TAMBO KEJAI (BAGIAN 2)
Ilustrasi |
II. BIMBANG GEDANG
Tanggal 11 bulan berikutnya Raden Cetang mendahului datang ke Wingin Culo Watu. Ia bersembunyi di bawah peak sembilan tambun (Ampas sirih) di bawah pohon beringin itu. Dua hari dua malam ia ke-13 bulan terang benderang, turunlah 9 orang dewa. Mereka duduk menunggu di tempat itu, tibalah malam yang dinanti-nantikan. Malam pada dahan-dahan beringin yang ditumbuhi anggrek bulan yang besar- besar.
Setelah beberapa saat bergurau, mulai raja Dewa berkata: "Marilah kita membicarakan soal nang-nang yang akan kita berikan kepada ketujuh bersaudara anak raja Mojopahit yang patut menduduki singgasana kerajaan".
Adapun nang-nang (teka-teki) yang akan diberikan, pertama menentukan qangkal dan pucuk dari sebatang tongkat kayu yang ujung pangkalnya sudah dibentuk sama besarnya. Kedua, menentukan jantan dan betina dari ekor anak itik yang sama besar (kira-kira berumur seminggu) dan yang ketiga menjawab nang-nang yang berbunyi sebagai berikut :
Nang kusimpang samping jalan,
Gertak kudo tigo retak,
Siape ngen megong tanah Mojopahit,
Adapun jawab dari pada ketiga nang-nang itu dijelaskan pula, pertama, apabila tongkat itu diletakkan diatas air pangkalnya akan tenggelam dan pucuknya akan terapung. Jawab yang kedua, apabila kedua anak itik itu dibawa ke pinggir sungai, maka yang jantan akan terjun lebih dahulu ke air itu. Dan jawab nang-nang yang ketiga sebagai berikut :
Nang kusimpang samping jalan,
gertak kudo tigo retak,
Aku ngen megong tanah Mojopahit,
Mutus maras tanah Metaram.
Setelah mufakat selesai, diutuslah seorang dewa pergi ke kerajaan Mojopahit untuk memerintahkan agar di kerajaan diadakan bimbang gedang mulai tanggal 11 bulan berikutnya. Pada malam ke 13 atau ke 14 Raja Dewa akan datang membawa nang-nang.
Barang siapa yang dapat menjawab nang-nang akan diangkat menjadi raja dan langsung dinobatkan oleh Raja Dewa.
Dewa itu kembali, selesai mufakat, seluruh dewa itu terbang kembali ke langit. Raden Cetang kembali ke kerajaan dan langsung masuk ke biliknya. Karena hatinya lega dan puas, tertidurlah ia sepanjang hari.
Bahkan ia tak pernah ke luar dari biliknya. Di luar orang sedang sibuk menyiapkan segala keperluan untuk bimbang gedang. Mendirikan balai yang lebih besar, menghias seluruh kampung dan mengumpulkan bahan-bahan makanan. Di seluruh pelosok ditabuh canang, menyiarkan bahwa tidak ada kecuali, besar kecil, tua muda, harus berkumpul di balai kerajaan sejak tanggal 11 bulan depan untuk menghadiri bimbang gedang penobatan raja Mojopahit.
Demikianlah pada hari dan malam yang telah ditetapkan itu, ramailah kota kerajaan Mojopahit dikunjungi oleh penduduk dari hulu dan hilir lengkap dengan bermacam-macam keseniannya.
Dua hari dua malam bimbang gedang berlangsung, pada malam ke- 13, tengah penari mematah dayung, datanglah Raja Dewa. Ia hinggap pada kayu penyukung. (Kayu penyukung adalah garis tengah balai, yaitu batas antara penari lelaki dengan penari perempuan untuk mengobah gerak tari waktu pertukaran tempat, yang disebut patah dayung).
Semua alat bunyi-bunyian dihentikan dan seluruh penari-penari pun duduk bersimpuh. Berkumpullah putera-putera raja. Yang hadir hanya enam orang. Raden Cetang sengaja tidak diberitahu. Mereka takut jangan-jangan ia terpilih menjadi raja. Raja Dewa mengeluarkan ketiga nang-nang itu kepada putera-putera raja satu demi satu. Masing-masing hanya ternganga saja. Tidak dapat menjawab.
Setelah dihitung, ternyata putera raja itu kurang satu. Ditanyakanlah kepada mereka itu saudara mereka yang seorang lagi. Menurut perhitungan selama ini putera raja Mojopahit berjumlah tujuh orang. Raja Dewa memperingatkan kepada mereka agar bimbang gendang diteruskan dan pada malam ketiga belas bulan depan ia akan datang lagi untuk mengeluarkan nang-nang itu kepada putera yang ketujuh.
Berkeliaranlah keenam putera raja itu mencari adiknya raden Cetang. Di seluruh kampung dan ladang ditanyakan kalau-kalau ada yang melihat adik mereka raden Cetang. Mereka tahu bahwa adik mereka itu pernah mengatakan bahwa ia akan bertamasya ke luar kota.
Setelah penat mencari, mereka pulang ke kota dan mencari dalam istana, ternyata Raden Cetang ada dalam biliknya dan tidur nyenyak.
III. RADEN CETANG MENJADI RAJA
Raden Cetang dibangunkan oleh saudara-saudaranya. Ia tersentak. Sambil mengusap-ngusap mata ia menanyakan mengapa dan apa membangunkannya. Satu demi satu mereka menerangkan peristiwa yang telah terjadi pada mereka. Mereka memohon pertolongan adiknya untuk memberikan jawaban nang-nang itu.
"Aaaaaah .... !" jawab Raden Cetang sambil menguap dan berbaring kembali hendak tidur.
"Ei, Dik !", kata salah seorang kakaknya. Tolonglah ! Bukankah sepeninggal ayahanda belum ada lagi yang dapat menggantikan beliau untuk memegang tampuk pemerintahan Kerajaan Mojopahit ini? Bangunlah, Dik. Kami memberi kesempatan kepadamu untuk menjawab nang-nang itu di hadapan Raja Dewa".
Dengan gerak lesu Raden Cetang duduk dan berkata: "Wahai kakak-kakakku yang saya muliakan. Saya adalah seorang yang paling hina, paling buruk dan paling bodoh di antara kita bersaudara. Adakah patut saya diajak menghadap Raja Dewa yang terhormat itu?"
"Tidak, Dik. Kami diperintahkan beliau untuk mencari kau. Mudah-mudahan kaulah yang dapat menolong kami untuk menjawab nang-nang tersebut."
Karena desakan-desakan kakaknya, Raden Cetang mengalah.
"Baiklah. Tapi dengan syarat ", katanya
Apakah syaratnya, Dik? Terangkanlah! Kami berjanji akan memenuhi segala permintaanmu jika kau bersedia memberi jawaban nang-nang itu di hadapan Raja Dewa bersama kami," jawab seluruh saudaranya.
"Syarat-syaratnya sangat ringan. Saya akan masuk ke balai bimbang untuk menghadap Raja Dewa seperti halnya ayahanda dahulu akan masuk ke balai. Semua pakaian kebesaran ayahanda harus saya pakai. Dilengkapi dengan 40 orang dayang, dikelilingi oleh 40 orang di depan, 40 orang di belakang, demikian juga di samping kiri dan samping kanan. Barisan paling belakang mengiringi arak-arakan ini dengan bunyi-bunyian. Kalau semua ini dapat dilaksanakan, dapatlah saya mengabulkan permintaan kakak-kakak sekalian."
Keenam saudara-saudaranya mengabulkan permintaan Raden Cetang. Saat yang dinanti-nantikan telah tiba. Raden Cetang telah siap dengan pakaian kebesaran raja, menunggang kuda putih, berpayung kebesaran yang dihiasi dengan emas permata. Dikelilingi oleh 40 orang dayang, pasukan pengawal raja di depan, di belakang, di samping kiri dan kanan, masing-masing 40 orang, bersenjata tombak, pedang dan senjata-senjata perang lainnya. Barisan paling belakang mengiringi arak-arakan itu dengan alat bunyi-bunyian, seperti gong, kelintang dan sebagainya. Arak-arakan itu langsung menuju ke balai bimbang.
Gegap gempita suara rakyat menyambut arakan yang istimewa itu. Seluruh rakyat mengelu-elukan Raden Cetang seolah-olah ia telah menjadi raja.
Melihat arakan yang serba lengkap itu, Raja Dewa tersenyum dan berkata: "Inilah orang yang saya nanti-nantikan. Mudah-mudahan ialah akan terpilih menjadi raja pada Kerajaan Mojopahit ini."
"Marilah ke hadapanku Nak ! Jawablah nang-nang ini", kata Raja Dewa. Raja Dewa mengucapkan nang-nang yang pertama, yaitu menentukan ujung dan pangkal tongkat kayu.
Raden Cetang menyuruh orang membawa sebuah pasu besar berisi air. Tongkat kayu itu diletakkannya ke dalam pasu. Raden Cetang memegang ujung tongkat yang tenggelam ke dalam air sambil berkata: "inilah pangkal batangnya dan yang ujung satu lagi adalah pucuknya."
Nang-nang yang kedua, ialah menentukan jantan dan betina anak. Raden Cetang mendekatkan anak itik tersebut ke pasu yang berisi air itu. Anak itik yang lebih dahulu masuk ke dalam pasu itu ditangkapnya dan berkata: "Inilah yang jantan".
Nang-nang yang ketiga, setelah diucapkan oleh Raja Dewa dijawab oleh Raden Cetang dengan fasih dan nyaring:
Nang kusimpang samping jalan,
Gertak kudo tiga retak,
Aku ngen megong tanah Mojopahit,
Mutus maras tanah Metaram".
Setelah Raja Dewa membenarkan semua jawaban itu, bergemuruhlah bunyi sorak semua yang hadir sambil memuji-muji kecerdasan Raden Cetang.
Langsung ketika itu juga Raden Cetang dinobatkan menjadi raja Kerajaan Mojopahit. Ramailah sorak rakyat mengelu-ngelukan raja mereka yang baru. "Hidup raja baru! Selamat, panjang umur raja muda !!!"
(bersambung)
Dikutip tanpa perubahan redaksi dan pembagian kisah, dari sumber:Tambo Kejai, sebagaimana yang disusun oleh Djalaluddin, dalam Tambo Kejai. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1979.
Post a Comment for "TAMBO KEJAI (BAGIAN 2)"
Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus