangan, jangan pergi. Itu pintaku!
Pengungsi I:
Mari! Kita berangkat. Tingggalkan desa terkutuk ini. Ayo! Ayo!
Para pengungsi keluar.
Sunyi.
Ginde :
Aku merasakan, bahwa mereka tidak akan selamat keluar sampai ke dusun seberang. Mereka tidak akan selamat keluat dari Semidang Bukit Kabu.
ADEGAN X
Orang-Orang :
Harimau! Harimau!
Sunyi.
Ginde dan orang bergerak, perlahan-lahan mundur hingga berada pada satu sisi ruang panggung. Semua senjata diletakkan.
Masuk Wanita Tua diiringi Sembiyan, Orang Hitam I dan Orang Hitam II dengan gerakan yang juga pelahan-lahan.
Ginde mengambil kain putih yang sebelumnya sebagai tandu, lalu mengacungkannya ke atas, sebagai tanda menyerah.
Notasi:
(semua adegan dan dialog Wanita Tua dilakukan dan diucapkan dalam suasana datar dan tanpa emosi).
Wanita Tua :
Kami telah manusia ganggu, lalu manusia lukai kami.
Ginde :
Kami hanya mencoba membela kehidupan kami. Telah kalian langgar batas-batas antara dunia kita masing-masing.
Wanita Tua :
Apa batas. Benarkah ada batas. Atau memang manusia menetapkan batas, tanpa peduli dengan batas-batas kami.
Ginde :
Kalian ganggu tenangnya hidup manusia. Kalian usik ternak manusia. Kalian mengancam manusia.
Wanita Tua :
Bukankah telah manusia habisi lebih dulu rusa dan kijang kami, babi hutan kami, lalu diri kami sendiri.
Padahal, bukankah kami telah mengalah dan selalu mengalah.
Dan bukankah telah kami jauhi dunia manusia, karena memang kami telah rela manusia memimpin dunia ini.
Diam.
Ginde :
Bukankah sudah sewajarnya manusia berbuat demikian.
Wanita Tua :
Wajar, memang wajar. Jika kami ada memang adalah kesia-sia, maka adalah kewajaran jika manusia menghancurkan.
Jika kami memang adalah kesia-siaan.
Tapi ingat, untuk tiba di kewajaran itu, maka manusia pun harus menghancurkan kewajaran kami untuk melawan kalian.
Namun, apakah kami tercipta memang adalah kesia-siaan.
Ginde :
Dan jika memang bumi diberikan kepada manusia, mengapa kalian tidak pergi menyingkir.
Wanita Tua :
Sudah kami lakukan, bukan? Kami telah menyingkir.
Kami cari secuil lahan yang baik untuk menjalani kehidupan, namun sebaliknya manusia terus dan selalu menyentuh dan mengganggu tata kehidupan kami.
Ginde ::
Ya, mungkin yang bernilai bagi manusia adalah tubuh kalian, bukan kehidupan kalian.
Wanita Tua :
Kami mencoba membela diri. Hanya membela diri. Bukan harga diri, karena yang kami inginkan hanya air yang cukup dan makanan yang memadai untuk hidup yang baik. Hanya itu.
Lalu, jika manusia kemudian memaksa kami berbicara tentang harga diri, maka kami akan menggugat sebuah kehormatan kami yang telah diinjak-injak manusia.
Kami membalas....
Ginde :
Apa yang harus manusia lakukan.
Wanita Tua :
Tidak ada lagi sekarang. Tidak ada lagi yang bisa manusia lakukan. Kami akan habisi Semidang Bukit Kabu. Hanya ada darah di Semidang Bukit Kabu. Dan hanya akan ada dalam cerita Semidang Bukit Kabu. Hingga di Semidang Bukit Kabu tak ada lagi manusia yang memiliki jalinan darah dengan manusia-manusia yang harus kami berikan semua dendam.
Ginde :
Apakah memang demikian dendam harus ditunaikan?
