CERITA RAKYAT BENGKULU: AWANG TABUANG
![]() |
Ilustrasi. By Image Generator ChatGPT |
Pada zaman dahulu, di tanah Bengkulu yang subur dan hijau, berdirilah sebuah kerajaan bernama Peremban Panas. Kerajaan ini dipimpin oleh Raja Kramo Kratu Agung, seorang raja yang bijaksana dan dicintai rakyatnya. Ia memiliki seorang permaisuri cantik bernama Putri Rimas Bangesu. Bertahun-tahun mereka hidup dalam kebahagiaan, namun satu hal menghantui kehidupan mereka: sang permaisuri tak kunjung mengandung seorang anak.
Kekhawatiran mulai menyelimuti istana. Para penasihat kerajaan, yang dipenuhi ambisi dan kepentingan pribadi, mulai membisikkan racun ke telinga sang raja. "Paduka, seorang raja membutuhkan penerus. Jika permaisuri tidak bisa memberikan keturunan, sudah sepatutnya Paduka mencari pendamping lain."
Lama-kelamaan, pengaruh para penasihat semakin kuat. Atas tekanan mereka, Raja Kramo Kratu Agung mengambil keputusan kejam: Putri Rimas Bangesu harus diasingkan ke dalam hutan belantara. Hati sang raja sebenarnya bergejolak, tapi demi menjaga stabilitas kerajaan, ia menyerahkan permaisuri tercintanya kepada takdir yang menyakitkan.
Malam itu, di bawah rembulan yang pucat, Putri Rimas Bangesu diantar jauh ke dalam hutan. Ia hanya ditemani seekor harimau dan sepasang kera yang seolah memahami kesedihannya. Tak seorang pun di istana yang tahu bahwa dalam rahimnya, tumbuh benih kehidupan—seorang anak laki-laki yang kelak akan mengguncang kerajaan.
Kehidupan dalam Pengasingan
Di tengah sunyi dan dinginnya hutan, Putri Rimas Bangesu melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Ia menamai anak itu Bujang Awang Tabuang, sebuah nama yang kelak akan dikenang oleh sejarah. Meski hidup dalam keterbatasan, sang permaisuri merawat anaknya dengan penuh kasih. Harimau dan kera yang menemaninya sejak awal turut menjaga dan melindungi bayi tersebut.
Tahun demi tahun berlalu, Bujang Awang Tabuang tumbuh menjadi seorang pemuda gagah. Ia memiliki kekuatan luar biasa dan kecerdasan yang tajam. Ibunya selalu berusaha menyembunyikan masa lalu mereka, tapi hatinya bergetar setiap kali Bujang bertanya, "Siapakah ayahku? Mengapa kita hidup di dalam hutan?"
Dengan suara bergetar, ibunya menjawab, "Ayahmu adalah seorang Dewa yang telah pergi jauh." Namun, seiring bertambahnya usia, Bujang semakin curiga. Hingga suatu malam, saat ibunya duduk termenung di bawah cahaya rembulan, ia memberanikan diri bertanya lagi.
Putri Rimas Bangesu tak mampu lagi menyembunyikan kebenaran. Dengan air mata mengalir deras, ia menceritakan segalanya—tentang istana yang megah, tentang ayahnya yang seorang raja, dan tentang pengkhianatan yang membuat mereka terusir. Mendengar itu, darah muda Bujang mendidih. Ia bersumpah akan pergi ke istana untuk menuntut keadilan bagi ibunya.
![]() |
Ilustrasi. By Image Generator ChatGPT |
Pagi itu, dengan berat hati, Putri Rimas Bangesu melepas kepergian anaknya. "Bujang, jangan biarkan amarah membutakanmu. Berhati-hatilah," pesannya lirih. Dengan langkah tegap, Bujang Awang Tabuang meninggalkan hutan, menyusuri jalan berbatu, menyeberangi sungai deras, dan mendaki bukit-bukit tinggi.
Berhari-hari ia berjalan, bertanya pada setiap orang yang ditemuinya tentang arah menuju istana Peremban Panas. Tatapannya penuh harapan, hatinya membuncah dengan semangat, tapi juga terselip keraguan: apakah ayahnya akan menerimanya?
