Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

CERITA RAKYAT SERAWAI: BATU BETAJUK

Lailena mencuci pakaian di sungai

Di sebuah desa kecil di Ulu Manna bernama Kayu Sebatang, yang dialiri sungai jernih dan dikelilingi hutan hijau, hiduplah seorang gadis bernama Lailena. Ia memiliki paras ayu dan hati yang lembut. Kehidupannya sederhana, tetapi ia selalu bersyukur atas apa yang dimilikinya. Setiap pagi, ia membantu ibunya menumbuk padi dan mencuci pakaian di sungai.

Suatu pagi yang cerah, Lailena membawa sehelai kain kesayangannya ke sungai untuk dicuci. Kain itu adalah hadiah dari mendiang neneknya, satu-satunya peninggalan yang sangat ia sayangi. Saat sedang menjemur kain itu di batu besar, angin bertiup kencang dan tanpa sengaja kain tersebut terjatuh dan terbawa arus sungai.

"Oh, tidak!" seru Lailena panik, berlari mengikuti aliran air. "Pakaian itu satu-satunya yang kumiliki!"

Lailena terus berlari di sepanjang tepian sungai, berharap menemukan kainnya sebelum hanyut lebih jauh. Namun, arus sungai cukup deras sehingga ia kehilangan jejak kain tersebut.

Di hilir sungai, seorang pemuda tampan bernama Bujana sedang asyik memancing. Ia berasal dari kampung Kanari, seorang pemuda pekerja keras yang sering datang ke sungai untuk menangkap ikan. Saat ia menarik kailnya, alih-alih mendapatkan ikan, justru sehelai kain tersangkut di ujung mata kailnya.

"Aneh sekali," gumam Bujana heran. "Pakaian siapa gerangan ini?"

Tiba-tiba, dari arah hulu sungai, muncullah seorang gadis dengan napas terengah-engah dan wajah cemas.

"Maaf, apakah Anda menemukan sehelai kain yang hanyut?" tanya Lailena dengan nada penuh harap.

"Benar, kain ini tersangkut di kailku," jawab Bujana, menyerahkan kain itu.

Lailena menerima kainnya dengan penuh syukur. "Terima kasih banyak! Kain ini sangat berharga bagiku."

Bujana tersenyum. "Kebetulan sekali pakaian ini tersangkut di kailku. Sepertinya Tuhan mengatur pertemuan kita."

Lailena tersipu, sementara Bujana menatapnya dengan kagum. Dari pertemuan tak terduga itu, terjalinlah percakapan yang hangat. Mereka saling memperkenalkan diri dan semakin tertarik satu sama lain.

"Aku Bujana, dari kampung Kanari," kata pemuda itu, matanya penuh ketertarikan.

"Aku Lailena, dari kampung Kayu Sebatang," jawab Lailena, pipinya merona.

Pertemuan Lailena dengan Bujana

Sejak hari itu, Bujana tak bisa melupakan Lailena. Setiap malam, bayangan gadis itu menghantuinya, membuatnya resah. Lima malam berlalu, dan akhirnya ia memutuskan untuk mencari Lailena di Kayu Sebatang. Dengan hati berdebar, ia menyusuri jalan setapak menuju desa itu.

Setelah bertanya kepada beberapa penduduk, Bujana akhirnya menemukan rumah orang tua Lailena. Lailena awalnya malu-malu, tetapi seiring berjalannya waktu, mereka semakin akrab. Bujana kerap datang ke Kayu Sebatang untuk bertemu dengan Lailena, membawa buah tangan dari kampungnya.

Namun, kisah cinta mereka tidak berjalan mulus. Ketika Bujana menyampaikan niatnya untuk menikahi Lailena, orang tuanya menolak mentah-mentah.

"Nak, kami tidak merestui hubunganmu dengan gadis itu," kata ayah Bujana tegas. "Kalian berasal dari keluarga yang berbeda. Kami ingin kau menikah dengan gadis dari keluarga yang setara."

"Tapi, Ayah, Ibu, aku sangat mencintai Lailena," kata Bujana memohon. "Kami saling mencintai, dan itu sudah cukup."

"Cinta saja tidak cukup, Nak," timpal ibunya. "Pernikahan bukan hanya tentang cinta, tetapi juga tentang masa depan keluarga."