Wanita Tua :
Sudah kami berikan tanda-tanda kepada manusia.
Ginde :
Tanda-tanda apa?
Wanita Tua :
Tanda-tanda dengan banjir yang datang pada manusia. Tanda-tanda dengan panasnya bumi bagi hidup manusia. Tanda-tanda dengan tak seimbangnya lagi necara hidup bagi manusia. Sudah kami berikan semua tanda-tanda itu. Tapi manusia tak peduli. Manusia tak peduli.
Diam.
Ginde bersimpuh.
Ginde :
Maafkan kami.
Orang-orang bersimpuh dan meletakkan senjata.
Orang-orang :
Maafkan kami. Maafkan kami.
Diam.
Wanita Tua :
Tidak ada maaf. Tidak ada maaf lagi.
Bahkan Sembiyan bisa kalian hidupkan sekalipun. Tidak ada maaf. Tidak ada!
Ginde :
Maafkan kami.
Wanita Tua :
Tidak ada.
Ginde :
Ambil saja diriku, jika memang kata maaf belumlah cukup.
Wanita Tua :
Kata maaf memang belumlah cukup. Dan dirimu sendiri pun juga tidaklah cukup untuk sebuah kehormatan dan harga diri yang telah robek.
Diam.
Wanita Tua :
Hanya ada satu kata.... manusia.
Diam.
Wanita Tua :
Kami mungkin jahat di mata manusia. Tapi kami pun akan memberikan sebuah rasa yang telah selalu kami terima dari manusia.
Tentang cara mati yang tidak terasa nikmat.
Tentang mati yang tak nikmat.
Orang-orang kampung bergerak perlahan dan semuanya memegang kain.
Ginde + Orang-Orang :
Maafkan kami. Maafkan kami.
Sunyi.
ADEGAN XI
Ginde + Orang-Orang :
Maafkan kami! Maafkan kami!
Orang V :
Oh, anakku.... Istriku.... Ah. Ah!
Orang V kemudian berteriak kencang sekali. Lalu diam dan terkulai.
Ginde :
Mati!
(Berbisik) Kami minta maaf. Kami minta maaf.
Diam.
Orang IV mengelilingi mayat Orang VI, lalu menggeleng-geleng.
Orang IV :
Dia tidak sendirian. Ini bukan pertama.
Orang VI :
Dan bakal bukan yang terakhir, ‘kan?
Orang IV :
Apa yang kita lakukan sekarang!
Ginde :
(berbisik) Maafkan kami! Maafkan kami!
Orang VI :
Cepat, Ginde, apa yang kita lakukan sekarang!
Ginde :
(berbisik) Maafkan kami. Maafkan kami.
Orang VI :
Ginde, apa yang harus kita lakukan!
Diam
Ginde :
Kita kalah.
Orang I :
Kapan kita pernah menang, Ginde?
Ginde :
Tak perlu untuk waspada. Sia-sia.
Mereka telah ada di mana-mana. Bahkan ada di tengah kita.
Ada di diri kita. Ada di hati kita.
Diam.
Ginde :
Pergi.
Pergi.
Tinggalkan Semidang Bukit Kabu.
Tinggalkan Semidang Bukit Kabu.
Sunyi.
Orang I :
Harimau datang! Harimau datang!
Orang-orang kembali membentuk lingkaran. Orang-Orang Hitam dipimpin Wanita Hitam satu persatu masuk kemudian membentuk lingkaran mengelilingi orang-orang kampung, kemudian bergerak melingkar.
Ginde :
Tinggalkan Semidang Bukit Kabu!
Tinggalkan!
Tinggalkan semua!
Tinggalkan semuanya!
Pergi!
Pergilah!
Pergilah dari Semidang Bukit Kabu!
Selamatkan diri!
Selamatkan keluarga kalian!
Pergi! Pergi!
Tinggalkan Semidang Bukit Kabu!
