TAMBO KEJAI (BAGIAN 4)
Ilustrasi |
VI. JANJI MUNGKIR
Sambil menunggu Puteri Serimbang Bulan (Puteri Senggang) meningkat dewasa, Raden Cetang mohon diri kepada nenek. Ia akan pergi berladang di pinggir danau Tes di dekat Teluk Lem.
Di sanalah asal mulanya dusun Tes.Setiap hari, setelah selesai bekerja di ladang, ia pergi memancing di Teluk Lem, sambil duduk di butau Begesea (batu yang hampir jatuh).
Menurut cerita, Puteri Serimbang Bulan adalah anak yang luar biasa. Belum waktu merangkak, telah berjalan, belum waktu besar telah dewasa. Rupanya sangat cantik. Tak ada bandingannya di daerah itu. Sepantasnya ia dijodohkan dengan raja-raja besar, atau saudagar saudagar kaya.
Rajo Magek mulai goyang dengan janjinya terhadap Raden Cetang. Apabila mendengar ocehan orang kampung, "Masakan puteri secantik ini dijodohkan dengan laki-laki dungu itu. Telinganya selebar Teleng, rupanya sangat buruk".
Akhirnya dikirimlah seorang utusan ke tempat Raden Cetang di Teluk Lem untuk menyampaikan pesan Rajo Magek bahwa pertunangannya dengan Puteri Serimbang Bulan dibatalkan.
Dengan penuh kesabaran, menjawablah Raden Cetang : "Apa hendak dikata. Memang janjilah yang dapat mungkir dan bicaralah yang dapat berbohong".
Sepeninggal para utusan Rajo Magek, ia pergi mengembara ke sepanjang pantai, dikumpulkannya segala macam bibit penyakit Dengan diam-diam ditumpahkannya bibit penyakit itu kepada diri Puteri Serimbang Bulan.
Tak terkatakan penderitaan Puteri Serimbang Bulan mengidap bermacam-macam penyakit. Sekujur tubuhnya, dijangkiti berbagai-bagai penyakit kulit. Makin hari makin parah penyakitnya. Puteri yang cantik molek telah berubah rupa menjadi orang yang buruk. Karena bermacam-macam obat telah melumuri kulit yang berkoreng, berkurap itu, tak kelihatanlah lagi rupa kulitnya yang putih itu. Gatal dan perihnya tak tertahankan lagi. Makin diobat makin
parah, berganti dukun makin menjadi-jadi perihnya.
Rajo Magek dan isterinya hampir putus asa. Untunglah mereka segera teringat kepada Raden Cetang. Mungkin dialah yang dapat mengobati Puteri Serimbang Bulan. Beberapa utusan untuk menjemput Raden Cetang, namun ia tak hendak datang.
Akhirnya Rajo Magek terpaksa datang bersama isterinya ke Teluk Lem untuk menemui Raden Cetang. Lebih dahulu Rajo Magek meminta maaf atas kelancangannya memungkiri janjinya di ladang nenek.
Dengan tersenyum Raden Cetang menjawab :"Tak apalah Wak, janji itu telah biasa mungkir. Tak usah di ingat-ingat lagi janji itu”.
"Tidak, nak.Janji itu tidak akan dimungkiri. Kalau tidak janji, apakah yang harus dipatuhi lagi? Saya tidak akan memungkiri janji itu. Kau tetap akan kami jodohkan dengan anak kami Puteri Serimbang Bulan. Percayalah ! Tapi sekarang tidak dapat dilaksanakan perkawinanmu karena Puteri Serimbang Bulan sedang menderita penyakit kulit yang sangat parah. Untuk ini kami mohon pertolonganmu untuk mengobati penyakit tersebut. Setelah sembuh perkawinan segera akan dilaksanakan."
Permintaan kedua suami isteri itu dikabulkannya. Segeralah mereka berangkat ke Kutai Ukem.
Segala bibit penyakit itu dikumpulkan lagi oleh Raden Cetang, ditumpahkannyalah kepada penyu. Itulah sebabnya kulit badan penyu sekarang berukir-ukir, karena telah dirusakan oleh penyakit kulit.
VII. NIRA DAN MATA IKAN
Puteri Serimbang Bulan telah segar bugar kembali. Bahkan wajahnya lebih cantik dari semula. Apa hendak dikata, janji tak dapat dimungkiri lagi. Rajo Magek telah berjanji untuk kedua kalinya terhadap Raden Cetang.
Rajo Magek menetapkan bahwa perkawinan antara anaknya dengan Raden Cetang segera akan dilaksanakan. Peralatan perkawinan itu direncanakan akan mengadakan bimbang gedang selama sembilan bulan.
Disiarkanlah berita rencana Rajo Magek ini ke seluruh pelosok kampung dan desa, ladang dan huma. Seluruh rakyat diharuskan membantu menyiapkan bahan-bahan dan alat-alat yang diperlukan untuk bimbang gedang sembilan bulan itu.