Ketika akhirnya ia tiba di gerbang istana, kelelahan melanda tubuhnya. Namun, semangatnya tak padam. Ia mencoba masuk, tetapi para penjaga menghadangnya.
"Aku ingin bertemu Raja Kramo Kratu Agung!" serunya.
"Raja sedang bersiap untuk menikahi Putri Rambut Perak dari Kerajaan Pinang Jarang," jawab seorang penjaga.
Dada Bujang terasa sesak. Ayahnya bahkan tak tahu ia ada, sementara ibunya masih terlunta di hutan.
"Aku tidak peduli! Aku harus menemuinya!" teriaknya marah.
Para penjaga berusaha menyingkirkannya, tetapi mereka tak menyangka bahwa pemuda yang tampak lusuh itu memiliki kekuatan luar biasa. Satu per satu mereka terlempar ke tanah. Kabar tentang seorang pemuda tangguh yang mengamuk di gerbang istana segera menyebar ke seluruh penjuru.
Pertemuan yang Menggetarkan
Bujang terus melangkah, melawan setiap prajurit yang menghadangnya. Ia akhirnya sampai di alun-alun istana, kelelahan, dan tertidur di bawah pohon besar. Dengkurnya begitu keras hingga membuat istana bergetar. Kehebohan ini membuat Raden Tumenggung, penasihat utama raja, murka.
"Siapa pemuda biadab ini yang berani membuat kekacauan di istana?!" bentaknya.
Namun, Bujang tak peduli. Ia hanya ingin bertemu ayahnya. Ketika Raden Tumenggung menyerangnya, Bujang dengan mudah mengalahkannya. Prajurit lain pun tak mampu menandingi kekuatannya.
Akhirnya, Raja Kramo Kratu Agung sendiri turun tangan. Ia melihat pemuda itu dengan tatapan tajam. "Siapa kau yang berani membuat kekacauan di istanaku?"
"Aku Bujang Awang Tabuang, putra dari Putri Rimas Bangesu! Ibuku diasingkan ke hutan oleh keputusan kejam istana ini!" teriaknya.
Raja Kramo Kratu Agung terperanjat. Tubuhnya melemas, dan matanya basah oleh air mata. "Jadi… kau anakku? Aku… aku tidak tahu…"
Keduanya saling menatap. Ada kebencian dalam diri Bujang, tetapi juga ada kerinduan yang tak terbendung. Sang Raja, yang selama ini merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya, kini menemukan jawaban.
Tanpa ragu, ia mendekati Bujang dan memeluknya erat. "Maafkan aku, anakku… Maafkan aku yang telah mengabaikan ibumu. Aku harus menebus kesalahan ini!"
![]() |
Ilustrasi. By Image Generator ChatGPT |
Keesokan harinya, Raja Kramo Kratu Agung bersama pasukan kerajaan berangkat ke hutan untuk menjemput Putri Rimas Bangesu. Ketika sang permaisuri melihat dari kejauhan iring-iringan kerajaan datang, ia gemetar. Apakah ini akhir dari hidupnya? Namun, saat ia melihat sosok Bujang di samping raja, air matanya mengalir deras.
"Ibu… aku telah membawa Ayah kembali padamu…" kata Bujang.
Raja Kramo Kratu Agung turun dari kudanya, berlutut di hadapan istrinya. "Aku telah berdosa padamu. Jika kau masih sudi menerimaku, kembalilah ke istana bersamaku…"
Tangis Putri Rimas Bangesu pecah. Setelah bertahun-tahun terlunta dalam kesedihan, akhirnya ia kembali mendapatkan kebahagiaannya. Dengan hati yang penuh luka, namun juga penuh harapan, ia menerima permintaan sang raja.
Mereka kembali ke istana. Bujang Awang Tabuang kini bukan lagi seorang anak rimba—ia adalah pangeran sejati. Meski telah tinggal di istana, ia tak pernah melupakan teman-temannya di hutan. Sesekali ia kembali ke sana, menemui harimau dan kera yang telah menemaninya sejak kecil.
Namun, dalam hatinya, ia selalu bertanya: apakah kebahagiaan ini nyata, atau hanya ketenangan sebelum badai berikutnya?
👍👍👍
ReplyDelete