Ginde :
Maafkan kami.
Orang-orang bersimpuh dan meletakkan senjata.
Orang-orang :
Maafkan kami. Maafkan kami.
Diam.
Wanita Tua :
Tidak ada maaf. Tidak ada maaf lagi.
Bahkan Sembiyan bisa kalian hidupkan sekalipun. Tidak ada maaf. Tidak ada!
Ginde :
Maafkan kami.
Wanita Tua :
Tidak ada.
Ginde :
Ambil saja diriku, jika memang kata maaf belumlah cukup.
Wanita Tua :
Kata maaf memang belumlah cukup. Dan dirimu sendiri pun juga tidaklah cukup untuk sebuah kehormatan dan harga diri yang telah robek.
Diam.
Wanita Tua :
Hanya ada satu kata.... manusia.
Diam.
Wanita Tua :
Kami mungkin jahat di mata manusia. Tapi kami pun akan memberikan sebuah rasa yang telah selalu kami terima dari manusia.
Tentang cara mati yang tidak terasa nikmat.
Tentang mati yang tak nikmat.
Orang-orang kampung bergerak perlahan dan semuanya memegang kain.
Ginde + Orang-Orang :
Maafkan kami. Maafkan kami.
Sunyi.
ADEGAN XI
Ginde + Orang-Orang :
Maafkan kami! Maafkan kami!
Orang V :
Oh, anakku.... Istriku.... Ah. Ah!
Orang V kemudian berteriak kencang sekali. Lalu diam dan terkulai.
Ginde :
Mati!
(Berbisik) Kami minta maaf. Kami minta maaf.
Diam.
Orang IV mengelilingi mayat Orang VI, lalu menggeleng-geleng.
Orang IV :
Dia tidak sendirian. Ini bukan pertama.
Orang VI :
Dan bakal bukan yang terakhir, ‘kan?
Orang IV :
Apa yang kita lakukan sekarang!
Ginde :
(berbisik) Maafkan kami! Maafkan kami!
Orang VI :
Cepat, Ginde, apa yang kita lakukan sekarang!
Ginde :
(berbisik) Maafkan kami. Maafkan kami.
Orang VI :
Ginde, apa yang harus kita lakukan!
Diam
Ginde :
Kita kalah.
Orang I :
Kapan kita pernah menang, Ginde?
Ginde :
Tak perlu untuk waspada. Sia-sia.
Mereka telah ada di mana-mana. Bahkan ada di tengah kita.
Ada di diri kita. Ada di hati kita.
Diam.
Ginde :
Pergi.
Pergi.
Tinggalkan Semidang Bukit Kabu.
Tinggalkan Semidang Bukit Kabu.
Sunyi.
Orang I :
Harimau datang! Harimau datang!
Orang-orang kembali membentuk lingkaran. Orang-Orang Hitam dipimpin Wanita Hitam satu persatu masuk kemudian membentuk lingkaran mengelilingi orang-orang kampung, kemudian bergerak melingkar.
Ginde :
Tinggalkan Semidang Bukit Kabu!
Tinggalkan!
Tinggalkan semua!
Tinggalkan semuanya!
Pergi!
Pergilah!
Pergilah dari Semidang Bukit Kabu!
Selamatkan diri!
Selamatkan keluarga kalian!
Pergi! Pergi!
Tinggalkan Semidang Bukit Kabu!
Orang-orang lari tak beraturan keluar panggung sambil menyeret tubuh Orang V. Ginde menolong dan mendorong orang-orang kampung berlari.
Ginde :
(Teriakan panjang) Tinggalkaaaan Semidang Bukit Kabuuuuu!
ADEGAN XII
Suasana pagi hari.
Penunjuk Jalan dan kelompoknya, tanpa Penyair, masuk dan berbaris di tepi panggung, menatap ke kejauhan.
Pengembara :
Apa mereka akan kembali lagi ke Semidang Bukit Kabu ini?