Meskipun ditentang, Bujana tetap teguh pada pendiriannya. Ia memilih untuk meninggalkan rumah dan tinggal bersama Lailena di Kayu Sebatang. Namun, kehidupan mewah yang biasa ia jalani berubah drastis. Ia harus bekerja keras sebagai petani, sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya.

Seiring waktu, ketegangan mulai muncul dalam rumah tangga mereka. Bujana merasa frustasi dengan kehidupan barunya. Suatu hari, saat Lailena sedang mengandung delapan bulan, pertengkaran hebat terjadi.

"Aku tidak tahan lagi hidup seperti ini!" bentak Bujana. "Aku meninggalkan segalanya untukmu, tapi lihat bagaimana aku hidup sekarang!"

"Bujana, aku tahu ini sulit, tapi kita harus bertahan bersama," isak Lailena, tangannya memegang perutnya yang membuncit. "Aku mengandung anakmu. Jangan tinggalkan kami."

"Aku tidak peduli!" Bujana berteriak. "Aku sudah tidak mencintaimu lagi!"

Tanpa belas kasihan, Bujana pergi meninggalkan Lailena. Ia merantau ke kota besar dan bekerja keras hingga sukses. Ia diangkat menjadi anak oleh seorang saudagar kaya dan menikahi putri saudagar itu, Raisan. Dari pernikahan itu, lahirlah seorang putra bernama Kumala.

Sementara itu, Lailena membesarkan putrinya, Laili, seorang diri. Ia menanamkan nilai kesederhanaan dan kejujuran kepada Laili, dan selalu berpesan agar putrinya tidak tergiur oleh harta.

Bertahun-tahun kemudian, Laili tumbuh menjadi gadis yang cantik dan mandiri. Tanpa mengetahui bahwa kota tempatnya merantau adalah tempat ayahnya tinggal, ia bertemu dengan Kumala. Mereka bekerja di tempat yang sama dan saling jatuh cinta.

Awalnya, Laili ragu menerima cinta Kumala karena pesan ibunya. Namun, ketulusan Kumala meluluhkan hatinya. Mereka pun menjalin hubungan asmara tanpa mengetahui bahwa mereka saudara kandung.

Suatu hari, Laili mengajak Kumala pulang ke kampungnya. Ketika mereka tiba, ibu Laili terkejut melihat Kumala.

"Siapa dia, Laili?" tanya ibunya dengan curiga.

"Dia Kumala, calon suamiku," jawab Laili.

Ibu Laili tidak langsung memberikan restu. Ia ingin memastikan bahwa Kumala adalah pria yang baik dan bertanggung jawab. Kumala pun berjanji untuk bekerja keras dan mengumpulkan uang sebagai bukti keseriusannya.

Dua tahun kemudian, Kumala kembali membawa mas kawin. Namun, saat pernikahan hendak berlangsung, kebenaran terungkap.

"Jadi, kau ayah Kumala?" tanya ibu Laili dengan suara bergetar saat melihat Bujana.

"Benar," jawab Bujana. "Memangnya ada apa?"

Ibu Laili menangis. "Kumala adalah putramu. Dan Laili adalah putrimu juga!"

Laili dan Kumala terkejut. Mereka adalah saudara kandung, dan cinta mereka terlarang. Hati Laili hancur. Dengan air mata membanjiri wajahnya, ia berlari menuju sungai tempat ibunya pertama kali bertemu Bujana.

"Ya Tuhan, mengapa ini harus terjadi padaku?" ratap Laili. "Lebih baik aku menjadi batu daripada menikahi kakakku sendiri!"

Kutukan menjadi batu bertajuk

Tiba-tiba, petir menyambar, dan tubuh Laili berubah menjadi batu. Ia menjadi Batu Betajuk, berdiri tegak di tepi sungai, menjadi saksi bisu kisah tragisnya. Kumala, yang dilanda kesedihan, melarikan diri ke hutan dan berubah menjadi seekor ular hitam.

Demikianlah legenda Batu Betajuk, sebuah kisah tentang cinta, pengorbanan, dan takdir yang tak terduga. Hingga kini, batu itu masih berdiri di tepi sungai, mengingatkan semua orang tentang kisah cinta yang tak dapat bersatu.

Emong Soewandi
Emong Soewandi Blogger sejak 2012, dengan minat pada sejarah, sastra dan teater

Post a Comment for "CERITA RAKYAT SERAWAI: BATU BETAJUK"