Kaum lelaki mengumpulkan kayu dan bambu untuk bahan balai, Kayu api dan damar untuk lampu dikumpulkan juga. Kaum perempuan mencari bahan-bahan yang diperlukan untuk menerima tamu. Sirih pinang, rebung dan daun pembungkus dikumpulkan dalam sebuah ladang.
Rajo Magek meminta juga kepada bakal menantunya agar ia dapat menyediakan nira dan mata Ikan. Nira gunanya untuk minuman para tamu dan pekerja-pekerja dan juga untuk manisan juadah wajik dan sebagainya. Mata ikan gunanya untuk bahan membuat lemea. Lemea adalah makanan khas suku Rejang. Bahannya adalah rebung yang diasamkan bercampur ikan.
Sebenarnya Rajo Magek hendak mencari alasan untuk menggagalkan perkawinan ini. Bukankah tidak sedikit nira yang diperlukan untuk bimbang gedang selama sembilan bulan itu. Mengapa pula mata ikan yang diminta untuk bahan membuat lemes itu?
Dengan sabar dan keteguhan hatt, pulanglah Raden Cetang ke ladang nenek. Diceritakannya permintaan bakal mertuanya kepadanya. Nenek pun terkejut mendengar beban yang sangat berat itu.
Raden Cetang mulai mengumpulkan serat kelai. Dipintainya serat kelal itu. Setelah cukup, mulailah ia menyirat jala. Kecepatan menyirat jala luar biasa. Tidak cukup seminggu, jalan telah siap untuk dibawa mencari ikan. Sambil menyandang jala, berangkatlah Raden Cetang kehulu Air Deras dekat jembatan Tunggang sekarang. Di sini, menurut keterangan orang, di sekitar itu ada sebuah batu yang disebut batu mengapung. Batu itu terletak di tengah-tengah air yang deras. Bagaimana pun besarnya banjir, batu itu takkan tenggelam atau hanyut.
Di hulu batu inilah Raden Cetang menyerakkan jalanya yang pertama kali. Wah, banyaknya ikan, Gembira ia melihat jalanya penuh berisi ikan. Dari bawah dilihatnya tiap mata jala itu terisi ikan. Sampai di puncak jala ternyata dua lobang mata jala itu masih kosong.
Hatinya belum puas. Belum sakti namanya kalau masih terdapat kekurangan. Dilepaskannya semua ikan itu kedalam air. Seekor pun tak dibunuhnya.
Lebih kurang satu kilometer dari tempat itu, arah ke hulu, di suatu lubuk yang dinamainya Lubuk Genyem, diseraknya jalanya untuk kedua kalinya. Bila diangkatnya, ternyata masih ada satu lobang mata jala yang masih kosong, Dilepaskannya kembali semua ikan itu ke dalam lubuk.
Disandangnya jala, Berpikir sebentar. Kemana lagi akan diserakkan jala ini agar tidak ada lagi semata pun yang kosong. Ia mengingat-ingat di mana ia pernah melihat ikan banyak. Ia teringat sebuah lubuk dekat ladangnya di Teluk Lem danau Tes.
Berangkatlah ia ke hulu memintas jalan darat. Di tengah jalan, didapatinya bekas jalan yang dilalui gajah. Dan sampai sekarang tempat itu masih disebut penyeberangan gajah (dekat SD Negara Taba Anyar Tes sekarang). Di pinggir jalan itu didapatinya sebatang enau yang sedang mengural mayang, Mayang sudah tua dan sudah waktunya untuk disadap niranya.
Diambilnya rodok dan dipancungnyalah mayang itu. Disadapnya dengan seruas buluh telang. Selesai memasang bumbung, ia berangkat ke Teluk Lem.
Di Teluk Lem ia merasa puas. Tak selobang mata jalanya yang kosong Diangkatnya jala ke darat. Diculiknya mata ikan itu masing-masing sebelah. Setelah diambilnya matanya sebelah, dilepaskannya kembali ikan itu ke lubuk. Demikian sampai habis ikan yang di jala.
Mata ikan itu dimasukkannya ke dalam buluh telang, Seruas buluh telang telah penuh dengan mata ikan.
Jala disandang, butuh dijinjing berjalanlah ia menuju ke hilir. Ketika sampai dipenyeberangan gajah dilihatnya bumbung niranya hampir penuh. Diambilnya dan dibawa pulang. Jadi dalam sekali perjalanan ia telah berhasil mendapat dua permintaan bakal mertuanya.
Tiba di hulu dusun Kutai Ukem, disandarkannya kedua buluh bumbung itu pada sebatang pohon belimbing. Mungkin karena beratnya bumbung itu, batang belimbing itu menjadi condong.
Segera dilaporkannya hasil pencahariannya itu kepada bakal mertuanya. Ia kembali ke pondok nenek. Isteri Rajo Magek memerintahkan seorang laki-laki untuk mengambil bumbung yang tersandar pada pohon belimbing di hulu dusun. Aneh, bumbung itu tidak terangkat olehnya. Sebuah bumbung pun tak dapat diangkat. Bergerak saja tidak.
Suruhan itu segera melaporkan hal itu kepada isteri Rajo Magek. Beberapa suruhan lain pun tak dapat membawa bumbung itu pulang. Isteri Rajo Magek tidak percaya laporan-laporan surahannya itu. Ia pergi bersama perempuan-perempuan lainnya untuk mengambil bumbung itu. Benarlah, apa yang telah dilaporkan oleh suruhan-suruhannya itu. Sebuah bumbung tak dapat diangkat oleh berpuluh-puluh orang.
Hal itu diceritakan oleh isteri Rajo Magek kepada suaminya. Tak terkatakan marah Rajo Magek mendengar cerita yang bukan-bukan itu.
"Pemalas kalian ini. Masakan bumbung hanya dua buah itu kalian serahkan kepada saya untuk mengangkatnya ? Mungkinkah itu?” bentak Rajo Magek.
"Kalau tidak percaya, pergilah kanda mencobanya," sahut isterinya.
Sambil menggerutu pergilah Rajo Magek ke tempat bumbung tersandar itu.Dicobanya mengangkat salah satu bumbung itu. Aneh! Tidak bergerak. Aduh alangkah beratnya. Dibacanya ilmu kuat. Dikeluarkannya kesaktiannya. Dicoba sekall lagi. Jangakan terangkat, bergerak pun tidak Bahkan batang belimbing itu bertambah condong berlaga, Bercucuran keringarnya, namun usahanya sia sia saja.
Rajo Magok pun menyerah. Ia pulang menceritakan hal itu kepada istrinya. "Temuilah Raden Celang, katakan saja bahwa bumbungnya tidak diketahui tempatnya. Telah payah dicari tidak beraua. Katakan kepadanya agar ia sendiri mengambilnya dan di bawa ke dekat balai ini".
Pergilah isteri Rajo Magek menceritakan hal itu kepada Raden. "Raden, telah kami suruh orang untuk mengambil bumbung yang Raden ceritakan itu. Mereka tidak dapat menemuinya. Barangkali baik juga tempat Raden menyembunyikan bumbung itu. Ataukah bumbung ir sudah dicuri orang ?"
Demikianlah isteri Rajo Magek, tidak mau menceritakan kelemahannya. Dimintanya agar Raden Cetang sendiri yang mencarinya dan dibawa ke dekat balai.
Raden Cetang pergi ke tempat ia meletakkan bumbung. Masih ada. Belum bergerak dari tempatnya. Kedua-duanya masih tersandar pada batang belimbing. la tersenyum ketika melihat tanah di sekitar tempat itu berbencah-bencah, seperti bekas beberapa ekor gajah berlaga. Ia mengerti apa yang telah terjadi di tempat itu.
Diangkatnya kedua bumbung itu dengan mudah, disandarkan ke bahu kiri dan kanan, dibawa ke dekat balai Rajo Magek. Di letakkannya di bawah batang jambu, sehingga buah jambu yang masih muda-muda berguguran semuanya akibat getaran bumbung ketika dihentakkan ke tanah.
Hampir semua orang mengejek ketika melihat bahan yang dibawa olch Raden Cetang.
"Nira yang sedemikian cukup untuk sekali teguk".
"Ikan itu barangkali untuk makanan kucing", kata yang lain pula.
Bermacam-macam lagi kata-kata ejekan karena melihat bahan yang sangat sedikit itu. Mereka mengira Raden Cetang hanya sekadar melepaskan hutang saja.
Isteri Rajo Magek berkata: "Tidak apalah. Maklum saja orang yang akan menjadi pengantin. Itu hanya sekadar untuk mendapat berkahnya saja. Nantilah kita usahakan mencari yang lain. Bukankah kalian sanggup membantu kami untuk memeriahkan perhelatan ini?"
Mendengar itu redalah ocehan orang banyak itu. Mereka berebut rebutan ingin mencoba meminum nira. Saling dahulu mendahului, karena takut kehabisan.
Anehnya seluruh yang hadir telah meminum sepuas-puasnya namun sisanya masih tetap ada dalam bumbung. Dipergunakan untuk memasak juadah sekuali, dua kuali, bahkan berpuluh-puluh kuali, namun nira masih juga bersisa. Demikian juga halnya dengan mata ikan. Berpuluh-puluh guci telah penuh lemea. Berapa banyak ikan yang diperlukan tetap keluar dari dalam buluh dan masih bersisa.
Tak ada yang berani mengeluarkan kata-kata ejekan lagi. Sekarang barulah mereka tahu bahwa Raden Cetang adalah manusia luar biasa. Kalau cemoohan sampai terdengar kepadanya, mungkin akan mencelakakan orang kampung, Untunglah hal yang demikian tidak terjadi.
Dikutip tanpa perubahan redaksi dan pembagian kisah, dari sumber:Tambo Kejai, sebagaimana yang disusun oleh Djalaluddin, dalam Tambo Kejai. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1979.
Post a Comment for "TAMBO KEJAI (BAGIAN 4)"
Semua komentar mengandung kata-kata tidak pantas, pornografi, undangan perjudian, ujaran kebencian dan berpotensi rasial, akan kami hapus