Penunjuk Jalan :
Mungkin. Mungkin untuk mengenang dan berziarah. Tapi kembali membangun kehidupan ke Semidang Bukit Kabu..., bahkan mereka sendiri tak berani bertanya.
Diam.
Penunjuk Jalan :
Mari, kita harus segera melanjutkan perjalanan.
Diam.
Pengembara :
Hei, bukankah kita berempat semalam. Mana satu orang lagi.
Wanita :
Ya, si Penyair. Penyair.
Bentua.
Kemana dia!
Penunjuk Jalan :
Cari! Ayo, cepat cari! Tak ada yang mampu temu jika telah hilang di sini. Ayo cari!
Semuanya mencari
Penunjuk Jalan :
Tak usah! Tak usah dicari!
Ginde :
(Teriakan panjang) Tinggalkaaaan Semidang Bukit Kabuuuuu!
ADEGAN XII
Suasana pagi hari.
Penunjuk Jalan dan kelompoknya, tanpa Penyair, masuk dan berbaris di tepi panggung, menatap ke kejauhan.
Pengembara :
Apa mereka akan kembali lagi ke Semidang Bukit Kabu ini?
Penunjuk Jalan :
Mungkin. Mungkin untuk mengenang dan berziarah. Tapi kembali membangun kehidupan ke Semidang Bukit Kabu..., bahkan mereka sendiri tak berani bertanya.
Diam.
Penunjuk Jalan :
Mari, kita harus segera melanjutkan perjalanan.
Diam.
Pengembara :
Hei, bukankah kita berempat semalam. Mana satu orang lagi.
Wanita :
Ya, si Penyair. Penyair.
Bentua.
Kemana dia!
Penunjuk Jalan :
Cari! Ayo, cepat cari! Tak ada yang mampu temu jika telah hilang di sini. Ayo cari!
Semuanya mencari
Penunjuk Jalan :
Tak usah! Tak usah dicari!
Diam.
Penunjuk Jalan :
Karena kita memang sebenarnya hanya bertiga. Bukan berempat.
Diam.
Penunjuk Jalan :
Mari kita lanjutkan perjalanan kita.
Semua keluar, kecuali wanita.
Wanita :
Bentua.... Bentua....
Penunjuk Jalan :
Ayo.
Wanita keluar.
Sunyi.
Penyair masuk.
Penyair :
Aku memang akan selalu berada di sini.
Menunggu kekasihku.
Menunggunya yang berjiwa putih
Menunggunya dengan rindu yang tak akan pernah usai
Menunggu kesaksian tentang dendam yang tak pernah padam
Tamat
Kepahiang, 13 September 2006
Kepahiang, 12 Januari 2007
Naskah ini belum dipublikasi-cetak. Pemakaian naskah ini harap dengan izin penulis naskah @emong soewandi, yang bisa disampaikan melalui kolom komentar di bawah. Terima kasih.
Penunjuk Jalan :
Karena kita memang sebenarnya hanya bertiga. Bukan berempat.
Diam.
Penunjuk Jalan :
Mari kita lanjutkan perjalanan kita.
Semua keluar, kecuali wanita.
Wanita :
Bentua.... Bentua....
Penunjuk Jalan :
Ayo.
Wanita keluar.
Sunyi.
Penyair masuk.
Penyair :
Aku memang akan selalu berada di sini.
Menunggu kekasihku.
Menunggunya yang berjiwa putih
Menunggunya dengan rindu yang tak akan pernah usai
Menunggu kesaksian tentang dendam yang tak pernah padam
Tamat
Kepahiang, 13 September 2006
Kepahiang, 12 Januari 2007
Naskah ini belum dipublikasi-cetak. Pemakaian naskah ini harap dengan izin penulis naskah @emong soewandi, yang bisa disampaikan melalui kolom komentar di bawah. Terima kasih.
Post a Comment for "DRAMA: SEMIDANG BUKIT KABU"
Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus